Rohingya Menderita, Suu Kyi Membisu
COX’S BAZAR – Di tengah kepiluan yang mendera etnis Rohingya, para aktivis yang dulu mendukung Aung San Suu Kyi, penasihat negara Myanmar, mempertanyakan sikap peraih nobel perdamaian 1991 itu. Perempuan yang pernah puluhan tahun menjadi tahanan rumah tersebut dianggap mengabaikan kekerasan yang terjadi di Rakhine.
’’Ketika masih menjadi oposisi, dia begitu pandai berbicara, begitu vokal. Tapi, kini, tiba-tiba kita dihadapkan dengan kebisuannya,’’ ujar Kepala Tampadipa Institute Khin Zaw Win. Dia sempat menjadi tahanan politik sebelas tahun. Kritikan serupa dilontarkan Dr Ma Thida, novelis dan pejuang HAM yang dulu menganggap Suu Kyi sebagai mentornya.
Ma Thida menegaskan, dirinya tidak berharap Suu Kyi bisa mengubah seluruh Myanmar dalam satu setengah tahun. Namun, dia berharap Suu Kyi melakukan tindakan nyata, bukannya berdiam diri seperti saat ini.
Suu Kyi memang disorot dunia karena tak pernah mengeluarkan kecaman terhadap militer yang merepresi etnis Rohingya. Sebagai pemimpin yang dipilih rakyat, dia seharusnya memiliki kuasa. Apalagi dengan label penerima nobel perdamaian yang disandangnya. Suu Kyi dianggap gagal karena lambat menangani konflik dan tak mengecam militer.
Di lapangan, situasi kian kritis. Konflik di Rakhine berlangsung kurang dari sepekan. Namun, warga etnis Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh sudah mencapai 18.445 orang. Jumlah itu tidak termasuk 4 ribu orang yang tertahan di wilayah tak berpenghuni antara perbatasan Bangladesh dan Sungai Naf.
Hal itu kemarin (30/8) diungkapkan kelompok International Organization for Migration (IOM) yang membantu para pengungsi. Mereka pun mengungsi ke Bangladesh dalam kondisi sakit. Belasan orang mengalami luka tembak yang masih baru. Sebagian lainnya mengalami luka bakar. ’’Kondisi mereka sangat memprihatinkan,’’ kata Sanjukta Sahany, salah seorang relawan IOM di Cox’s Bazar, Bangladesh. (Reuters/AP/AlJazeera/sha/c18/any)