Jawa Pos

KHOTBAH JUMAT dalam TIGA BAHASA

Berlibur ke Korea Selatan (Korsel) tidak melulu harus belanja fashion di Distrik Gangnam, menyantap bingsu dan bulgogi, atau menapaktil­asi adegan Winter Sonata di Pulau Nami. Agung Mumpuni mendapat pengalaman tak terlupakan saat mengunjung­i Itaewon, kawas

- Agung Mumpuni Surabaya

ITAEWON-dong terletak di bagian timur Seoul. Di wilayah tersebut terdapat Seoul Central Mosque, masjid pusat dan terbesar di Korsel. Awalnya, dong itu merupakan daerah tempat tinggal tentara Amerika Serikat di Korea setelah Perang Korea (1950–1953). Kawasan tersebut semakin berkembang setelah perhelatan Olimpiade Seoul 1988. Sejak itu, Itaewon menjadi sebuah distrik multikultu­ral yang merangkul budaya Timur dan Barat.

Di Itaewon, kita bisa menelusuri jejak masuknya Islam ke Negeri Ginseng. Seoul Central Mosque, yang berlokasi di Distrik Yongsan-gu, merupakan salah satu bukti nyata eksistensi Islam di Negeri Ginseng itu. Dalam bahasa Arab, masjid tersebut bernama Si’ul Al Markaz. Hanya, petunjuk jalan yang dibuat pemerintah setempat menuliskan namanya dengan bahasa Inggris. Karena itu, orang-orang lebih mengenal masjid tersebut dengan nama Seoul Central Mosque.

Masjid itu kali pertama dibuka untuk umum pada 5 Mei 1976. Dibangun dengan dana dari Misi Islam Malaysia dan negara-negara muslim yang lain. Selain sebagai tempat beribadah, tempat tersebut menjadi pusat kegiatan Islam di Korsel. Lebih dari 45 ribu warga Korea yang telah memeluk Islam begitu bangga memiliki masjid tersebut. Di Korea, populasi penduduk muslim terus meningkat sejak diperkenal­kannya Islam setelah Perang Korea.

Masjid raya itu berdiri di tanah 4.870 meter persegi. Luas bangunanny­a hanya 427 meter persegi. Namun, di lahan itu juga berdiri Islamic Center seluas 1.917 meter persegi. Gaya arsitektur­nya sangat khas sehingga wisatawan bisa dengan mudah mengenali.

Dilihat dari bentuknya, arsitektur masjid begitu sederhana dengan nuansa putih keabuabuan. Di bagian depan berdiri dua menara, dihias lambang bulan sabit di atasnya. Atap berupa kubah putih nan megah seolah menegaskan kuasa Tuhan. Di depan pintu masuk, jamaah akan disambut lafaz ’’Allahu Akbar’’ dalam huruf Arab berwarna hijau muda yang menyala ketika malam.

Untuk memasuki bagian dalam masjid, jamaah harus mendaki puluhan anak tangga. Meskipun sederhana, gedung masjid itu benarbenar memesona. Letaknya tepat di bukit Itaewon. Dari pelataran masjid, sejauh mata memandang terlihat hamparan view Kota Seoul yang indah.

Masjid terdiri atas tiga lantai. Lantai 1 merupakan kantor Korea Muslim Federation (KMF). Lalu, lantai 2 seluas 427 meter persegi digunakan tempat salat bagi jamaah pria. Sedangkan lantai 3 untuk jamaah perempuan. Di dalam kompleks masjid terdapat pula madrasah bernama Prince

Sultan Islamic School. Madrasah mungil tersebut diresmikan pada Oktober 2001 atas bantuan dari Sultan bin Abdul Aziz, putra mahkota Kerajaan Arab Saudi.

Seperti layaknya masjid yang berdiri di negara berpendudu­k nonmuslim, kita bisa melihat bahwa tempat tersebut didatangi orang-orang beragam kebangsaan. Misalnya, Mesir, Libya, Syria, Sudan, Pakistan, Bangladesh, Turki, dan tentu saja Indonesia. Umumnya mereka adalah para pekerja asing (atau pelancong) yang mengadu nasib di Korsel. Ada juga penduduk asli keturunan, para mualaf yang masuk ke Korea saat Perang Korea.

Setiap Jumat, setidaknya terdapat 800 jamaah yang melaksanak­an salat Jumat. Karena jamaah berasal dari berbagai negara, kotbah disampaika­n dalam tiga bahasa sekaligus. Yakni, bahasa Arab, Inggris, dan Korea. Saat bulan Ramadan seperti saat ini, masjid tersebut begitu meriah oleh kegiatan keagamaan dan acara buka serta sahur bersama. Sama dengan di Indonesia, pengelola masjid menyediaka­n hidangan buka puasa untuk jamaah.

Di sekitar masjid terdapat restoran-restoran yang menampilka­n spanduk makanan halal, juga agen-agen tur yang menawarkan biro perjalanan haji dan umrah. Ada juga tokotoko penjual pernik-pernik umat muslim, misalnya buku, CD, dan perangkat salat yang kebanyakan dijual oleh warga Pakistan. Saat bulan Ramadan, lebih banyak lagi penjaja makanan saat malam hari. Seru sekali.

Tidak hanya menjadi daya tarik bagi kaum muslim, mereka yang nonmuslim pun kerap menjadikan Seoul Central Mosque sebagai titik destinasi wisata. Sebagai kawasan yang multikultu­ral, perbedaan bukanlah hal yang aneh di Itaewon. Yang memakai burqa bisa berbaur akrab dengan turis yang mengenakan pakaian minim. Begitu nyamannya suasana membuat Itaewon dikenal dengan sebutan Itaewon Freedom. Betapa indahnya. (*/c4/na)

 ?? FOTO-FOTO: AGUNG MUMPUNI FOR JAWA POS ?? TETENGER ITAEWON: Seoul Central Mosque, masjid terbesar di Korea Selatan, menjadi pusat kegiatan keislaman di Seoul. Di negara ini, Islam berkembang setelah Perang Korea berakhir.
FOTO-FOTO: AGUNG MUMPUNI FOR JAWA POS TETENGER ITAEWON: Seoul Central Mosque, masjid terbesar di Korea Selatan, menjadi pusat kegiatan keislaman di Seoul. Di negara ini, Islam berkembang setelah Perang Korea berakhir.
 ??  ?? FAVORIT TURIS: Salah satu sudut Itaewon yang bersih dan rapi. Banyak toko suvenir dan gerai fashion yang memanjakan mata. Penunjuk jalan dan nama toko ditulis dalam bahasa Inggris.
FAVORIT TURIS: Salah satu sudut Itaewon yang bersih dan rapi. Banyak toko suvenir dan gerai fashion yang memanjakan mata. Penunjuk jalan dan nama toko ditulis dalam bahasa Inggris.
 ??  ?? BEBAS BERKULINER: Semua resto dan kafe di Itaewon menyediaka­n makanan yang dijamin halal.
BEBAS BERKULINER: Semua resto dan kafe di Itaewon menyediaka­n makanan yang dijamin halal.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia