Teringat Orang Suci Minta Duit di Nepal
Buku membuat orang menjelajahi dunia. Dan, D. Agung Krisprimandoyo, direktur Ciputra Group, melanglang jagat melalui hobi jeprat-jepret. Hasilnya adalah buku-buku yang membuat pembacanya ikut berkelana.
” MELALUI foto, manusia bisa termotivasi untuk bepergian. Menuju berbagai tempat di penjuru dunia.” Ucapan itu terlontar dari bibir Denpharanto Agung Krisprimandoyo di Marketing Office CitraLand pada 2016.
Ya, Agung Pimo, sapaannya, adalah penghobi fotografi. Dan, dia serius. Berbagai tempat sudah disinggahinya demi bingkai-bingkai foto yang akhirnya menjadi kenangan abadi.
Padahal, Pimo adalah orang sibuk. Eksekutif. Dengan jabatan mentereng. Meniti karir sejak 1995, Pimo kini menjabat direktur Ciputra Group. Selain itu, pria yang menyelesaikan pendidikan S-1 di Jurusan Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan dan Magister Keuangan Universitas Gadjah Mada tersebut menjadi dosen di Universitas Ciputra
Kecintaan Pimo pada dunia fotografi berawal saat dia membeli sebuah kamera poket pada 2000 untuk kepentingan dokumentasi pribadi. Tapi, rasa cintanya terus terpupuk hingga Pimo mampu menghasilkan karya-karya elok. Dia sudah menghasilkan enam buku yang berisi karya- karyanya. Baik karya pribadi maupun buku keroyokan alias antologi.
Yang paling anyar, Pimo menelurkan Dekade pada Agustus 2017. Buku Dekade merupakan saksi perjalanan 10 tahun perhelatan CitraLand Superfest di G-Walk, CitraLand. Ya, Pimo memang merupakan salah seorang penggerak salah satu event budaya terbesar di Surabaya itu.
Dekade memuat tiga subjudul. Yakni, Dance, Music, dan Performer. Buku berisi 92 halaman tersebut memuat dokumentasi pementasan budaya. Foto-foto dikemas dengan gaya katalog. Tanpa caption alias teks penjelas. Juga, tanpa judul. Pimo membiarkan foto-foto di dalam buku itu berbicara sendiri dengan kekuatannya.
Dekade memang ’’sekadar’’ hasil dokumentasi festival yang digelar untuk mem-branding G-Walk. ”Saat itu, kami melihat gaya hidup orang yang ingin makan di tempat yang aksesnya gampang dan dekat tempat parkir,” jelas Pimo.
Untuk itu, pihak CitraLand mengangkat pertunjukan dengan merangkul aneka kebudayaan lokal. Berbagai kebudayaan Jawa Timur ditampilkan dengan arakarakan dan aksi panggung. Dalam perjalanannya, festival tersebut akhirnya juga diisi seniman dari berbagai daerah. Juga, seniman mancanegara.
Tapi, Dekade akhirnya mewujud menjadi buku yang bukan sekadar hasil dokumentasi. Pimo secara jeli membidik aneka unsur human interest. Ada pesan-pesan yang ingin disampaikan dalam fotofoto itu. Pesan tentang aneka bentuk kesenian hingga para pelakonnya.
Ayah dua putra tersebut menghadirkan potret interaksi dan ekspresi antar seniman. Dari ribuan foto dokumentasi tentang G-Walk, terpilihlah 72 potret hasil kurasi fotografer senior Jawa Pos, Becky Subechi, yang dikemas dalam buku. ”(Buku) Dekade adalah bukti sejarah,” tegasnya.
Buku tersebut dicetak kali pertama sebanyak 500 buah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 250 buku dibagikan secara cumacuma. Sisanya sudah terjual. Pimo menyebutnya buku indie alias tidak diproduksi secara masal. Penikmatnya pun hanya kalangan tertentu. ”Ini memang bukan pure komersial. Toh, kalau masih ada permintaan, bisa cetak lagi. Gampang,” ucap suami Rubiana tersebut.
Menurut dia, buku atau cetakan fisik tak akan pernah mati meski sekarang sudah berada di zaman serbadigital. Ada kepuasan tersendiri ketika melihat foto dalam bentuk buku. Menggenggam wujud fisik itulah yang menjadi seni.
Sebelum melahirkan Dekade, Pimo meluncurkan deretan buku solo. Di antaranya, Amazing Place, 24 Hours in CitraRaya, dan Beyond Surabaya. Buku Amazing Place merupakan proyek solo yang digunakan Pimo untuk suvenir saat mengambil gelar doktor ilmu ekonomi Universitas Airlangga. Buku itu diberikan kepada orangorang yang membantunya mengisi kuesioner.
Sementara itu, untuk proyek kolaborasi, Pimo bersama beberapa nama-nama lain menelurkan Wandering Over The Planet-Nature & Wilderness (2017) dan 35 Destinations, Travel Bucket List – Bingkai Perjalanan Foto dan Cerita (2017). Buku Wandering Over The Planet-Nature & Wilderness memuat satu foto miliknya yang berjudul Large Crack Around the Crater of Mt. Merapi. Foto itu diambil dari ketinggian 2.930 meter di Jogjakarta.
Dari sekadar mendokumentasikan acara, kepekaan Pimo dalam hal fotografi terbentuk dari banyaknya objek yang dibidik. Secara otodidak, karena bekerja di bidang properti, dia mengawali hobinya dari memotret lanskap.
Karakter foto pria kelahiran Jogjakarta, 24 Desember 1968, tersebut terbentuk dari hasil menjepret wajah kota, gedung, rumah, dan pemandangan alam. Kemudian, berkembang ke arah dokumentasi interior ruangan. Lalu, Pimo tertarik merambah fotografi human interest. Sisi kemanusiaan.
Ketertarikan mencari objek-objek etnik mendorong Pimo menempuh aneka perjalanan. Baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Pimo melakoni dua hal. Yakni, traveling for photo (bertualang demi foto) dan photo for traveling ( menghasilkan foto untuk perjalanan).
Yang pertama, Pimo memiliki cara khusus untuk meluangkan waktu sendiri. Dia menempuh perjalanan ke berbagai negara seorang diri hanya untuk mencari foto. Sedangkan yang kedua, dia mengabadikan gambar ketika berlibur bersama keluarga. ” Keduanya dapat berjalan seimbang,” katanya.
Di perjalanan hidupnya sebagai penghobi fotografi, Pimo telah menjajaki berbagai negara di hampir seluruh benua. Hampir seluruh negara di Benua Eropa, Amerika, Asia, dan Australia pernah disinggahi.
Selanjutnya, Pimo menargetkan tempat yang memiliki lanskap maupun kebudayaan eksotis. Yakni, Afrika. ”Kebetulan, pekerjaan juga mendukung hobi saya. Jadi, saya sering jalanjalan dibayarin kantor. Itu biasanya sebagai bonus kalau karyawan tembus target pemasaran,” paparnya.
Dalam perjalanannya, Pimo tidak hanya menghasilkan foto. Sering kali, dia membawa pulang kenangan. Misalnya, saat pergi ke Kathmandu, Nepal, pada 2016.
Waktu itu, Pimo mampir ke kuil suci Pashupatinath. Di sana dia menemui banyak pertapa. Mereka disebut sadhu. Dalam Hinduisme, sadhu dikenal sebagai orang suci. Seluruh hidupnya didedikasikan untuk mencapai moksa dan menanggalkan materi duniawi.
Dari segi visual, penampilan para sadhu memang sangat eksotis. Bagi para fotografer, ekspresi dan gestur manusia adalah sesuatu nan unik dan fotogenik.
Para sadhu mengenakan pakaian yang berwarna kunyit menyala. Pakaian itu dikenakan dengan berbagai gaya. Ada yang bertelanjang dada. Ada yang hanya membalutkan kain di bagian bawah tubuhnya. Ada pula yang membaluri tubuhnya dengan menggunakan abu sehingga tampak putih.
Beberapa sadhu juga tampil dengan rambut gimbal panjang serta tidak mencukur jenggot dan kumisnya. Rambut yang tergerai dan gimbal dibiarkan hingga melebihi panjang tubuh mereka. ”Rambut bisa digulung sehingga menyerupai sanggul. Atau, malah mirip topi,” katanya.
Para sadhu memiliki tubuh kurus karena tidak pernah makan. Hanya minum susu sapi. ”Beruntung, saya ditarik Milk Baba untuk diajak berfoto bersama. Rambutnya dilingkarkan ke leher saya sembari memberi berkat di dahi,” lanjutnya.
Para sadhu menjalani hidup dari belas kasihan orang lain dengan berkeliling untuk mendoakan dan memberi berkat.” Lho lucunya, sehabis saya didoakan, kok dimintai tip. Tarifnya USD 5 sekali jepret,” kata Pimo, lalu tertawa kecil. Karena itu, dia mengimbau para wisatawan agar tidak tertipu dengan sadhu jadijadian. Palsu.
Sampai saat ini, Pimo terus merangkai jarak untuk merajut cerita. Setelah ini, masih banyak lagi bingkai-bingkai yang akan mengabadikan kebahagiaan, juga membuat orang bahagia. ”Ke depan, masih ada garapan yang sangat idealis dan lebih luas,” katanya. (*/c7/dos)