Enjoy Wira-wiri Urus Akta hingga Cari Sekolah Alternatif
Siapa pun yang berusaha keras pasti meraih kehidupan lebih layak. Motivasi itu selalu ditanamkan Candra Wardani kepada anak-anak asuhnya dalam program Campus Sosial Responsibility (CSR) Dinas Sosial (Dinsos) Surabaya.
”BUNDA, nanti Bu Wali beneran hadir? Aku ingin curhat sama Bu Wali,” tanya Hoirul Anam, 16, kepada Candra Wardani. Anam putus sekolah karena keterbatasan ekonomi keluarga. Bapaknya penganggur. Ibunya hamil tua dan ada tumor di perutnya.
Anam punya empat adik. Dia kini jadi tulang punggung keluarga. Padahal, pekerjaannya tidak jelas. Ikut orang nyablon pun dilakoni. Per hari dia menerima bayaran Rp 35 ribu. Uang itulah yang dibagi untuk makan tiap hari. Seharusnya sekarang dia duduk di bangku SMA kelas X.
Lutfiyah, adiknya, juga putus sekolah. Seharusnya dia sekarang SMP kelas VIII. Tinggal tiga adiknya yang kini masih merasakan bangku sekolah dasar.
Masih mau sekolah? Tentu saja pertanyaan itu dijawab dengan mantab Anam. ”Iya, pengin,” katanya. Namun, nasib baik belum berpihak kepadanya. ”Saya kalau lihat teman-teman, rasanya ingin kembali sekolah,” lanjutnya.
Motivasi dan pendampingan yang diberikan Candra cukup manjur. Lima anak itu punya motivasi untuk tetap sekolah. Biaya bukan penghalang bagi Candra untuk memperjuangkan nasib mereka. ”Selama mau berusaha, pasti ada jalan,” ujar mahasiswa Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PG PAUD) Universitas Muhammadiyah Surabaya itu.
Candra merupakan peserta program CSR Dinas Sosial Pemkot Surabaya. Program tersebut menyasar anak rentan putus sekolah. Harapannya, saat ada pendampingan, anak-anak tersebut kembali ke zona hijau dan mau melanjutkan sekolah.
”Sepertinya ini jalan Allah untuk saya,” ungkap perempuan 38 tahun itu. Ibu empat anak tersebut sangat bersemangat memperjuangkan nasib anak rentan putus sekolah. Meski waktunya tersita, Candra tidak menyerah. Apalagi, dia sudah mendapat restu suami dan keluarga. Restu itu pula yang menjadi modalnya untuk tetap men- dampingi anak-anak putus sekolah. Saking akrabnya, dia kini dipanggil dengan sebutan bunda oleh anak asuhnya.
Kegiatan Candra cukup banyak. Mulai mengurus akta hingga men- cari pendidikan alternatif untuk Anam dan adik-adiknya. Maklum, anam dan adik-adiknya tidak memiliki akta lahir. Kartu keluarga (KK) juga morat-marit. ”Nama dan tanggal lahirnya tidak cocok. Kebalik semua,” katanya.
Candra mendaftarkan Anam untuk mengikuti pendidikan kejar paket. Dengan begitu, masih ada harapan bagi Anam untuk memiliki ijazah. ”Anaknya masih semangat sekolah, kasihan kalau tidak diperjuangkan,” ungkapnya.
Selain lima anak tersebut, Candra memiliki dua anak asuh lain. Namanya Fitri Wulansari dan Aulia Yulianti. Mereka kakakadik yang tinggal di Kelurahan Bulak Banteng. Menurut Candra, dua anak asuhnya itu tidak mau sekolah karena sering di- bully kawan sekelas.
Tentu saja hal tersebut membuat mereka minder. Selain itu, dua anak tersebut bisa dibilang kurang belaian kasih ibu. Sejak kecil mereka ditinggal pergi oleh ibunya yang menikah dengan mantan pacarnya. Saat itu Fitri baru berusia 1,5 tahun dan Aulia 8 bulan. Kini hanya sang ayah yang masih memberikan kasih sayang untuk mereka. ”Mereka dekat sekali dengan saya. Sering curhat dan cerita,” katanya.
Banyak pengalaman berharga yang dirasakan Candra saat membina anak-anak tersebut. Sebenarnya Candra saat itu hanya kebagian satu keluarga. Namun, karena ada temannya yang mengundurkan diri dari CSR, dialah yang mengambil alih. ”Kasihan kalau mereka dilepas. Nyatanya, di Surabaya masih banyak yang membutuhkan bantuan,” ujarnya.
Keseharian Candra memang tidak jauh dari kehidupan sosial dan anak-anak. Saat ini dia menjabat kepala sekolah sebuah playgroup di kawasan Daerah Basis Angkatan Laut (DBAL), Ujung. Itulah salah satu yang menjadikan Candra selalu meluangkan waktu untuk anak-anak. (*/c10/oni)