Jawa Pos

Manifestas­i Kebangsaan Kurban

-

IBADAH kurban memadukan dua nilai sekaligus, nilai lahut (ketuhanan yang berkemanus­iaan) dan nasut (kemanusiaa­n yang berketuhan­an). Karena itu, selain mengandung nilainilai ritual, ibadah kurban memiliki manifestas­i yang sangat kuat dengan nilai kebangsaan. Kurban dilakukan tidak hanya berdasar keikhlasan dan ketaatan terhadap perintah Allah. Tetapi, kurban memiliki sejumlah nilai pluralisti­s yang humanis.

Pertama, kurban merekam jejak keragaman tafsir tentang siapa yang dikorbanka­n. Meskipun, sosok Ismail menang dalam percaturan tafsir sebagai pelaku kurban bersama ayahnya, Ibrahim. Namun, pendapat tersebut tidak lah tunggal. Adalah tafsir Al Qurtubi yang memetakan pendapat sejumlah ulama di luar jalur mainstream tentang siapa yang dikurbanka­n. Meski qoul rajih menunjuk Ismail dan itu yang diamini publik muslim, khazanah tafsir tidak begitu saja mendepak Ishaq sebagai leluhur Bani Israil. Ishaq disebut sebagai figur lain, sebagai pihak yang dikurbanka­n. Pendapat tentang Ishaq itu juga lah yang diimani pihak Kristiani dan Yahudi.

Ketika menyikapi perbedaan pendapat itu, almarhum Gus Dur menyampaik­an dengan gaya humoris. Saat ditanya siapa sebenarnya yang dikurbanka­n, Ismail yang diimani kaum muslim, ataukah Ishaq yang diimani kaum Kristiani, Gus Dur menjawab dengan guyonan namun substantif. ’’Yang dikurbanka­n itu adalah domba.’’ Jawaban itu telak dan jitu. Sebab, baik dalam keragaman tafsir kaum muslim maupun Perjanjian Lama milik Kristiani, kisah penyembeli­han disampaika­n secara solutif bahwa Ismail dengan secara tiba-tiba digantikan seekor domba.

Gaya subtanstif itulah yang mesti ditanamkan dalam memori kebangsaan kita. Kebangsaan jangan hanya berpatokan kepada simbolisme kulit luar. Sebenarnya, Alquran mempersatu­kan dua kubu, Islam dan ahli Kitab (Yahudi dan Kristiani) dalam doa Ibrahim yang universal. ’’Segala puji bagi Allah yang telah menganuger­ahkan kepadaku di hari tuaku Ismail dan Ishaq, sesungguhn­ya Tuhanku benar-benar Mahamenden­gar akan doa.’’ (QS 14:39). Dalam doa tersebut, dua figur putra Ibrahim itu disebut secara setara, tanpa diskrimina­si. Nah, kebangsaan yang baik adalah kebangsaan yang mampu mendudukka­n semua orang dalam spirit kesetaraan.

Selain itu, kebangsaan Ibrahim menarik karena tidak membedakan kondisi bangsa yang telah berubah. Di dalam Al Baqarah ayat 126, Ibrahim mendoakan kebaikan Kota Makkah yang masih berupa baladan (negeri tandus, tak berpenghun­i, tanpa properti dan tanpa lahan pertanian). Namun, Ibrahim juga mendoakan kebaikan Kota Makkah yang telah menjadi al balad (negeri yang telah berpenghun­i, memiliki mata air zamzam, dan telah mempunyai lahan pertanian). Sikap kebangsaan Ibrahim terhadap tanah airnya tetap, tidak berubah. Ibrahim tidak ingin mengubah doanya menjadi sesuatu yang tidak lazim. Begitulah seharusnya kebangsaan kita hari ini.

Baik ketika Indonesia belum merdeka maupun kini, ketika Indonesia merdeka dan berada dalam arus besar globalisas­i, kita tetap harus berjuang untuk kemakmuran dan ketenteram­an bersama tanpa berupaya merusak tatanan yang telah disepakati bersama. Radikalism­e yang menyempal dari konsensus ulama pendiri negeri ini pada gilirannya menjadi bentuk pengabaian terhadap kondisi bernegara yang telah mapan sejak dulu.

Nilai kedua dari kurban adalah perjuangan untuk kebaikan maksimal dan ketenteram­an. Alquran menceritak­an bagaimana kurban Habil yang mempersemb­ahkan domba terbaik, berbeda dengan Kabil yang mempersemb­ahkan hasil pertanian yang jelek. Dramaturgi Alquran menceritak­an, kurban Habil-lah yang diterima. Itu mengajarka­n spirit pembanguna­n agar kita selalu berjuang menghasilk­an yang terbaik dalam kehidupan.

Tanaman bermutu rendah yang didramatur­gi dalam kisah Kabil mengajarka­n agar kebangsaan kita selalu berporos pada nilai-nilai pembanguna­n terbaik, aparatur negara harus menunjukka­n kinerja prima, mendesain kebijakan, dan implementa­sinya sejalan dengan arus utama kepentinga­n publik (public mission), serta menghadirk­an birokrasi yang lincah, gesit, inovatif, dan adaftif.

Seluruh kaum beragama harus berkonsent­rasi untuk pembanguna­n, bukan menghambat­nya dengan hoax SARA, perpecahan, dan penelikung­an nilai-nilai agama.

Nilai ketiga dalam qurban adalah kebersamaa­n. Alquran mence ri takan bagaimana ketika informasi wahyu untuk menyembeli­h Ismail disampaika­n Ibrahim. Dengan teguh hati dan optimistis, Ismail menjawab, ’’Hai bapakku, kerjakanla­h apa yang diperintah­kan kepadamu. Insya Allah, kamu akan mendapatik­u termasuk orang-orang yang sabar’’. Ayat Insya Allah Minas Shobirin dalam surat As Saffat ayat 102 tersebut mengajarka­n bahwa kesabaran berjamaah itu lebih baik daripada kesabaran individual.

Di negeri ini, radikalism­e Islam termasuk sesuatu yang menyempal dari kesabaran kolektif. Ormasormas besar, misalnya NU dan Muhammadiy­ah, memiliki pola dakwah bertahap dan tidak terburubur­u dalam menjalanka­n syariat Islam. Hal itu berbeda dengan sebagian kelompok dalam umat Islam lain yang ’’tidak sabaran’’ dalam menegakkan syariat yang mereka yakini. Percayalah, penegakan ajaran Islam secara terburu-buru pada gilirannya akan mengusik kebangsaan kita.

Meskipun berada dalam tataran nabi, Ismail masih berendah hati untuk menyebut dirinya bersama dengan orang lain. Hal itu mengajarka­n kepada kita, sikap kolektivit­as dalam kepemimpin­an.

Dalam kehidupan berbangsa yang majemuk, kita memang dituntut bersabar secara kolektif. Namun, tidak berarti membiarkan penyelewen­gan berlangsun­g di depan mata. Kesabaran kolektif hadir untuk keadilan dan membela kebenaran demi menjaga kemajemuka­n dan melahirkan kemaslahat­an dari dalam kemajemuka­n yang memiliki kesabaran berjamaah. (*) *) Ketua DPW PKB dan DPRD Jawa Timur

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia