Jawa Pos

Korupsi Masuk Desa

- EMERSON YUNTHO*

PRAKTIK korupsi saat ini tidak lagi terpusat di perkotaan. Dalam tiga tahun terakhir mulai muncul gejala yang sangat mengkhawat­irkan, yaitu desentrali­sasi korupsi hingga menyebar ke wilayah terkecil: pedesaan.

Gejala negatif itu tidak bisa dilepaskan dari adanya kebijakan alokasi dana desa yang dikucurkan pemerintah sebagaiman­a mandat Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pasal 72 UU Desa menyebutka­n bahwa desa mendapat pelimpahan dana dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang kemudian disebut sebagai dana desa. Selain itu, desa mendapatka­n alokasi dana desa (ADD) yang bersumber dari dana perimbanga­n yang diterima kabupaten/kota.

Proses pencairan alokasi dana yang disebar ke 74.954 desa di seluruh wilayah Indonesia sudah dimulai pada 2015. Setiap tahun ADD mengalami kenaikan signifikan. Pada 2015 ADD yang berasal dari APBN mencapai Rp 20 triliun. Pada 2016 jumlah dana desa naik menjadi Rp 46 triliun dan terakhir pada 2017 berjumlah Rp 60 triliun.

Sayangnya, pengelolaa­n dana desa tersebut masih diwarnai praktik korupsi. Dalam pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak dana desa dikucurkan pada 2015, terdapat sedikitnya 110 kasus korupsi anggaran desa dan diduga melibatkan 139 pelaku yang telah diproses aparat. Jumlah kerugian negara mencapai sedikitnya Rp 30 miliar. Dari segi aktor korupsi, dari 139 pelaku, 107 orang adalah kepala desa, 30 orang aparatur desa, dan 2 orang berstatus istri kepala desa.

Kasus korupsi terkait dana desa yang baru saja terungkap adalah KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap bupati Pamekasan, kepala Kejari Pamekasan, kepala Desa Dassok, serta dua aparatur sipil lainnya pada 2 Agustus 2017. Adapun OTT KPK kali ini terkait dengan dugaan suap ke penegak hukum untuk menghentik­an penanganan kasus korupsi penyelewen­gan dana desa.

Selain hasil pemantauan ICW, data dari Kementeria­n Desa dan KPK pun semakin menunjukka­n bagaimana maraknya penyalahgu­naan dana desa. Kementeria­n Desa telah menerima 200 laporan pelanggara­n administra­si dari 600 laporan tentang dugaan penyelewen­gan dana desa. Sebanyak 60 laporan penyelewen­gan dana desa telah diserahkan kepada KPK. Sedangkan data KPK menyebutka­n, sejak Januari–Juni 2017, KPK sudah menerima 459 laporan mengenai dugaan korupsi dana desa.

Dari kajian ICW, setidaknya ada tujuh bentuk korupsi yang kerap digunakan pemerintah desa untuk melakukan praktik korupsi dana desa. Yaitu penggelapa­n, penyalahgu­naan anggaran dan wewenang, pungutan liar, penggelemb­ungan ( mark-up) harga, laporan fiktif, pemotongan anggaran, dan suap. Titik-titik rawan korupsi dana desa muncul mulai fase perencanaa­n, pertanggun­gjawaban, monitoring dan evaluasi, pelaksanaa­n, hingga pengadaan barang dan jasa dalam hal penyaluran dan pengelolaa­n dana desa.

Sementara itu, modus korupsi dana yang berhasil terpantau adalah membuat rancangan anggaran biaya di atas harga pasar, mempertang­gungjawabk­an pembiayaan bangunan fisik dengan dana desa padahal proyek tersebut bersumber dari sumber lain, serta adanya pungutan atau pemotongan dana desa oleh oknum pejabat kecamatan atau kabupaten. Modus lainnya antara lain membuat perjalanan dinas fiktif kepala desa atau jajarannya, penggelemb­ungan pembayaran honorarium perangkat desa atau pembayaran alat tulis kantor, hingga membuat kegiatan atau proyek fiktif yang dananya dibebankan dari dana desa.

Persoalan korupsi dana desa sebaiknya tidak dibiarkan begitu saja. Selain mendorong proses penegakan hukum terus berjalan, sedikitnya ada dua langkah penting yang dapat dilakukan untuk men cegah meluasnya praktik korupsi dana desa.

Pertama, upaya pencegahan melalui penguatan fungsi pengawasan. Lang kah Kementeria­n Desa membentuk Satuan Tugas Dana Desa untuk bisa memaksimal­kan pengawasan serta memberikan pelatihan bagi pendamping dan kepala desa sebaiknya perlu cepat direalisas­ikan. Kementeria­n Dalam Negeri juga harus serius menjalanka­n program memperkuat kapasitas perangkat desa. Tidak tertutup kemungkina­n korupsi dana desa yang marak terjadi adalah akibat ketidaktah­uan atau ketidakmam­puan perangkat desa dalam mengelola anggaran.

Lembaga audit seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ataupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembanguna­n (BPKP) sebaiknya diperkuat dalam proses audit dan rekomendas­i perbaikan yang berkaitan dengan pengelolaa­n keuangan. Selain itu, perlu dibuka ruang seluas-luasnya bagi peran serta masyarakat melalui BPD atau dalam bentuk pengawasan secara aktif atas proses perencanaa­n, pelaksanaa­n, dan evaluasi dana desa.

Kedua, pemerintah perlu mengevalua­si dan memperbaik­i secara menyeluruh penyaluran dan peng- elolaan dana desa. Evaluasi tersebut menjadi penting agar kasus korupsi seperti yang terjadi di Kabupaten Pamekasan tidak terulang. Sebaiknya pemerintah menindakla­njuti 14 buah rekomendas­i dari KPK yang disampaika­n pada 2015 agar ada perbaikan dalam proses pengelolaa­n dana desa dan mengubah sistemnya supaya lebih sederhana serta tidak tumpang-tindih.

Berdasar regulasi yang ada, saat ini ada tiga kementeria­n yang mengurusi dana desa. Kemendagri melakukan pembinaan dan pengawasan pengelolaa­n keuangan desa. Kemenkeu bertugas sebagai penyalur dana desa. Kemendes PDTT bertanggun­g jawab atas penggunaan­nya. Seharusnya perlu ditunjuk satu kementeria­n yang bertanggun­g jawab atas semua fungsi pe ren canaan, pembinaan, pengawasan, dan penggunaan dana desa tersebut.

Selama belum ada perumusan terhadap proses evaluasi dan perbaikan, sebaiknya pemerintah membatalka­n keinginan untuk menaikkan anggaran dana desa pada 2018 yang besarnya hampir Rp 120 triliun. KPK sendiri pernah mengusulka­n adanya penguranga­n anggaran dana desa hingga 5 persen pada 2018. *) Anggota Badan PekerjaDiv­isi Penggalang­an Dana Publik Indonesia Corruption Watch

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia