Jawa Pos

Pernah Didatangi Tamu Portugis yang Tanya Sanak Saudara

Di tiap desa di Aceh Jaya, kini rata-rata hanya tersisa satu keluarga generasi mata biru. Yang tersisa pun umumnya tak tahu riwayat nenek moyangnya. Berikut laporan wartawan Jawa Pos EKO PRIYONO yang baru kembali dari Aceh Jaya. Menelusuri Generasi Mata B

-

SEPEDA motor itu melintas cepat, tapi dengan segera menarik perhatian. Sebab, ciri fisik kedua gadis yang menaikinya tampak berbeda.

”Itu orangnya. Aku yakin itu,” kata Zainal, warga Banda Aceh yang menemani Jawa Pos untuk menelusuri jejak keturunan Portugis di Aceh Jaya pada Sabtu dua pekan lalu (19/8)

Sekilas, dua gadis itu memang terlihat berbeda jika dibandingk­an dengan warga Aceh pada umumnya. Berkulit putih dengan hidung yang lebih mancung.

Juga, di tengah kebingunga­n kami sepanjang hari untuk menemukan jejak generasi mata biru, petunjuk sekilas itu sudah lebih dari cukup untuk membangkit­kan semangat lagi. Sebab, sebelumnya, sepanjang perjalanan dari Banda Aceh ke Aceh Jaya sejauh 85 kilometer, jejak keturunan Portugis antara ada dan tidak ada.

Padahal, Aceh Jaya, persisnya Lamno, Kecamatan Jaya, dulu merupakan pusat bermukimny­a generasi mata biru. Namun, sebelum melihat kelebatan dua gadis itu, hanya sosok Pak Puteh yang terdengar sebagai keturunan Portugis yang tersisa. Itu juga bukan nama asli. Alamatnya juga tak pasti.

Zainal pun segera memacu mobil, mengejar dua gadis itu. Mereka memang tidak sedang kabur. Tapi melaju cukup cepat. Semakin kewalahan ketika mereka masuk ke jalan kampung dengan permukaan tanah.

Sampai akhirnya mereka menghilang di salah satu persimpang­an jalan. Dari papan penunjuk jalan, tertera bahwa itu Dusun Tuan Saheh, Desa Lamme, Kecamatan Jaya.

Kawasan tersebut cukup padat. Jarak antarrumah sangat dekat. Hanya dipisahkan pekarangan kecil.

Terkadang antarrumah dibatasi pagar tanaman setinggi pinggang orang dewasa. Ada bangunan rumah warga yang permanen, ada pula semiperman­en. Ada juga rumah adat berbentuk panggung yang berbahan kayu.

Celingak-celinguk mencari dua gadis itu pada akhirnya membuat kami dipandang sejumlah warga dengan heran. Untung, Zainal bisa segera menetralka­n keadaan dengan berkomunik­asi menggunaka­n bahasa Aceh. Tak lupa, dia menanyakan gadis bermata biru di daerah tersebut.

”Sebentar lagi ketemu. Ada namanya Pak Muzakir,” kata Zainal dengan mata berbinar.

Benar saja. Sekitar 100 meter kemudian, ada tujuh pria paro baya yang sedang membangun pagar balai RW. Juga, salah seorang di antara mereka adalah Muzakir.

Muzakir merupakan satu-satunya pria di Desa Lamme yang masih terlihat seperti bule. Kulitnya putih, agak berbulu. Matanya agak biru kecokelata­n.

Dia penduduk asli desa tersebut. Kawasan itu cukup jauh dari pesisir sehingga aman dari tsunami yang menghajar Aceh pada 26 Desember 2004.

Sejumlah foto lawas ditempel di salah satu sisi dinding kayu ruang tamu rumah panggung Muzakir. Yang paling menonjol adalah tiga lembar foto ukuran jumbo.

Tampak dua di antara tiga anaknya yang memang ”sangat Eropa”. Seluruh rambut mereka pirang. Kulit mereka putih. Mereka juga memiliki alis tipis dengan bulu mata berwarna terang.

Rasa penasaran itu terbayarka­n saat Muzakir muncul di ruang tamu rumah panggungny­a bersama dua anak perempuann­ya. Dua gadis itulah yang melintas dengan sepeda motor sebelumnya.

Nama mereka Rauzatul Jannah dan Nurul Qomariyah. Rauzatul sekarang duduk di bangku kelas XI MAN 1 Lamno. Si adik, Nurul, masih duduk di bangku kelas VII MTsN 1 Lamno.

Rauzatul, selain berkulit putih, memiliki ujung hidung yang memerah. Bola matanya cokelat. Alisnya juga tipis. ”Rambutnya putih. Tapi maaf, tidak boleh lepas jilbab,” ucap Muzakir.

Begitu pula Nurul. Rambut bocah yang tidak sedang mengenakan jilbab itu pirang. Kulit tangannya putih mulus.

Di sekolah, keduanya pun menjadi siswa ”langka” secara fisik. Hanya mereka yang berkulit terang. Meski begitu, mereka tidak merasakan kendala saat berinterak­si dengan yang lain. ”Awalnya jadi perhatian. Sekarang sudah biasa,” kata Rauzatul.

Ernawati, istri Muzakir, juga berkulit putih. Tapi, bola mata dan rambutnya sama dengan warga Aceh pada umumnya. Pasangan suami istri itu memiliki lima anak perempuan. Tapi, hanya dua anak yang mirip bule. Tiga lainnya berambut hitam dan berkulit kecokelata­n.

Pria yang bekerja sebagai tukang bangunan itu mengaku tidak tahu asal muasal keluargany­a memiliki ciri fisik yang berbeda. Dia tidak pernah mendapat cerita siapa leluhurnya.

”Katanya, ada keturunan orang Portugis. Tapi, saya tidak tahu ceritanya,” ucap Muzakir.

Mengutip sejarahlam­no.blogspot.co.id, diduga generasi mata biru di Aceh itu bermula pada periode 1492–1511, ketika sebuah kapal perang Portugis terdampar di pantai Kerajaan Marhom Daya, bagian barat Aceh sekarang, setelah kalah perang di Malaka.

Setelah sempat dikarantin­a, mereka akhirnya dibebaskan raja Marhom Daya. Para tentara Portugis itu kemudian berbaur dengan penduduk Lamno.

Mereka diajari bertani dan berbahasa serta diperkenal­kan dengan adat istiadat dan budaya masyarakat Aceh. Para mantan tawanan perang tersebut kemudian juga diperboleh­kan untuk mempersunt­ing gadis pribumi, tentu setelah memeluk Islam.

Masih ada versi lain nenek moyang generasi mata biru. Tapi, bagi Muzakir, apa pun sejarah tentang asal usulnya, dia tak pernah merasa berbeda dengan warga Aceh lainnya meski secara fisik berbeda.

Sebelum tsunami, pria 48 tahun itu mengaku hidup seperti warga kebanyakan. Tidak ada orang dari luar Aceh yang mencari-carinya. Sebab, para pencari mata biru langsung mendatangi pesisir. Saat itu jumlah warga mata biru sangat banyak di area tersebut.

Tapi, setelah tsunami, mayoritas keturunan mata biru hilang, tewas, atau berpindah ke tempat lain. Dia pun mendadak menjadi buruan. Orang-orang yang masih penasaran dengan keberadaan para keturunan Portugis mendatangi­nya.

Ada yang berasal dari Aceh, Medan, dan Jakarta. Bahkan, ada juga yang datang secara berombonga­n dari Malaysia. ”Ke sini tanyatanya, foto-foto,” jelasnya.

Ada pula yang datang dari Portugis dengan maksud menelusuri sanak keluarga yang selamat dari amukan tsunami. Tapi, Muzakir tidak bisa banyak membantu. Sebab, dia sendiri tidak tahu siapa nenek moyangnya yang berasal dari Portugis.

Kepala Desa Lamme Umar mengatakan, keluarga Muzakir merupakan satu-satunya generasi mata biru yang tersisa di wilayah yang dipimpinny­a. Padahal, sebelum tsunami, hampir di setiap desa ada generasi mata biru. ”Sekarang tidak setiap desa ada. Kalau ada, paling hanya satu,” jelasnya.

Tapi, tidak berarti mereka punah. Sebab, keturunan bule terkadang berasal dari orang tua yang tidak memiliki ciri bule sama sekali. ”Ada yang orang tuanya seperti masyarakat Aceh pada umumnya, tapi anaknya bisa berambut pirang,” kata Umar.

Dari Umar pula akhirnya terkuak petunjuk mengenai Puteh. Menurut dia, Puteh tinggal di sebuah desa di seberang Ujong Muloh. Tapi di kecamatan yang berbeda. Sayang, Umar pun tidak mengetahui nama desanya.

Meski sedikit, informasi tentang Puteh itu berharga. Hasil penelusura­n menemukan bahwa Puteh ternyata tinggal di Desa Kuala, Kecamatan Indra Jaya, Kabupaten Aceh Jaya. Namanya lumayan populer. Maklum, pria yang sehari-hari bekerja sebagai petani itu satu-satunya pria bermata biru di desa itu.

Nama aslinya Jamaludin. ”Orang biasa memanggil saya Puteh, ya sudah,” ucapnya.

Fisiknya memang mirip bule. Hidung mancung, kulit putih, dan mata biru kecokelata­n. Tapi, ketika berbicara, logatnya murni Aceh.

Puteh juga tidak tahu dirinya keturunan Portugis keberapa. Orang tuanya memang juga mirip bule. Tapi, di antara lima anak pria 56 tahun itu, tidak semua yang memiliki ciri fisik seperti dirinya. Hanya ada tiga, yaitu Darmadi, Mursalin, dan Meila yang terlihat sekali sebagai keturunan mata biru. Sedangkan dua buah hatinya yang lain, Irwandi dan Susi, tidak demikian.

Namun, sekarang hanya dua anaknya yang tersisa, Darmadi dan Irwandi. Keberadaan tiga anak lainnya tidak diketahui sejak tsunami terjadi 13 tahun silam.

”Waktu (tsunami, Red) itu saya sedang melaut,” kenang Puteh.

Di tengah laut, yang dia rasakan hanya gelombang besar, tapi tidak pecah. Dia tidak berpikiran apa pun karena saat itu langit bersih.

Puteh sangat terkejut ketika kembali ke daratan. Dermaga tempat pelelangan ikan sudah tidak ada lagi. Rumah-rumah di pinggir laut sudah tidak terlihat. Suasana sunyi. Dia tidak berani menepi dan memilih tetap berada di atas kapal. Setelah menunggu cukup lama, dia baru berani turun ke daratan.

Dia bingung. Sebab, yang dilihat ketika berangkat dan pulang berlayar jauh berbeda. Rumah-rumah dan masjid di desa tempat tinggalnya, Ujong Muloh, tidak terlihat lagi. Untung, kediamanny­a selamat. Tapi, dia kehilangan tiga anak.

”Dulu saya tinggal di sana. Sebelum tsunami pindah ke sini (Kuala, Red),” terangnya.

Lebih dari satu dekade setelah tsunami, Puteh kini jadi jujukan ”para pemburu” mata biru. Mungkin karena semakin langkanya si mata biru, namanya menggema jauh ke berbagai sudut Aceh Jaya.

Bisa jadi warga luar daerah yang memburu keturunan Portugis itu sebenarnya mencari gadis mata biru. Tapi, di Kuala, yang tersedia kini tinggal bapak bermata biru. (*/c11/ttg)

 ?? EKO PRIYONO/JAWA POS EKO PRIYONO/JAWA POS ?? TAK MERASA BERBEDA: Muzakir (kiri, foto kiri) dan kedua putrinya, Rauzatul Jannah (kanan) dan Nurul Qomariyah. Jamaludin alias Pak Puteh, satu-satunya warga ”bule” di desanya.
EKO PRIYONO/JAWA POS EKO PRIYONO/JAWA POS TAK MERASA BERBEDA: Muzakir (kiri, foto kiri) dan kedua putrinya, Rauzatul Jannah (kanan) dan Nurul Qomariyah. Jamaludin alias Pak Puteh, satu-satunya warga ”bule” di desanya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia