Bawaslu Kaji Pola Penindakan Kampanye Hoax
JAKARTA – Terungkapnya grup Saracen membuka tabir bisnis penggiringan isu melalui media sosial yang selama ini masih diduga-duga. Tidak tertutup kemungkinan, pola yang sama akan diterapkan pada momen pilkada 2018. Sebab, penggiringan opini dengan data menyesatkan (hoax) sangat dibutuhkan pasangan calon untuk memenangi kontestasi.
Anggota Bawaslu RI Mochammad Afifuddin menyatakan, pihaknya saat ini mengkaji fenomena tersebut. Sebab, fenomena jual beli isu di media sosial relatif baru. Di sisi lain, dalam konteks kepemiluan, payung hukumnya belum di- jabarkan secara tegas. ’’Kayaknya, itu yang belum terpikir selama ini,’’ ujarnya kepada Jawa Pos kemarin (30/8).
Sayangnya, dia belum bisa menjabarkan aturan maupun sanksi yang mungkin diberikan. Sebab, diperlukan kajian di tingkat pimpinan maupun konsultasi dengan sejumlah pihak terkait. ’’Kami usahakan sebagaimana pengawasan akun-akun yang kampanye negatif, bernuansa SARA, dan lain-lain,’’ tuturnya.
Afif menjelaskan, selama ini regulasi yang ada baru menjangkau akun-akun yang terdaftar secara resmi. Akun yang tidak terdaftar sebagai milik pasangan calon diserahkan kepada lembaga pemerintah dan penegakan hukum. ’’Jika dilakukan akun anonim, akan dilaporkan ke Kemenkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) serta Polri,’’ jelasnya.
Sementara itu, Mendagri Tjahjo Kumolo mengimbau calon untuk adu program dan konsep dengan seluruh calon. Sebab, jika mereka meng guna kan cara saling fitnah dan men jatuhkan, ujungnya adalah gangguan terhadap demo krasi. ’’ Pola-pola fitnah mem bahayakan persatuan dan kesatuan bangsa yang majemuk ini,’’ katanya.
Tjahjo juga berharap KPU maupun bawaslu bisa mengakomodasi peraturan yang tegas terkait dengan fenomena tersebut. Bahkan, jika ada calon yang nekat memfitnah dan memecah persatuan, Mendagri berharap ada tindakan administratif berupa diskualifikasi.
Di luar upaya memperkuat regulasi, pemerintah juga memerlukan penguatan sumberdaya dalam memberantas penyebar hoax maupun ujaran kebencian. Sebab, kemampuan para pelakunya terus meningkat. Identitas akun yang mereka buat rata-rata palsu, bahkan ada yang mencatut identitas orang lain. Selain menyebar informasi menyesatkan, modus semacam itu juga bagian dari upaya adu domba memecah belah masyarakat. (far/c14/fat)