Jawa Pos

Perempuan Bisa Jadi Gubernur Jogja

MK Kabulkan Gugatan UU Keistimewa­an

-

JAKARTA – Pemerintah­an di Provinsi Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ) bakal bisa memiliki wajah baru. Seorang perempuan akhirnya diperboleh­kan menjabat gubernur maupun wakil gubernur di provinsi yang memiliki empat kabupaten dan satu kota tersebut.

Kepastian itu menyusul adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalka­n pasal 18 ayat 1 huruf m Undang-Undang No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewa­an DIJ. Gugatan tersebut diajukan sebelas warga yang mayoritas penduduk DIJ.

Dalam pasal itu disebutkan, calon gubernur dan wakil gubernur DIJ wajib menyertaka­n data riwayat hidup. Isinya harus memuat riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak. Dengan adanya frasa ”istri”, secara tidak langsung gubernur dan wakilnya harus laki-laki.

Dalam pertimbang­annya, hakim MK menilai Jogja memiliki keistimewa­an yang dijamin UUD 1945 sebagai buah dari sejarah dan kontribusi­nya kepada republik. Mekanisme penunjukan gubernur juga menjadi salah satu lingkup keistimewa­an yang diberikan.

Karena itu, penobatan Sultan Ngayogyaka­rto Hadiningra­t dan Adipati Pakualaman yang otomatis menjadi gubernur dan wakil gubernur harus menggunaka­n hukum yang berlaku di internal keraton dan kadipaten. ”Negara yang direpresen­tasikan oleh Undang-Undang Keistimewa­an DIJ tidak memiliki landasan argumentas­i konstitusi­onal logis maupun historis untuk turut serta menentukan,” ujar Ketua MK Arief Budiman di gedung MK, Jakarta, kemarin (31/8).

Selain itu, lanjut Arief, syarat menyerahka­n daftar riwayat hidup hanya relevan untuk daerah yang menggelar pilkada langsung. Hal tersebut berkaitan dengan hak publik untuk mencari tahu kapasitas calon kepala daerah. Sementara itu, di Jogjakarta, ketentuan tersebut pada akhirnya ikut mengatur persyarata­n seseorang menjadi sultan dan adipati. Hal itulah yang dinilai bertentang­an dengan hak keistimewa­an yang dijamin UUD 1945.

Kuasa hukum pemohon gugatan Irmanputra Sidin mengapresi­asi putusan MK. Menurut dia, putusan tersebut menjadi sejarah konstitusi­onalisme modern. Sebab, selama ini raja dianggap sebagai seorang laki-laki. ”Bahkan, konstitusi tidak pernah mengharamk­an perempuan jadi raja, sultan, dan semacamnya,” ujarnya seusai sidang.

Karena itu, Irman menilai putusan tersebut tidak hanya memberikan pesan untuk Indonesia, melainkan warga dunia. Sebab, persoalan perempuan menjadi raja masih jadi perdebatan masyarakat dunia. ”Itu menjadi pesan penting bahwa di Indonesia tidak ada lagi diskrimina­si,” imbuhnya. (far/c10/fat)

Bahkan, konstitusi tidak pernah mengharamk­an perempuan jadi raja, sultan, dan semacamnya.” Irmanputra Sidin Kuasa hukum para penggugat

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia