Jalan Tikus di Balik Wewenang Monopoli Jabatan
Pemberantasan korupsi kerap masih sebatas gincu formalitas. Di balik itu, jalan informal di pemerintahan tetap dibuka, termasuk yang terkuak di daerah. Perlu penerapan pasal pemerasan, selain perkuat sistem justice collaborator dan whistleblower. Berikut
PENGUAKAN kasus korupsi di daerah dengan tangkap tangan KPK (juga operasi tangkap tangan/OTT saber pungli) membuktikan keras kepalanya informalitas dalam perilaku pemerintahan. Wajah pro pemberantasan korupsi kadang ditampilkan sebagai penampilan formal, tapi tak sampai ke ’’hati’’. Di balik topeng manis yang ditampilkan kepada rakyat itu, diamdiam masih dibuka jalan tikus untuk mendapatkan sumber dana di luar dana formal.
Dari lima OTT KPK menjelang dan selama bulan Ramadan, pelakunya cukup beragam. Ada gubernur (dan istrinya), jaksa, pimpinan/ anggota DPRD, auditor BPK, inspektur jenderal, kepala dinas, para pegawai kecil (bawahan pimpinan birokrasi), dan para pengusaha. Mereka semua tertangkap menabrak pasal korupsi tak langsung, yakni penyuapan. Artinya, ada uang –biasanya dari pengusaha– di luar anggaran yang disediakan untuk transaksi korup.
Korupsi jenis ini memang secara langsung tak merugikan negara. Meski begitu, penyuapan adalah induk dari korupsi. Sebab, penyuapan ini bisa merusak efektivitas penegakan hukum (indikasi dalam kasus jaksa) karena terkait transaksi perkara hukum. Penyuapan juga mengacaukan efisiensi anggaran (APBD/APBN) karena pemakaian anggaran tidak sepenuhnya untuk realisasi pembangunan.
Selain itu, kasus tangkap tangan Irjen Kementerian Desa Sugito dan auditor BPK jelas makin memicu sinisme status WTP. Kepanjangan aslinya wajar tanpa pengecualian, tapi sering dipelesetkan dengan ’’wajar tanpa pemeriksaan’’.
Terkait sinisme WTP, di Jawa Timur pernah ada kasus korupsi mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin Imron. Kasus pengungkapan korupsi besar lewat OTT oleh KPK (yang dipimpin Novel Baswedan) menguak gurita korupsi di birokrasi kabupaten miskin tetangga Surabaya itu. Hasilnya, vonis 13 tahun penjara plus Rp 250 miliar dirampas untuk negara. Padahal, selama menjabat dua periode, kerap diganjar opini WTP oleh BPK.
Tentu saja ’’OTT setitik’’ ini merusak susu sebelanga kinerja baik para auditor BPK lain. Sebab, bisa menjadikan opini WTP BPK tak berarti apa-apa, bahkan menimbulkan tanda tanya. Bisa-bisa, instansi yang berstatus di bawah WTP akan mengklaim mereka tak meraih WTP karena menempuh jalur ’’informal’’. Ini akan menjadikan BPK sebagai supreme auditor sulit mendapat ’’opini’’ jujur dalam pemeriksaan secara citra.
Kasus penyuapan ini merupakan manifestasi paling mencolok dari suburnya informalitas dalam pemerintahan. Jelas, uang suap tak bisa disediakan lewat APBD/APBN. Harus ada sumber lain. Cukong proyek atau orang yang takut kena kasus hukum bisa diperas untuk mendapatkan uang informal ini. Atau ada dugaan urunan, seperti dikatakan KPK, dari pihak yang berkepentingan (dugaan dalam kasus OTT BPK-Irjen Kemendes).
Tak heran bila secara formal, para pimpinan yang mengetahui bila ada anak buahnya tertangkap, mereka menyatakan ’’heran’’ secara formal. ’’Kita sudah cek dan tidak ada uang negara yang diambil. Kalau ada isu suap, saya juga heran, dari mana uangnya,’’ kata Gubernur Jatim Soekarwo. Seperti yang terjadi dalam kasus dugaan upaya pengubahan perda dinas peternakan berbuntut OTT pimpinan komisi DPRD Jatim, M. Basuki. Ganjil memang, bagaimana birokrat menyediakan uang informal (barang bukti Rp 150 juta) dan ’’setoran triwulan’’ (diduga dari empat kepala dinas) memengaruhi legislasi (dan plot APBD).
Memang mengherankan, bagaimana pimpinan birokrasi melakukan upaya pribadi (informal), juga berisiko pribadi, demi kepentingan resmi birokrasi yang dipimpinnya. Yang wajar, kinerja birokrasi mestinya juga ditempuh secara formal. Atau kalau menempuh cara informal secara wajar, misal lobi ke orang DPRD untuk meyakinkan betapa pentingnya suatu program untuk rakyat.
Cara-cara informalitas ilegal tersebut menunjukkan seakan-akan kelanggengan jabatan dan upaya mendapat fasilitas birokrasi yang dipimpinnya merupakan ’’segala-galanya’’. Sehingga harus ditempuh dengan risiko besar, termasuk ’’pensiun dini’’ di penjara berikut rusaknya nama baik yang dijaga seumur hidup. Ingat, kasus korupsi yang terkuak sekarang ’’abadi’’ di jagat maya yang bisa diakses hingga anak cucu kelak.
Padahal, perilaku di bawah meja ini menjadikan program formal untuk transparansi dan akuntabilitas pemerintahan mandul. Sulit membuahkan kinerja yang efektif, efisien, dan tepercaya. Sebab, bisa saja anggaran resmi diakali demi mengembalikan pengeluaran informal. Ujung-ujungnya, APBD tidak untuk rakyat.
Dua OTT menyangkut DPRD Jatim dan Mojokerto juga menunjukkan informalitas sebagai dugaan solusi gelap dari biaya politik yang mahal. Seperti dikatakan di media oleh Ny Purnomo, istri ketua DPRD Kota Mojokerto, yang menjadi tersangka OTT bersama dua wakil ketua DPRD dan kepala dinas pekerjaan umum, dia heran bahwa suaminya korupsi. Sebab, tiap bulan hanya dapat uang belanja Rp 5,6 juta. Dan, utang suaminya banyak, Rp 400 juta, untuk pencalonan. Kini entah bagaimana nasib sisa utang itu karena Purnomo terancam pecat dari PDIP.
Bagaimana memberantas informalitas ilegal ini? Sudah banyak ide. Salah satu yang perlu diperkuat adalah whistle blowing system. Membuat sistem yang menjamin keamanan pelapor tindak pidana ( whistle blower) di pemerintahan. Ada yang sudah melakukannya. Di Kementerian Keuangan, misalnya. Kabarnya, beberapa kasus korupsi pajak terkuak karena sistem ini berjalan. Yang lain, memperkuat sistem imbalan bagi
justice collaborator (JC) atau pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum. Selama ini, lembaga seperti KPK belum membuat JC menjadi sesuatu yang menarik. Sebab, tuntutan hukuman bagi JC (yang menjadi kewenangan KPK) terkadang tak jauh beda dengan pelaku utama. Contohnya, Agus Condro yang menjadi JC menguak kasus korupsi cek pelawat dan menyeret banyak politikus lain divonis 15 bulan (sesuai tuntutan). Sedangkan para pelaku lain yang diperkarakan akibat pengakuan Agus Condro dituntut paling lama 4 tahun (divonis 3 tahun). Dalam kasus terbaru, e-KTP yang merugikan Rp 2,3 triliun, dua JC KPK, Irman dan Sugiharto, tetap dituntut berat, 7 dan 5 tahun penjara.
Upaya lain yang bisa ditempuh adalah membidik pasal pemerasan (bukan penyuapan) kepada pejabat yang meminta imbalan tak resmi karena menyalahgunakan jabatannya. Sehingga, orang yang dipaksa menyetor berani melapor. Kenapa pemerasan? Sebab, jabatan pemerintahan adalah monopolistik. Tak ada pintu lain untuk mendapatkan keabsahan formal. Misalnya, mengubah perda harus lewat DPRD. Karena itu, kalau orang-orang DPRD menyalahgunakan jabatan demi menjalankan tugas yang seharusnya menjadi kewajibannya, ini jelas lebih ke pemerasan.
Solusi lain? Cukuplah tiga itu dulu. Kalau dilaksanakan semoga bisa mengunci jalan tikus dalam informalitas pemerintahan. (www.jpip.or.id)