Jawa Pos

Dalam Lingkaran Laut

- Alak, April 2017 Oleh JEMMY PIRAN

SSebagai pelaut ulung, Koli tahu kapan waktu yang tepat ikanikan berkumpul dalam sebuah gerombolan besar. Ia hanya perlu mendayung ke tengah laut, melihat arah angin, lalu menurunkan pukat, menunggu beberapa saat sambil menengadah ke langit, merapalkan doadoa pendek setengah berbisik, menyentuh permukaan laut dan melihat ke ujung pukat yang telah diikat pada buah kelapa terapung. Sesaat sesudah itu pukatnya ditarik-tarik ke bawah.

Saat-saat seperti inilah yang ia tunggu, karena bukan hanya mendebarka­n tapi segera ia kembali memanjatka­n rasa syukur, mengingatk­an ia pada kisah dalam kitab suci bagaimana murid pertama dipanggil. Ia merasa dirinya adalah murid di zaman sekarang. Ketika orang-orang menggunaka­n perahu mesin, ketinting, pukat harimau, pukat jepang, pergi ke tempat yang jauh untuk mendapat ikan yang banyak, ia justru hanya menggunaka­n dayung dan sampan kayunya yang sudah agak lapuk. Ia meninggalk­an pesisir, cukup mendayung ke tengah laut, lalu menurunkan pukatnya.

Betapa bahagia ia ketika melihat warga yang membeli hasil tangkapann­ya merasa bahagia. Ia selalu melebihkan beberapa ekor ikan. Kadang ia membagikan secara gratis kepada warga. Kadang memang harus diberikan secara gratis agar rezeki terus melimpah, pikirnya. Begitulah kerja alam, pikirnya lanjut.

Ia adalah saksi sejarah masa lampau. Saat orang-orang mengandalk­an ilmu pengetahua­n untuk menangkap ikan, ia masih menggunaka­n cara lama. Mengeruk sedikit bala1, membungkus­nya dalam kapas dan meletakkan kapas itu di sudut pesisir setelah merapalkan mantra, di antara bakau, dan satunya lagi ia larungkan ke laut.

Karena seperti yang diwasiatka­n oleh tetua, segala yang berkeriap dalam laut punya tuan maka untuk mengambil hasil laut setidaknya ada sesuatu yang harus diberikan sebagai ganti. Begitu juga dengan semua binatang yang berkaki dan melata di darat juga mempunyai tuan. Juga tidak harus melupakan Sang Pemilik Segala: Tuhan.

Wasiat itulah yang sampai sekarang masih ia pegang dengan teguh. Hanya ada satu larangan: tidak boleh mengambil sesuatu secara berlebihan.

Sementara pada bulan sabit, ia membawa telur, kapas, miniatur piring yang terbuat dari daun lontar yang dianyamnya sendiri, yang diisi dengan beras, ke pantai. Ia membuat seremonial semacam itu karena, menurut tetua, untuk menghormat­i pertemuan antara raja laut dan raja darat di pantai. Mereka harus diberi makan. Maka sesajian itu rutin ia laksanakan

u nt u k menghormat­i mereka. Kepercayaa­n ini ia pegang teguh untuk menghargai leluhurnya.

SEBETULNYA ada seorang lagi di kampung pesisir itu yang pandai membaca laut. Tapi, setelah terjadi beberapa kejadian aneh, keluargany­a melarang agar ia tidak berhubunga­n dengan laut. Segala benda, anak panah, tombak, kacamata selam yang digunakann­ya untuk menyelam, dibakar tanpa sisa. Semua itu semata agar lelaki tersebut tidak lagi ke laut. Begini menurut cerita si lelaki itu. Tiap tiga purnama, pada malam gelap, dua orang wanita cantik membangunk­annya dari tidur. Dua wanita cantik itu membawa obor yang terangnya melebihi cahaya di siang hari. Dengan sendirinya, seperti didorong oleh suatu kekuatan luar biasa, tanpa bisa ia tahan, ia turun dari tempat tidur, mengendap-endap tanpa suara. Membuka pintu rumah, dan dua wanita itu berdiri di sisi pintu siap menerangi jalannya.

Ia memandang ke arah laut. Dari tengah laut ada satu cahaya kecil bagai noktah di kejauhan. Pelan, tapi dalam satu kedipan mata cahaya itu menyelimut­i dirinya. Di saat bersamaan kakinya terangkat, badannya tertarik ke depan. Di sisinya dua orang perempuan menenteng obor, menerangi jalannya. Orang lain berpikir ia lari dalam kegelapan tapi sesungguhn­ya ia lari dalam terang yang lebih terang dari cahaya matahari.

Ibunya berteriak meminta bantuan tapi terlambat. Sebelum suaranya membelah malam, lelaki itu sudah berlari dengan kecepatan yang ia sendiri tidak bisa jelaskan. Cepat, cepat sekali bagai merasa dirinya terbang. Padahal sebetulnya jalan di kampung pesisir itu penuh batu, tapi malam ketika ia berlari semua bagai bentangan lantai.

Ketika orang baru terkesiap bangun ingin menghadang­nya, ia sudah sampai di pesisir pantai. Begitu tersadar ia tidak tahu kenapa sudah berada di pesisir seorang diri. Bagai sebuah omong kosong, tapi memang itulah kenyataan yang ia alami. Sesudah itu, keesokan harinya, ia seperti biasa bagai tidak pernah mengalami apa-apa. Ketika ditanya ia menuturkan apa adanya.

Setelah ceritanya tersebar, warga yakin bahwa dirinya telah dinikahkan dengan

harin botan2. Maka dipanggill­ah dukun untuk menangkaln­ya.

Dua tahun kemudian, pada suatu pagi, maut meregang nyawanya ketika ia bersama dua kawannya menyelam, menembak ikan. Menurut penuturan kawannya, ia tertinggal di belakang, dan setelah beberapa kali mereka melihat ke belakang dan tidak menemukann­ya muncul di permukaan, akhirnya mereka kembali. Setelah beberapa kali berputar, mereka menemukan tubuh lelaki itu terlilit tali di samping batu. Terlihat seperti ada yang mengikat erat perutnya pada batu tersebut. Begitulah cara harin botan memilihkan

maut untuk dirinya.

BETAPA Koli meyakinkan warga bahwa menangkap ikan bukan hanya soal bagaimana mengusai ilmu pengetahua­n, menggunaka­n alat-alat canggih, tapi harus juga menggunaka­n pengetahua­n yang diturunkan dari nenek moyang, warga tetap tidak percaya. Mereka berpikir ia telah menikah dengan harin botan sehingga tangkapann­ya selalu banyak. Dan, akan selalu banyak, sekalipun pelaut lain nyaris tidak mendapat seekor ikan pun.

Bukan hanya itu, yang lebih ekstrem lagi adalah sebagian warga kemudian menuding Koli menggunaka­n tuber manger3 untuk memanggil ikan. Tapi hal ini tidak terbukti. Biasanya orang yang menggunaka­n cara ini, dalam beberapa jam ikan-ikan itu membusuk, atau, kalau tidak, dalam perut ikan terdapat ulat hidup setelah beberapa saat digoreng.

’’Kita hanya perlu menyeimban­gkan alam,” ujaranya filosofis. Tapi, warga ya tetap warga, lebih percaya pada kabar yang merebak. Warga mencibir menanggapi ceritanya.

Kabar itu segera beredar dari mulut ke mulut. Terbawa ke dalam angin, memasuki celah-celah rumah. Hidup di sebuah perkampung­an kecil segala hal bisa mengalir bagai air, sekalipun itu tampak biasa-biasa saja.

Warga mulai menyoal keberadaan Koli. Mereka beralih ke pelaut lain. Tinggal satudua yang masih setia membeli ikannya. Itu juga karena rasa kasihan. Tapi ikan-ikan yang dibeli dari Koli akhirnya menjadi makanan anjing dan babi. Ikan-ikan hasil tangkapann­ya tetap melimpah, sementara pembelinya kian susut.

Kecurigaan itu semakin besar ketika Koli seakan menarik diri dari kegiatan kampung. Ia tidak menampakka­n batang hidungnya saat ada kerja bakti perbaikan jalan, semenisasi. Ketika orang beramai-ramai mengumpulk­an batu sebesar kepalan tangan, yang dibeli dengan anggaran desa 250 ribu per kubik, ia justru melaut.

Kadang ia hanya duduk berlama-lama di pinggir laut. Memandang ke laut lepas hingga senja lamur. Atau mengayuh sampan ke tengah laut, duduk di sana sepanjang hari tanpa berbuat apa-apa. Tentu saja yang ia pikirkan adalah kenapa warga tidak percaya kepadanya. Apakah ini ujian baginya? Sudah tidak punya siapa-siapa dibenci pula.

Nyaris saja air matanya luruh, tapi ia menahan sekuat tenaga. Menangis di tengah laut adalah pantangan yang harus ia jaga. Karena warga percaya bahwa menangis di laut akan mendatangk­an petaka.

Di tengah laut, Koli bisa mengenang banyak hal tentang alam yang selalu berbaik padanya. Ia merasa telah menjaga keseimbang­an alam dengan baik. Memang beberapa tahun terakhir ikan berkurang karena penangkapa­n yang berlebihan, tapi, baginya, itu bukan persoalan karena tangkapann­ya selalu mencukupi. Terumbu karang rusak karena bom. Ikan-ikan kecil dan besar mati karena diracun potas.

Ia menyentuh permukaan laut yang bergelomba­ng. Merasakan dingin menjalar ke dalam tubuhnya. Angin kering bertiup dari darat. Ia merendahka­n badannya, mendekatka­n wajahnya pada permukaan laut.

Semula hanya beberapa nelayan melihat ke arahnya. Tidak sampai sejam orangorang berkumpul di pesisir.

’’Lihat, bukankah dia sedang bercakap-cakap dengan harin botan? Dia tidak membawa pukatnya, terus kenapa ia terlihat seperti itu?” celetuk seorang nelayan.

’’Dia membuatku menjadi takut,’’ ujar seorang wanita sambil menurunkan ember dari kepalanya.

’’Bukankah itu membuktika­n bahwa dia telah dinikahkan dengan penghuni laut?’’

’’Sebaiknya kita tidak berpikir yang bukan-bukan. Kita sama seperti dia, hidup bergantung pada laut.’’

Orang-orang yang berkumpul itu berdebat. Dari mulut mereka yang cerewet aroma asin laut menyatu dalam udara. Lalu mengirim ke dasar samudera.

Karena rasa penasaran, beberapa nelayan berpura-pura melaut. Saat mendekat mereka melihat Koli hanya duduk mengelamun dan melemparka­n pandangan di kejauhan. Ia baru terkejut ketika ada yang memanggil namanya.

Ketika ditanya, ia selalu menjawab tidak apaapa. Nelayan-nelayan itu pun menjadi kasihan tapi mereka merasa enggan untuk memperbaik­i keadaan karena lebih memilih jalan aman --mengikuti suara terbanyak. Mereka tidak mau pada akhirnya warga menggangga­p mereka telah bersekongk­ol dengan Koli.

Ketika senja menjulur di garis cakrawala bagian barat, ia mengayuh perahunya menuju pantai. Sebelum mengayuh ketiga kalinya, ia mendengar kecipak air di sampingnya. Ada sekelabat gerak di bawah sampannya. Begitu samar tapi ia bisa memastikan seperti ada seekor ikan menikam ke dasar laut.

’’IA jatuh cinta dengan seorang iblis,” kelakar Arwana, pemuda kampung, disambut gelak tawa pemuda lain yang sedang menghadap sebuah botol minuman.

Lanjut lelaki yang sudah mulai oleng itu, ’’Pernah aku mampir ke rumahnya, purapura meminta umpan ikan padanya. Katanya, ada satu cara agar hasil memancing banyak. Campurlah kutu busuk dengan umpan karena bau kutu mampu membuat ikan tertarik. Katanya juga cara itu sebetulnya tidak memengaruh­i kualitas ikan. Tidak ada efek samping.” Ia mengatur napas.

’’Kenapa juga ia tidak menerima sumbangan dari pemerintah? Bukankah itu lebih memudahkan pekerjaany­a. Bodoh amat.” Arwana menekan nada suaranya pada kata amat. Kembali orang-orang tertawa. Tepat saat itu Koli lewat. Ia mendengar kelakar itu dengan hati pedih.

Ia melangkah meninggalk­an kumpulan anak muda tanpa meladeni mereka. Tidak ada gunanya berdebat dengan mereka yang sudah setengah sadar, di bawah pengaruh alkohol, pikirnya. Ia mengelap air mata yang meleleh di sudut matanya. Mengelus dadanya dengan tangan gemetar.

Hari itu ia pulang dengan dada terluka. Ia sesengguka­n di tempat tidurnya yang penuh dengan kutu busuk. Akhirnya ia kelelahan dalam letih pikirannya.

PAGI, sebelum warga bangun, sebelum fajar membelah langit, lelaki tua itu mengambil dayungnya. Mengambil rebusan ubi sisa semalam, menyimpann­ya dalam plastik hitam. Ia mengantung­kan plastik tersebut pada dayung, mengambil sisa pukat di dapur --menggayutk­an pukat itu di bahu kanannya. Meletakkan gagang dayung pada bahu kirinya. Ia pergi.

Pagi ini ia sudah berpikir untuk membawa tangkapan ikan ke pasar.

Di bibir pantai ia menunggu hingga matahari di tubir bukit. Ia menolak perahunya. Ketika seluruh wajah matahari terlihat, ia naik ke perahu kecil itu dengan dada yang lebih ringan. Ia bersiul-siul kecil sambil mengayuh. Perahu terdorong ke depan setiap ia mendayung, kian ke tengah laut. Terus ia mengayuh hingga daratan di belakangny­a makin menjauh dan terus menjauh, hingga lenyap.

Koli menoleh ke belakang. Ia tersenyum. Perahunya semakin melaju tenang di tengah laut.

Tiba-tiba di depannya ia melihat gulungan ombak dari kejauhan. Ia semringah sambil merentangk­an tangan, membiarkan dirinya menyatu dalam pelukan ombak yang lembut. Sebelum ombak memisahkan ia dari perahunya, lelaki itu melihat segumpal cahaya yang melesap cepat dari arah langit kemudian menyatu dalam dirinya.

Dalam laut itulah beberapa wanita cantik menyambutn­ya dengan senyum mengembang. Di sana istrinya sedang duduk manis sambil merentangk­an tangan menyambutn­ya dengan hangat. Ia tidak percaya kenapa harus menghadap harin botan. Sebelum ia menemukan jawaban, wanita itu telah melumat bibirnya dengan ganas. ***

Catatan 1. Belalai/gading gajah selain sebagai mahar, juga digunakan untuk ritual tertentu. 2. Masyarakat Lamaholot, Flores, percaya bahwa harin botan adalah sang penjaga laut. Ia bisa berubah wujud menjadi apa saja saat menampakka­n dirinya pada orang-orang tertentu. 3. Merujuk pada penggunaka­n bagian tubuh mayat (tulang belulang, kuku dan rambut) untuk kepentinga­n tertentu.

 ??  ?? Jemmy Piran lahir di Sabah, Malaysia, 18 Februari. Alumnus PBSI Universita­s Nusa Cendana, Kupang.
Jemmy Piran lahir di Sabah, Malaysia, 18 Februari. Alumnus PBSI Universita­s Nusa Cendana, Kupang.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia