Ribuan Anak Tak Bisa Jadi WNI
MK Tolak Gugatan Ibunda Gloria soal Perkawinan Campur
JAKARTA – Asa anak-anak hasil perkawinan campur yang lahir sebelum tahun 2006 untuk bisa menjadi warga negara Indonesia (WNI) dengan perlakuan khusus dipastikan kandas. Sebab, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan judicial review ( JR) yang dilakukan orang tua Gloria Natapradja Hamel, Ira Hartini Natapradja Hamel.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai tidak ada problem konstitusionalitas dalam pasal 41 UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Sebaliknya, MK menilai ketentuan tersebut justru memberikan kepastian hukum sebagai ketentuan peralihan.
”Berdasarkan pasal 41, mereka yang tergolong ke dalam anakanak sebagiamana dimaksud pasal 4 huruf C,D, H, I, dan pasal 5 akan terhindar dari anak yang tidak memiliki kewarganegaraan dan terhindar dari kewarganegaraan ganda,” kata Anwar Usman, hakim MK, di gedung MK kemarin (31/8).
Hal itu, lanjut Anwar, dipertegas dengan frasa yang memberikan kesempatan untuk mendaftarkan diri dalam kurun waktu empat tahun. Kalaupun dalam waktu tersebut seseorang tidak melakukan pendaftaran, mahkamah menilai, penyebabnya bukan konstitusionalitas pasal tersebut. Melainkan karena kesalahan yang bersangkutan, akibat ketidaktahuan dan kelalaian.
Kalaupun waktu sudah terlampaui dan seseorang sangat ingin menjadi WNI, kata Usman, UU 12/ 2006 tetap memberikan ruang melalui ketentuan yang diatur dalam bab III. ” Yaitu, melalui pewarganegaraan (naturalisasi),” ucapnya.
Menanggapi putusan, Wakil Ketua Dewan Pengawas Perkawinan Campur (Perca) Indonesia Rulita Anggraini mengaku legawa dengan putusan tersebut. Sebab, diakui, MK hanya melihat dari sisi legal formalnya. ”Kami menerima keputusan tersebut karena pertimbangan yang disampaikan,” ujarnya seusai sidang.
Namun, dia menyangkal bahwa banyaknya anak kawin campur yang tidak sempat mendaftarkan diri disebabkan kelalaian. Rulita menceritakan, dalam waktu empat tahun yang disediakan, sosialisasi yang dilakukan pemerintah tidak maksimal. Akibatnya, banyak orang tua yang tersebar di berbagai belahan dunia yang tidak mengetahuinya.
Selain itu, lanjut dia, bagi yang mengurus pun, praktiknya tidak berjalan lancar. Mulai petugas yang tidak paham sampai regulasi yang tidak sinkron. ”Misalnya legalisir, ternyata di negara sana gak mengenal konsep legalisir. Lalu, kalau yang cerai, harus ada keterangan dari ayahnya, di beberapa kasus itu kan agak sulit dipenuhi,” imbuhnya.
Terkait solusi naturalisasi, Rulita juga menilai bukanlah hal yang mudah. Selain membayar pajak Rp 50 juta, ada syarat memiliki pekerjaan tetap. Padahal, tidak sedikit yang statusnya masih anak-anak. ”Jumlahnya mencapai ribuan orang,” terangnya.
Sementara itu, Gloria Natapradja mengaku kecewa dengan putusan MK. Bagi dia pribadi yang sudah dijanjikan naturalisasi oleh pemerintah, dampaknya tidak terlalu dirasakan. Namun, dia memikirkan anak-anak sepertinya yang tersebar di banyak daerah. ”Saya aja yang tinggal di ibu kota gak tahu, apalagi mereka yang di daerah,” tuturnya.
Seperti diketahui, dalam UU 12/2016, anak hasil kawin campur otomatis berstatus WNI sebagaimana diatur dalam pasal 4. Hal itu berbeda dengan ketentuan sebelumnya.
Karena itu, pasal 41 mengatur peralihan bagi anak hasil kawin campur yang berusia di bawah 18 tahun untuk memilih dan mendaftarkan diri sebagai WNI. Pemerintah memberikan kurun waktu empat tahun setelah UU tersebut disahkan. Jatuh temponya 31 Juli 2010. (far/c10/ang)