Kerusakan di Rakhine Jauh Lebih Parah
RI Minta Myanmar Hentikan Kekerasan
DHAKA – Human Rights Watch (HRW) merilis gambar satelit yang menunjukkan bahwa pemusnahan desa-desa muslim di Rakhine oleh pasukan Myanmar jauh lebih parah daripada berita yang beredar. Wakil Direktur Asia HRW Phil Robertson mengecam keras aksi tersebut.
”Citra satelit terbaru menunjukkan desa-desa muslim rusak parah. Benar-benar hancur. Kekacauan yang terjadi di wilayah konflik itu jauh lebih parah,” ungkap Robertson kemarin (2/9)
Sebelum darah tumpah di Rakhine akibat serangan serentak Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) ke 30 pos polisi pada 25 Agustus lalu, Rohingya sudah berkali-kali menjadi sasaran kesewenangwenangan militer. Karena itulah, konflik yang membuat sedikitnya 58.600 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh selama sepuluh hari terakhir tersebut menuai kecaman dunia.
Di sisi lain, Global New Light of Myanmar, media pro pemerintah, menyatakan bahwa teroris ARSA ada di balik konflik. Total ada 2.625 rumah di Desa Kotankauk, Myinlut, dan Kyikanpyin serta dua barak di Maungtaw yang dibakar kelompok ARSA. Hingga kini pemerintahan Aung San Suu Kyi tetap tidak mengizinkan media asing masuk Rakhine.
Tanpa tempat tinggal dan jaminan keamanan, etnis Rohingya tidak mau bertahan di Rakhine. Kesabaran mereka selama ini dengan menjadi penduduk tanpa kewarganegaraan alias stateless memiliki batas. ”Ada sekitar 200 personel militer yang mendatangi desa kami dan langsung menyalakan api. Semua rumah di desa kami ludes terbakar. Kami tak bisa pulang lagi. Mereka akan menembak kami,” beber Jalal Ahmed.
Ahmed yang kini berusia 60 tahun tiba di Bangladesh pada Jumat (1/9). Bersama sekitar 3.000 warga Rohingya lainnya, dia mengaku berjalan kaki dari Kyikanpyin. Ahmed dan temantemannya butuh waktu satu minggu sebelum mencapai perbatasan Myanmar-Bangladesh. ”Sepertinya mereka (pemerintah Myanmar, Red) sengaja mengusir kami,” ucapnya.
Meninggalkan Myanmar tidak membuat nasib kaum Rohingya menjadi lebih baik. Di Bangladesh pun mereka tidak aman. Sewaktuwaktu pemerintah Bangladesh bisa mengusir mereka. Sebab, tidak ada cukup tempat bagi Rohingya di kamp-kamp penampungan pengungsi yang didirikan pemerintah atau UNHCR. ”Mereka terus berdatangan. Kapasitas kamp kami terbatas,” kata Vivian Tan dari UNHCR.
Saat ini ada sekitar 500 ribu pengungsi Rohingya di Bangladesh. Ratusan ribu lainnya tersebar di sejumlah negara. Di antaranya, 400 ribu di Arab Saudi, 200 ribu di Pakistan, 100 ribu di Thailand, dan 11.941 di Indonesia. Jumlah mereka terus bertambah di berbagai negara. Populasi etnis Rohingya yang sekitar 1,3 juta di Myanmar kian susut.
Jumat lalu Min Aung Hlaing, pimpinan militer Myanmar, meninjau lokasi konflik di Rakhine. Di hadapan para serdadu dan perwakilan pemerintah setempat, dia menegaskan bahwa represi dan intimidasi terhadap minoritas muslim Rohingya seperti yang dituduhkan masyarakat internasional tidak pernah terjadi. ”Semuanya sudah sesuai dengan hukum yang berlaku,” tandasnya.
Hlaing mengatakan, masalah Bengali (sebutan pemerintah untuk etnis Rohingya) sudah ada jauh sebelum Myanmar merdeka. ”Itu masalah yang tidak ada ujungnya,” cetus dia. Hlaing seolah tidak peduli jika Rohingya telah menjadi masalah internasional. Kini Rohingya menjadi salah satu etnis minoritas paling terlunta-lunta di dunia karena kehadirannya tidak diinginkan di beberapa negara.
Dari tanah air, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi menyatakan baru berbicara dengan Sekjen PBB Antonio Guterres. Dalam pembicaraan 16 menit via telepon tersebut, keduanya berbincang mengenai kondisi terkini di Rakhine State. ”Sekjen PBB mengapresiasi peran Indonesia dan mengharapkan Indonesia melanjutkan perannya dalam membantu penyelesaian krisis kemanusiaan di Rakhine State,” terangnya.
Dalam pembicaraan itu, Retno menyampaikan seruan Indonesia kepada PBB agar semua bentuk kekerasan bisa dihentikan. ”Proteksi harus diberikan kepada semua umat,” lanjut diplomat 54 tahun tersebut. Salah satu bentuknya, rekomendasi mantan Sekjen PBB Kofi Annan harus bisa diimplementasikan di Rakhine State.
Berbagai bentuk bantuan Indonesia telah diberikan kepada warga di Rakhine. Termasuk enam buah sekolah untuk komunitas muslim dan Buddha yang tinggal di kawasan itu. Indonesia juga menawarkan bantuan peningkatan kapasitas bagi aparat kepolisian Myanmar.
Duta Besar Indonesia untuk Myanmar Ito Sumardi mengungkapkan, saat ini kondisi di Rakhine memang sedang tidak aman. ”Sekolah-sekolah yang dibangun Indonesia sementara tidak beroperasi,” ucapnya saat dihubungi kemarin. Bahkan, salah satu hotel di Rakhine State dijadikan basis operasi aparat setempat.
Semua berawal dari serangan terhadap pos-pos polisi di Rakhine State oleh para milisi yang tergabung dalam ARSA. Pos militer pun ikut diserang. Mobil-mobil polisi dibakar. Yang lebih mengerikan, penduduk juga diserang. Terutama mereka yang dianggap bagian dari pemerintah Myanmar.
”Komunitas Islam, Buddha, Hindu, semua diserang,” lanjutnya. Padahal, serangan Oktober 2016 tidak sampai menyasar permukiman penduduk.
Mantan Kabareskrim Polri itu menjelaskan, saat ini aparat yang dibantu pasukan kiriman dari Naypyidaw sedang berupaya menguasai kembali rumah-rumah penduduk. ”Dugaannya, konflik itu bermotif politik. Sebab, milisi ingin menjadikan wilayah yang dihuni etnis Rohingya sebagai negara sendiri,” ucap Ito.
Alhasil, etnis Rohingya yang tidak berafiliasi dengan milisi maupun penduduk lainnya terkena imbas. Mereka harus mengungsi karena rumah-rumahnya dibakar. Situasinya mencekam setiap hari. ”Sekarang yang dari ARSA ini sudah menggunakan ranjau dan sudah punya gua-gua perlindungan. Bantuan makanan PBB untuk penduduk Rohingya sudah menjadi logistik mereka saat ini,” jelasnya.
ARSA merupakan milisi dari etnis Rohingya yang berafiliasi dengan Al Qaeda. Tidak sedikit anggota kelompok tersebut yang merupakan lulusan kamp-kamp Al Qaeda. Saat ini kelompok itu semakin kuat karena sudah menyatu dengan masyarakat setempat.
Sementara itu, militer Myanmar tidak seperti yang dicitrakan selama ini. Dalam posisi diembargo, militer tidak punya pesawat untuk mengirim pasukan. Akhirnya terpaksa melalui jalan darat menggunakan truk yang jumlahnya terus berkurang lantaran dibakar. Senjatanya pun rata-rata sudah kuno.
Menurut Ito, apa yang terjadi di Rakhine State saat ini bukanlah operasi militer. Melainkan respons atas peristiwa yang disebut Black Friday pada 25 Agustus lalu. Aparat setempat kecolongan. Tidak kurang dari 30 pos polisi dan satu markas tentara diserang yang mengakibatkan belasan korban. Akhirnya Naypyidaw membantu dengan mengirimkan pasukan untuk merespons serangan.
Meski demikian, ada pengecualian untuk Indonesia. Itu terbukti dengan diterimanya kehadiran Retno Marsudi di Myanmar. Bahkan, Retno menjadi satusatunya representasi negara di ASEAN yang bisa membahas persoalan di Rakhine langsung dengan Aung San Suu Kyi. ”Besok Senin (4/9) Bu Menlu (Retno) mau ke sini. Beliau juga membawa banyak bantuan,” lanjut duta besar 64 tahun tersebut.
Indonesia bisa diterima karena pendekatan yang diambil bersifat inklusif dan tidak mengkhususkan pada etnis tertentu. Myanmar tidak percaya dengan negara ASEAN lainnya, termasuk Malaysia, yang dianggap hanya bisa menyalahkan tanpa memberikan solusi.
Ito tidak hanya sekali dua kali datang ke Rakhine State. Termasuk ketika mengawal kedatangan Menlu ke kawasan konflik, sampai dia harus menggunakan rompi antipeluru. Ito juga membantah informasi yang menyebutkan bahwa konflik di Rohingya merupakan imbas perebutan sumber daya berupa minyak dan gas. Menurut dia, tidak ada minyak dan gas di Rakhine.
”Di Rakhine sampai sekarang belum ada sama sekali eksplorasi yang mengatakan ada daerah minyak. Itu bohong,” tegasnya.
Kawasan pertambangan, terang Ito, memang ada di daerah Kachin yang berada di sisi utara Myanmar. Bukan di Rakhine State yang berada di pesisir. Daerah tersebut menjadi basis kelompok Kachin Independence Army (KIA). Di kawasan itu memang terdapat tambang batu bara, emas, dan rubi.
Kata Ito, masalah kemanusiaan di Rakhine disebabkan keinginan kelompok tertentu yang didasari motif politik. Ujungnya, yang menjadi korban tetap masyarakat. ”Saya juga maklum kalau orang Rohingya mungkin ingin bikin negara sendiri karena sekian ratus tahun mereka stateless, tidak punya negara,” tuturnya.
Terkait dengan krisis di Rakhine, PP Pemuda Muhammadiyah ikut bersuara. Dalam keterangan tertulis yang diterima Jawa Pos kemarin, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak menyebutkan bahwa pemerintah Myanmar mempersulit akses misi kemanusiaan ke permukiman Rohingya.
Menurut dia, yang dibutuhkan etnis Rohingya yang saat ini sedang dibantai militer Myanmar bukan bantuan logistik maupun kesehatan. ” Tapi tekanan politik dari dunia terhadap pemerintah Myanmar yang sedang melakukan pembantaian,” ujarnya.
Dia berharap pemerintah Indonesia memimpin tekanan politik tersebut dengan bersikap tegas. Secara diplomasi, tekanan politik bisa dilakukan dengan menarik duta besar Indonesia di Myanmar dan mengusir duta besar Myanmar dari Indonesia. Itu dilakukan selama Myanmar belum menghentikan kekerasan yang dilakukan.
GP Ansor mengeluarkan pernyataan keras mengenai konflik di Rakhine. GP Ansor mendasarkan pernyataannya pada laporan Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OH CHR). Disebutkan dalam laporan itu, ribuan warga etnis Rohingya telah dibunuh secara keji. Ribuan lainnya dihilangkan paksa.
”Ini merupakan tragedi kemanusiaan terparah di kawasan Asia Tenggara saat ini dan diduga keras ini dilakukan oleh tangan negara,” ujar Wasekjen PP GP Ansor Mahmud Syaltout kemarin. GP Ansor sudah mengkaji serangan yang dilakukan pada 2013, 2016, dan 2017. Kesimpulannya, konflik Rohingya merupakan konflik geopolitik. (AFP/Reuters/ hep/byu/wan/c9/oki)