Jawa Pos

Masuk Boleh, asal Patuhi Aturan

-

KECAMATAN Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan, terdiri atas 17 desa dan 2 kelurahan. Suku Kajang Dalam berada di Desa Tana Toa. Meski demikian, pengaruh Amma Toa tidak cukup di lingkup itu saja. Bahkan, terasa hingga wilayah tertentu di Herlang, Bulukumba. Juga di sebagian wilayah Sinjai.

Kepala Desa Tana Toa Salam menuturkan, area kepemimpin­annya terdiri atas sembilan dusun. Yakni, Balagana, Janaya, So’bu, Benteng, Luraya, Balambina, Tombola, Bongkina, dan Pani.

Di antara sembilan dusun tersebut, tujuh masuk kawasan adat. Sementara itu, dua dusun yang lain, yaitu Balagana dan Janaya, berada di luar. Itu berarti masyarakat yang tinggal di tujuh dusun tersebut wajib mematuhi aturan yang berlaku di dalam kawasan adat.

Luas wilayah adat 780 hektare. Hampir setengah wilayahnya (313 hektare) merupakan hutan.

’’Sejak 2016, status hutan di Tana Toa beralih dari hutan produksi menjadi hutan adat. Karena itu, tidak bisa dimanfaatk­an sama sekali isinya kecuali atas izin amma toa,’’ ujar pria bergelar galla lombo’ itu.

Suku Kajang terbagi dua. Yakni, Kajang Dalam dan Kajang Luar. Suku Kajang Dalam merupakan penduduk yang bermukim di dalam kawasan adat. Kehidupann­ya benar-benar tidak terpengaru­h oleh dunia luar. Bahkan, fasilitas kesehatan dan pendidikan pun tidak ada. Sedangkan Suku Kajang Luar sudah lebih modern.

Perbedaan juga terlihat dari bentuk rumah mereka. Seluruh rumah di Kajang Dalam berbentuk rumah panggung menghadap ke barat. Bagian dalam rumah nyaris tidak ada sekat. Dapur dan kamar mandi berada di luar rumah. Tepatnya di depan rumah.

Sementara itu, rumah-rumah di Kajang Luar tidak seluruhnya berbentuk panggung. Ada juga yang berbentuk seperti rumah bata pada umumnya. Ada pula yang campuran keduanya.

Untuk berkomunik­asi, mereka menggunaka­n bahasa Konjo. Bahasa itu memiliki abjad sendiri yang disebut Lontara. Hanya masyarakat Kajang Luar yang cukup fasih berbahasa Indonesia.

Masyarakat di dalam kawasan adat sama sekali tidak tersentuh listrik. Ketika hari semakin malam, daerah di tujuh dusun tersebut seperti kota mati. Seluruh wilayahnya gelap gulita. Kegiatan warga pun sudah beralih di dalam rumah masing-masing.

Pakaian yang dikenakan selalu serbagelap. Warna-warna terang, misalnya merah dan kuning, sangat dilarang dalam kawasan tersebut. Karena itu, anak-anak masyarakat Suku Kajang Dalam yang mengenyam pendidikan SD mengganti baju merah-putih mereka dengan hitam-putih. Warna putih masih diperboleh­kan. Sebab, menurut mereka, putih bukan warna.

Meski memiliki banyak peraturan dan sanksi tegas, tidak berarti penduduk Kajang Dalam tidak bisa mengenyam pendidikan tinggi. Anakanak di Kajang Dalam boleh merantau ke luar daerah. Begitu pula orang-orang dari luar juga boleh masuk ke kawasan adat. Asalkan, ketika masuk ke kawasan adat, mereka memenuhi aturan yang berlaku di dalam area tersebut.

Para pendatang atau turis biasanya menuju rumah galla lombo’ untuk meminta izin masuk ke kawasan adat. Di sana juga disediakan sarung dan baju serbahitam bagi yang ingin meminjam.

Selain berpakaian serbahitam, orang yang masuk ke kawasan adat tidak boleh mengenakan alas kaki. Sebelum berkelilin­g, biasanya mereka menuju rumah Amma Toa Puto Palasa sebagai tata krama memasuki wilayahnya. Jalan bebatuan yang harus ditempuh dari gerbang hingga rumah amma toa mencapai 1 kilometer. ’’ Benda- benda elektronik harus disimpan, tidak boleh sembaranga­n memotret,’’ terangnya. ( ant/ c4/ dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia