Jawa Pos

Semoga Ibu Saya Masih Selamat

-

TAK ada lagi kiriman foto dan video untuk Hussein Johar dari kampung halaman. Bahkan, sekadar kabar pun nihil. Maklum, Maungdaw, kampung halaman pria Rohingya itu yang terletak di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, tengah diblokade ketat militer. Ketahuan berkomunik­asi dengan telepon seluler, risikonya bisa fatal sekali.

”Biasanya saya kirim foto dan pesan lewat WhatsApp,” tutur pria 31 tahun yang berstatus pengungsi dan menempati Apartemen Sederhana Puspa Agro, Sidoarjo, Jawa Timur, itu kemarin (2/9).

Yang biasa dikontak Hussein adalah adiknya, Mohamad Juhar, 22, dan ibunya, Halima, 55. Dia berkomunik­asi minimal seminggu sekali. Entah itu sekadar mengirim pesan ataupun menelepon. ”Semoga ibu saya masih selamat. Sampai sekarang saya coba hubungi, tapi tidak bisa,” lanjutnya.

Sebelum putus hubungan dengan keluarga, Hussein sempat mendapatka­n video dan foto yang menggambar­kan tragedi di kampung halaman. Rumah-rumah dibakar. Dan, banyak warga harus mengungsi.

Bahkan, dalam salah satu video berdurasi tiga menit yang dia tunjukkan kepada Jawa Pos, terdengar berondonga­n peluru yang akhirnya membuat warga suatu kampung berlarian ke luar rumah. Menuju ke pematang sawah dan masuk menuju semak belukar yang dipenuhi pepohonan.

Ada 13 pria Rohingya yang berada di Aparna Puspa Agro dan mengantong­i kartu pengungsi dari United Nations High Commission­er for Refugees (UNHCR). Mereka sudah berada di tempat tersebut lebih dari tiga tahun.

Hidup di pengungsia­n dan tak bisa berkirim kabar dengan keluarga di rumah yang tengah dalam tekanan penguasa tentu saja sangat membuat hati mereka berkecamuk. ”Dulu rumah kami diambil, motor kami diambil, orang-orang dipukuli, dan sekarang orang-orang mulai ditembaki dan dibunuh. Kami salah apa?” kata Mohammad Suaib, rekan sesama pengungsi Hussein.

Suaib mengaku putus komunikasi dengan keluargany­a di Maungdaw sejak 25 Agustus lalu. Menurut dia, yang terjadi saat ini di Rakhine merupakan peristiwa terparah sejak dia meninggalk­an Myanmar pada 2005.

Baik Hussein maupun Suaib mengaku sangat kecewa dengan sikap Penasihat Negara Aung San Suu Kyi yang seolah menutup mata atas penindasan kepada etnis Rohingya. Padahal, dahulu, Nobelis Perdamaian itu begitu getol menyuaraka­n hak warga negara dan demokrasi. Khususnya terhadap etnis mayoritas di Myanmar yang tertindas.

”Sekarang sudah dapat Nobel, dia malah diam. Semua orang di sini (pengungsi di Aparna Puspa Agro) dan di rumah saya kecewa.”

Mereka berharap dunia segera bergerak bersama untuk menolong warga Rohingya. Mereka juga masih menyimpan mimpi bisa pulang lagi ke kampung halaman. Tentu dalam kondisi yang sudah kondusif. ”Kami salah apa? Kami makan di tanah yang sama, punya mata dan warna kulit yang sama,” kata Suaib. (jos/c17/ttg)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia