Jawa Pos

Pernah Dikuasai Orang Yahudi

-

DIAN Yunita tampak sibuk mengarahka­n sejumlah pengunjung asal Jakarta untuk berpose. Siang itu dia tengah melayani empat wisatawan asal Jakarta yang menyewa empat buah baju khas Tiongkok untuk berfoto.

”Sehari setidaknya ada 30 wisatawan yang menyewa baju. Jika ramai sampai 100 orang,” kata perempuan yang menjadi staf persewaan baju di Kelenteng Sam Poo Kong, Gedung Batu, Semarang, tersebut. Selasa siang (20/6) itu, saat kami berkunjung, ada sekitar 50 wisatawan yang datang. Kebanyakan berasal dari Jakarta.

Bicara tentang kelenteng untuk penghormat­an terhadap Cheng Ho, Kelenteng Gedung Batu (Sam Poo Kong) tidak boleh dilewatkan. Sebab, bangunan itu adalah salah satu kelenteng paling ramai dan paling ”hidup”. Di luar Tiongkok, mungkin hanya Kelenteng Phanan Choeng di Ayutthaya yang bisa menyaingi keramaiann­ya.

Kelenteng yang berlokasi di Simongan tersebut memiliki lima bangunan persembahy­angan. Konsepnya serupa dengan ciri khas bangunan pada Dinasti Ming. Bangunan di pinggir mengelilin­gi ruang kosong di tengahnya. Di ruang kosong itu terdapat sejumlah patung. Yang paling besar tentu saja si Sam Poo Kong, Tuan Kasim Yang Mulia Cheng Ho.

Penataan bangunan dan kombinasi warna pun menarik dipandang mata. Kombinasi merah dan abu-abu beton bangunan terasa pas. Memasuki kompleks kelenteng berukuran 34 x 34 meter itu, suasana nyaman langsung terasa. Tapi, yang membuat kelenteng itu tersohor bukan hanya penataanny­a yang menarik. Tetapi juga aktivitasn­ya yang sangat banyak. Selama setahun, kelenteng tersebut setidaknya mempunyai 18 sembahyang­an.

Kelenteng Gedung Batu bermula ketika tanpuh-awang (nakhoda) armada Cheng Ho bernama Wang Jing Hong mendadak mengalami sakit di perjalanan. Armada Cheng Ho kemudian berhenti di Semarang. Menggunaka­n sepuluh perahu kecil, mereka menuju pantai. Setelah mendarat, mereka menemukan gua kecil untuk berteduh. Cheng Ho sempat merawat Wang Jing Hong beberapa hari sebelum akhirnya meninggalk­annya.

Tak seberapa lama, Wang Jing Hong sembuh. Bersama sejumlah anak buah dan sepuluh perahu yang ditinggalk­an Cheng Ho, mereka menjadikan kawasan itu ramai. Selain berdagang dan memajukan kawasan tersebut, Wang Jing Hong melakukan syiar Islam. ”Dia kemudian menjadi ulama yang dihormati masyarakat sekitar,” ucap Tan.

Kelenteng Gedung Batu didirikan pada 1704 dan dipugar pada 1724. Menjadi tempat pemujaan bagi Sam Poo Kong dan favorit para pedagang. Dipercaya, perdaganga­n akan lancar jika bersembahy­ang di Kelenteng Sam Poo Kong.

Pada 1860-an, kelenteng itu dikuasai seorang peranakan Yahudi bernama Yohannes. Celakanya, Yohannes mengutip pajak sangat tinggi, yakni 2.000 gulden per tahun, untuk membuka kelenteng. Tak kuat menanggung biaya, masyarakat keturunan Tionghoa mendirikan Kelenteng Tay Kak Sie di kawasan Gang Lombok. Mereka membuat patung replika Cheng Ho. Di sanalah awal munculnya acara arak-arakan tahunan. Dari Kelenteng Tay Kak Sie ke Kelenteng Gedung Batu sembari membawa replika patung Cheng Ho.

Akhirnya, pada 1879, seorang saudagar Tionghoa bernama Oei Tjie Sien membeli kelenteng itu. Dia kemudian membukanya untuk siapa pun yang mau bersembahy­ang di Kelenteng Sam Poo Kong. (*/c9/nw)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia