Sebelas Tahun Nasib Tak Berubah
SEJUMLAH siswa tampak berlarian bebas di halaman SDN Dukuh Sari I, Jabon, kemarin (2/9). Sebenarnya kegiatan belajar mengajar (KBM) aktif. Namun, khusus hari itu peserta didik diajak melakukan kegiatan keagamaan dengan materi-materi seputar Idul Adha. Seluruh guru terjun mendampingi anak-anak.
Di SD tersebut, ada 11 guru yang mengampu. Tiga di antaranya masih berstatus guru tidak tetap (GTT). Plus seorang pegawai tidak tetap (PTT) yang juga membantu sebagai tenaga pengajar. Dia adalah Rahayu Pujiati. Bergabung dengan keluarga besar SDN Dukuh Sari I, Jabon, sejak 11 tahun lalu sebagai operator, statusnya hingga kini belum berubah. Masih PTT.
Adapun tiga GTT di sekolah itu adalah Khujaimah, Vivi Dwi Yanti, dan Tri Andi Susanto. Andi sudah mengajar selama 10 tahun. Sedangkan Khujaimah yang biasa disapa Khuj masih melewati masa bakti selama tiga tahun. ”Kalau Bu Vivi belum ada 2,5 tahun,” terang Kepala SDN Dukuh Sari I Mokhamad Faujan.
Manurut Faujan, Vivi belum mendapatkan tunjangan GTT karena masa baktinya yang belum memenuhi formasi yang ditentukan Pemkab Sidoarjo. Yakni, minimal dua tahun. Biasanya, pengajuan tunjangan dilakukan setiap Januari. ”Makanya, baru tahun depan bisa diajukan,” ucap Faujan.
Saat ini Faujan lebih memikirkan nasib Rahayu yang seharusnya sudah bisa menjadi wali kelas agar tunjangannya terhitung GTT. Seperti dua temannya yang lain. ”Saya cuma dapat Rp 500 ribu. Soalnya kan statusnya operator. Kalau teman-teman bisa Rp 1 juta,” ungkap Rahayu.
Lulus diploma 2 dari Universitas Terbuka Malang menjadi penghambat bagi Rahayu untuk bisa mengajukan insentif. Padahal, dia sudah mendedikasikan dirinya selama 11 tahun di SDN Dukuh Sari I Jabon. ”Saya bantu ngajar TIK (teknologi informasi dan komunikasi, Red),” katanya.
Kondisi tersebut membuat Rahayu kadang sulit memenuhi kebutuhan dua anaknya saat masuk tahun pelajaran baru. Terkadang dia harus pinjam sana-sini. Kebutuhan begitu menumpuk. Rasanya tak bisa dicukupi dengan gajinya, plus gaji suami yang menjadi staf di Desa Kupang, Jabon. ”Tapi, ya selalu disyukuri saja,” katanya.
Khuj dan Andi mengalami kesulitan yang sama. Untuk menambah penghasilan, mereka mencari pekerjaan sampingan. Khuj yang sehari-hari mengajar mata pelajaran (mapel) agama merangkap tentor di sebuah bimbingan belajar di sekitar Tanggulangin. Dia bisa mengampu mapel matematika, ilmu alam dan sosial, bahasa, serta pendidikan kewarganegaraan. ”Satu bulan ya gajinya sekitar Rp 1 juta. Lumayan bisa bantu kebutuhan orang tuaku yang tinggal ibu saja,” tutur Khuj.
Meski belum berkeluarga, Khuj sudah menjadi tulang punggung keluarga. Dengan tunjangan pemkab sebesar Rp 1 juta dan insentif dari sekolah sebesar Rp 500 ribu, Khuj harus memutar otak agar kebutuhan keluarganya tercukupi. Apalagi, sarjana Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang itu juga ingin mulai menabung untuk masa depannya. ”Kalau dari insentif saja ya agak ngepres,” kata Khuj, lalu tertawa kecil.
Andi juga berusaha memaksimalkan ilmu kependidikannya dengan membuka les di rumahnya. Kediaman Andi hanya beberapa meter dari SDN Dukuh Sari I Jabon. Saat ini jumlah muridnya hampir 50 anak. Meski begitu, tanggungannya juga banyak. Sejak SMA, Andi mengangkat keponakannya menjadi adik asuh. ”Orang tuanya sakit-sakitan. Jadi, ya saya urus kebutuhan sekolahnya semua,” ujar pria 34 tahun itu.
Kepala UPTD Cabang Dinas Pendidikan Jabon Eko Agus Sugiyono berharap sebisa mungkin sekolahsekolah menghentikan dahulu penerimaan GTT. Sebab, masih banyak GTT yang telah lama mengabdi dan tak kunjung diangkat menjadi PNS.
”Sekolah yang saya rasa berlebih GTT-nya ya saya ajak diskusi supaya dibatasi dulu,” paparnya. Dia berharap kebijakan tersebut tidak dipandang sebagai pemaksaan atau tekanan terhadap calon GTT baru. Pertimbangannya lebih pada soal kesejahteraan. ”Banyak yang sampai ngoyo sekolah S-2 supaya bisa segera diangkat. Ya, termasuk Pak Andi itu (guru SDN Dukuh Sari I, Jabon, Tri Andi, Red).” (via/c17/pri)