Nongkrong di Sevel Tinggal Kenangan
MDRN Tutup Gerai 7-Eleven
JAKARTA – Juni ini menjadi bulan berakhirnya kisah bisnis 7-Eleven di tanah air. Batalnya akuisisi PT Pokphand Restu Indonesia, anak usaha PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk, membuat pemilik dan pengelola waralaba convenience store tersebut menyerah.
PT Modern Sevel Indonesia, anak usaha PT Modern Internasional Tbk (MDRN) yang mengelola 7-Eleven di tanah air, mantap menutup gerai waralaba itu. Gerai yang lebih dikenal dengan sebutan Sevel itu merupakan convenience store asal AS.
”Per tanggal 30 Juni 2017, seluruh gerai 7-Eleven di bawah manajemen PT Modern Sevel Indonesia yang merupakan salah satu anak perseroan akan menghentikan kegiatan operasionalnya,” ujar Direktur PT Modern Internasional Tbk Chandra Wijaya kemarin.
Dia menjelaskan, penutupan seluruh gerai dilakukan karena perseroan memiliki keterbatasan sumber daya untuk melanjutkan kegiatan operasional.
Sebelumnya, Charoen Pokphand (CPIN) batal mengakuisisi gerai 7-Eleven. CPIN merupakan salah satu produsen pakan ternak asal Thailand. Di negeri asalnya, Charoen mengelola lebih dari 9.500 gerai.
Membuka waralaba Sevel menjadi terobosan bisnis MDRN yang merupakan pemegang merek Fujifilm di Indonesia. Di tengah tumbangnya kamera analog karena digeser teknologi digital, Sevel sempat sangat ekspansif. Gerai-gerai Fujifilm yang biasanya berada di tempat strategis di Jakarta disulap menjadi Sevel. Sejak 2008, MDRN juga ekspansif dengan membuka gerai-gerai baru. Saat ini ada 175 gerai Sevel.
Meski tampilannya adalah minimarket, Sevel di Indonesia membuat terobosan dengan menyediakan meja dan kursi untuk nongkrong. Upaya itu dilakukan agar bisa mendapatkan izin buka 24 jam. Sevel memang tak bisa mengantongi izin waralaba minimarket. Sebab, aturan mensyaratkan bahwa waralaba minimarket harus berasal dari perusahaan lokal. Sevel pun hanya mendapatkan izin restoran. Konsekuensinya, pajak yang dibayarkan lebih tinggi.
Namun, konsep nongkrong di convenience store tersebut cukup bisa diterima pasar, khususnya segmen anak muda. Sejumlah minimarket pun mengekor tren tersebut. Namun, toh ternyata bisnis Sevel terus mengalami kemunduran. ”Segmen bisnis ini telah mengalami kerugian di tahun-tahun terakhir sebagai akibat dari kompetisi pasar yang tinggi,” tutur Chandra. Merosotnya kinerja MDRN terekam dalam pendapatan perseroan yang turun 31,37 persen menjadi Rp 660,67 miliar per September 2016.
Kerasnya persaingan di bisnis ritel akhirnya membuat Sevel tak mampu bertahan. Kini anak muda di Jakarta sudah tak bisa lagi nongkrong sambil menikmati Slurpee dan keripik kentang bersaus khas. (dee/c11/sof)