Haji dan Kesalehan Sosial
KUOTA jamaah haji Indonesia tahun ini kembali ke angka normal 221 ribu orang. Kuota itu termasuk terbesar dibanding negara lain. Menurut data resmi pemerintah Kerajaan Arab Saudi, jumlah jamaah haji tahun ini mencapai 2,1 juta orang. Itu berarti, jumlah calon jamaah haji (CJH) Indonesia setiap tahun lebih dari 10 persen. Meski memperoleh kuota terbanyak, antrean CJH Indonesia terus meningkat.
Data Kementerian Agama (Kemenag) menyebutkan bahwa saat ini daftar tunggu CJH di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa mencapai 20–25 tahun. Daftar tunggu CJH terpanjang terjadi di Sulawesi yang mencapai 30 tahun. Antrean CJH yang terus mengular merupakan fenomena menarik. Selain menunjukkan peningkatan kesadaran beribadah, fenomena antrean CJH bermakna bahwa kesejahteraan umat meningkat. Sebab, ibadah haji mensyaratkan kemampuan, terutama pendanaan dan fisik yang prima.
Peningkatan jumlah jamaah haji menjadi indikator gairah keagamaan umat. Fakta itu sejalan dengan hasil penelitian Global Advisor bertajuk Views on Globalization and Faith (2011). Penelitian tersebut me nyim- pulkan bahwa bagi umat Islam Indonesia, agama memiliki posisi yang sangat penting dalam kehidupan. Umat Islam Indonesia juga menyatakan pentingnya usaha untuk menjalankan ritual ajaran agama secara benar.
Pertanyaannya, jika agama dan pengamalan ritual keagamaan penting, mengapa masih banyak terjadi perilaku yang menyimpang dari ajaran agama? Salah satu yang layak disorot adalah budaya korupsi. Praktik korupsi telah menggerogoti tiang-tiang kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti tidak ada rasa jera, kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik terus terjadi. Bahkan, hampir tidak ada instansi publik yang bebas dari kasus korupsi.
Idealnya, peningkatan ritual keagamaan sejalan dengan perbaikan kehidupan sosial umat. Ajaran agama juga menekankan pentingnya kesalehan ritual dengan kesalehan sosial. Itu berarti, kesalehan individual saja belum cukup. Seseorang yang rajin menjalankan ritual keagamaan dalam rangka mem bangun hubungan baik dengan Allah ( hablun minallah) harus berkomitmen untuk berbuat yang terbaik bagi umat ( hablun minannas). Dengan begitu, ibadah ritual benar-benar berdimensi sosial.
Ibadah haji sebagai salah satu wujud ritual keagamaan juga harus memiliki dimensi sosial. Karena itu, penting dipahami makna sosial pelaksanaan ibadah haji. Jika merujuk pada keistimewaan yang dimiliki Nabi Ibrahim, dapat dikatakan bahwa ibadah haji memiliki dimensi kemanusiaan yang luar biasa. Menurut Quraish Shihab (2000), salah satu keistimewaan Nabi Ibrahim adalah adanya pembatalan kebiasaan mengorbankan manusia sebagai tumbal atau sesaji. Hal itu bukan karena manusia terlalu mulia untuk dikorbankan. Tetapi, semata-mata menunjukkan kasih sayang Allah kepada hambaNya. Karena itu seiring dengan Hari Raya Haji juga diperintahkan untuk berkurban. Ibadah kurban jelas menunjukkan dimensi sosial dari Hari Raya Haji.
Setiap jamaah haji harus memiliki empati sosial yang tinggi. Salah satu wujud empati dalam konteks jumlah antrean CJH yang terus meningkat adalah komitmen untuk beribadah haji sekali seumur hidup. Jika komitmen itu dilakukan, masa antrean ibadah haji pasti dapat diperpendek. Sebagian orang berpandangan bahwa haji lebih dari sekali bertujuan menyempurnakan ibadah. Di samping itu, memperoleh kepuasan spiritual.
Alasan tersebut dapat dipahami karena ibadah haji selalu memberikan pengalaman keagamaan yang mendalam. Dampaknya, kerinduan seseorang untuk pergi ke Baitullah terus muncul. Apalagi, Allah menyebut setiap jamaah haji sebagai tamu-tamu Allah ( wafdullah). Allah juga menjanjikan pahala yang besar bagi jamaah haji. Dikatakan dalam sebuah hadits bahwa barang siapa berhaji, kemudian dia tidak melakukan perbuatan tercela, maka tatkala pulang, dia akan diampuni seluruh dosanya layaknya bayi yang baru lahir (HR Bukhari, Muslim, dan Nasa’i).
Persoalannya, kini antrean jamaah haji terus meningkat. Pada konteks inilah perlu ada kesadaran bahwa ibadah haji hanya sekali seumur hidup. Bukankah Nabi Muhammad juga hanya berhaji sekali seumur hidup? Ibadah haji yang dijalani Nabi kemudian dikenal haji wada’ (haji perpisahan). Tetapi harus diakui, komitmen haji sekali tidak cukup hanya mengandalkan kesadaran, melainkan harus didukung peraturan perundang-undangan.
Kemenag telah membuat regulasi bagi orang yang sudah menunaikan ibadah haji. Ketentuanya, jika ingin mendaftar haji lagi, dia harus menunggu 10 tahun. Tetapi, peraturan itu belum efektif. Pada konteks inilah, tokoh agama perlu memberikan pencerahan kepada umat tentang kewajiban ibadah haji.
Umat perlu disadarkan bahwa biaya ibadah haji yang kedua dan seterusnya akan lebih bermanfaat jika dialokasikan untuk menangani persoalan-persoalan kemanusiaan. Penting juga dirumuskan fatwa keagamaan bahwa ibadah haji lebih dari sekali tanpa alasan syar’i, misalnya mendampingi istri atau keluarga, termasuk kategori kezaliman yang besar ( dzulm kabir). (*) *) Dosen UIN Sunan Ampel dan wakil sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Timur