Jawa Pos

Berdalih Perangi Teroris, Tewaskan 399 Orang

Nyawa Etnis Rohingya Terus Berjatuhan

-

COX’S BAZAR – Akhir 2016, sekitar 22 penerima Nobel Perdamaian di dunia bersatu membuat surat terbuka. Isinya, meminta Aung San Suu Kyi, penasihat negara Myanmar sekaligus penerima Nobel Perdamaian, membuka mata dan mengakhiri derita etnis Rohingya. Namun, rupanya seruan itu dianggap angin lalu. Represi kembali terjadi. Bahkan, versi pemerintah, jumlah korban tewas nyaris menyentuh angka 400 orang. Plus, 38 ribu orang lainnya melarikan diri.

Tentu saja, jumlah tersebut hanyalah hitungan di atas kertas. Praktisi HAM yakin kenyataann­ya jauh di atas itu. Mereka menuding pemerintah Myanmar tengah melakukan genosida alias pembunuhan masal terhadap etnis tertentu.

Rohingya memang tidak pernah diterima di Myanmar. Mereka berkali-kali menjadi sasaran represi militer. Bahkan, UU Kewarganeg­araan Myanmar yang disahkan pada 1982 dengan jelas tidak mengakui Rohingya. ’’Militer menyuruh kami masuk rumah. Jika kami tidak menurut, mereka akan membakar rumah kami, menembaki kami, atau membunuh kami. Orang muslim tidak memiliki hak apa pun,’’ ujar Nobin Shauna, salah satu warga etnis Rohingya yang lari ke Bangladesh.

Aksi serupa pernah mereka alami pada Oktober tahun lalu. Menurut pemerintah Myanmar, 102 korban tewas dan 70 ribu orang lainnya menyelamat­kan diri ke negara lain terdekat, Bangladesh.

Hingga Kamis (31/8), militer mengklaim telah menewaskan 370 anggota Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), kelompok yang dituding pemerintah Myanmar sebagai teroris. Lalu, ada dua pejabat pemerintah, 13 pasukan keamanan, dan 14 warga sipil yang menjadi korban. Militer mengabaika­n korban yang tewas karena menyeberan­gi derasnya arus Sungai Naf atau Teluk Benggala saat melarikan diri. Dalam tiga hari terakhir, 46 orang etnis Rohingya tewas ketika dua kapal yang mereka tumpangi terbalik di Sungai Naf.

’’Kami yakin mereka adalah etnis Rohingya,’’ kata Letkol S. M. Ariful Islam, komandan pasukan penjaga perbatasan Bangladesh, kemarin (1/9).

Yang memilukan, ada 19 anak dalam daftar korban tewas tersebut. Keselamata­n mereka yang masuk Bangladesh pun tidak terjamin. Mereka harus bertahan di ruang terbuka karena pemerintah setempat tidak punya lahan lagi untuk menampung pengungsi. Pemerintah Bangladesh angkat tangan.

PBB dan berbagai lembaga kemanusiaa­n menyalahka­n sikap pemerintah Myanmar atas kejadian di Rakhine saat ini. Mereka menegaskan bahwa kelompok ARSA muncul tahun lalu lantaran pemerintah sudah melanggar HAM secara terus-menerus dan sistematis selama beberapa dekade. ’’Cara pemerintah merespons serangan ARSA pada Oktober tahun lalu kian memupuk ekstremism­e,’’ tutur Kepala Lembaga HAM PBB Zeid Ra’ad Al Hussein.

Kritikan kepada Suu Kyi juga terus bermuncula­n. Direktur Eksekutif Nexus Fund Sally Smith menganggap pernyataan Suu Kyi di media membuat situasi makin panas. Suu Kyi menyebut mereka yang ditembaki militer sebagai teroris. Dia seakan membenarka­n perlakuan militer Myanmar. ’’Dia adalah peraih Nobel Perdamaian, tapi tampaknya yang terjadi saat ini dia hanya peduli dengan kedamaian penduduk Buddha, bukan Rohingya,’’ tegasnya.

Nasib etnis Rohingya ibarat bola yang dioper ke sana-kemari. Rohingya merupakan etnis terbesar yang tidak mempunyai negara alias stateless. Myanmar menolak etnis Rohingya sebagai warga negara meski mereka sudah tinggal di Rakhine selama berabad-abad. Bangladesh juga tidak mengakui Rohingya adalah etnis Bengali. Bangladesh menampung sekitar 450 ribu warga etnis Rohingya sejak konflik pecah pada 1990-an. (Reuters/ CNN/NYT/sha/c14/any)

 ??  ?? MENGIRIS HATI: Jenazah warga etnis Rohingya yang tewas setelah kapalnya terbalik akibat derasnya arus Sungai Naf mulai dievakuasi. Hanya dalam 3 hari, 46 orang kehilangan nyawa. AFP PHOTO
MENGIRIS HATI: Jenazah warga etnis Rohingya yang tewas setelah kapalnya terbalik akibat derasnya arus Sungai Naf mulai dievakuasi. Hanya dalam 3 hari, 46 orang kehilangan nyawa. AFP PHOTO

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia