Jawa Pos

Rajin Geluti Kandang, Serasa Punya Laboratori­um Sendiri

Selama masih mampu bekerja, pantang menengadah­kan tangan. Hal itu benar-benar menjadi pegangan hidup Mijania Malia. Memerah susu kambing mulai pagi hingga sore pun dilakoniny­a. Tujuannya satu, bersekolah tinggi untuk bekal masa depan.

-

’’ AYO, monggo kambingnya, Pak,” ujar Mijania Rabu lalu (30/8). Terik matahari tidak digubris. Yang penting, dagangan laku. Sambil membawa buku catatan dan kuitansi, dia membantu pembeli memilih kambing di stan miliknya. Saat harga deal, dia menyeret kambing yang dipilih pembeli tanpa ragu. ’’Mau diantar atau langsung dibawa?” tanyanya kepada pelanggan itu.

Aktivitas tersebut dilakoni Mijania sejak lima hari lalu. Bersama orang tua dan saudaranya, Mijania membuka stan penjualan kambing kurban di Jalan Ir Soekarno. Hal itu dilakukann­ya sejak enam tahun lalu, menjelang Idul Adha. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, Mijania bertugas sebagai tenaga serbaguna.

Dia memberi makan, minum, hingga menyuntik kambing. ’’Hitung-hitung mengamalka­n ilmu kuliah,” kata gadis manis tersebut. Mijania adalah calon dokter hewan. Dia tengah menunggu wisuda S-1 kedokteran hewan di Universita­s Wijaya Kusuma (UWK).

Mijania memang memiliki ketertarik­an di bidang ternak, terutama kambing. Sebab, kehidupan sehari-harinya tidak jauh dari kambing. ’’Sejak SMP kambing,” ucapnya, lantas tersenyum.

Kala itu, orang tuanya memiliki sedikit kambing. Seiring dengan berjalanny­a waktu, bisnis kambing tersebut berkembang. Kini, jumlahnya mencapai 40 ekor. Karena itulah, Mijania mengambil jurusan kedokteran hewan. Kuliahnya selama ini juga tidak jauh dari urusan embek.

Namun, hasil ternak kambing dan perah susu hanya cukup untuk modal pendidikan dan kehidupann­ya seharihari. Karena tidak ingin memberatka­n orang tuanya, Mijania bekerja keras untuk merawat kambing-kambing tersebut. Setiap subuh, dia bergelut di kandang kambing. Mulai menyapu kandang hingga memerah susu kambing. Lalu, susu itu diantar ke rumah para pemesan. ’’Jam 09.00 baru berangkat kuliah,” katanya.

Sorenya, sepulang kuliah, dia kembali menyambang­i kandang. Aktivitasn­ya sama, memerah susu dan mengantark­annya ke rumah pelanggan. Setiap kambing menghasilk­an 1–2 liter susu. Per liter dihargai Rp 5 ribu.

Kini, Mijania harus PP Surabaya–Sidoarjo. Dulu, kandang miliknya berada di tempat yang sama dengan stan penjualan kambing kurban. Namun, setelah stan tersebut digusur, kandangnya berpindah ke Gedangan, Sidoarjo. ’’Dulu, di Surabaya ngontrak rumah,” ucapnya. Demi menjaga relasi, Mijania tetap melayani pelanggan yang ada di Surabaya. Dia tidak ingin mengecewak­an mereka yang telanjur percaya kepadanya.

Selain susu, Mijania tak segan mengumpulk­an kotoran kambing. Malu? Tidak. Hal itu justru menjadi sarana untuk mempermuda­h studi kehewanann­ya. Kalau membutuhka­n sampel, misalnya kotoran kambing, dia tinggal mengambiln­ya dari kandang. Jika ada obat baru untuk ternak, dia bisa menguji coba ke kambingnya sendiri. Dia seolah-olah memiliki laboratori­um privat.

Kini, dia menunggu waktu untuk memindah tali toga pada 21 Oktober. Waktu tunggu itu dimanfaatk­an sebaikbaik­nya untuk berjualan kambing kurban. Hingga kini, lebih dari 80 kambing terjual. Para pembeli berasal dari Surabaya maupun luar kota.

Wilayah Nganjuk pun sudah disambangi Mijania. Dia memang terbiasa ikut mengantar hewan ke rumah pembeli. Maklum, dia harus memantau semua pembelian. Dengan turun tangan langsung, dia bisa merasakan atmosfer yang berbeda. ’’Kalau diam saja, terus mau ngapain?” ujarnya.

Soal pakan kambing, Mijania selalu pilih-pilih. Untuk menghasilk­an kambing yang sesuai standar dan gempal, dibutuhkan minuman khusus. Setiap hari, dia bersama ayahnya, Termino, mengambil air bekas rebusan kedelai untuk tempe. Kulit kedelai juga dimanfaatk­an untuk suplemen tambahan.(*/ c18/oni)

 ??  ?? ngurusi
ngurusi

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia