Khotbah Semestinya Menyejukkan U
mat Islam merayakan Idul Adha kemarin. Hari raya tersebut juga menjadi puncak ritual haji. Idul Adha mempunyai keistimewaan karena mampu menampilkan dua wajah akhlak Islam. Yakni, sebuah ketaatan pengorbanan Nabi Ibrahim sekaligus juga cinta kasih dan pengorbanan Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim.
Seorang Siti Hajar yang rela ditinggalkan suaminya, Nabi Ibrahim, bersama anaknya yang masih kecil, Ismail, di sebuah tempat tidak berpenghuni. Dari kisah itu, sejumlah ritual penting dalam Islam terbentuk. Ada berkurban yang merupakan sarana berbagi dan menjadikan Islam sangat kental nuansa sosialnya dan juga ritual Sa’i dalam ibadah haji. Ritual berjalan tujuh kali dari Bukit Safa ke Marwah itu terbentuk sebagai penghormatan terhadap Siti Hajar yang mencarikan air bagi Ismail.
Maka, di hari yang seharusnya menunjukkan wajah welas asih dan spirit pengorbanan Islam, sungguh disayangkan jika masih ada khatib yang menyampaikan khotbah dengan hal-hal yang bersifat politis. Misalnya, khotbah Idul Adha di kawasan Pondok Gede, Jakarta, yang seharian kemarin menjadi perbincangan. Seorang netizen mengunggah dan mengeluhkan khotbah yang dianggapnya justru membuat jengah dan bertendensi menebar kebencian.
Semestinya semua pihak menjaga jangan sampai politik masuk ke ranah agama. Agama bukanlah komoditas untuk menghantam lawan politik atau meraih keuntungan. Sudah cukup banyak contohnya, dan Saracen adalah contoh terbaru dari bagaimana kebencian yang dipupuk atas nama agama digunakan untuk mencari uang.
Agama seharusnya tetap dijaga menjadi fungsi yang seharusnya. Yakni, elemen yang membersihkan politik serta menjaga nalar dan kesejukan warga masyarakat.
Hal itu seharusnya menjadi kesadaran bersama. Tempat ibadah, misalnya masjid, gereja, pura, dan wihara, seharusnya menjadi rumah yang mendatangkan kesejukan. Membangun jembatan komunikasi antarwarga dan bersama-sama menjadikanIndonesiasebagaitempatyangnyaman, aman, dan membahagiakan warganya. (*)