Susah-Susah Memulai, Sayang jika Kuliah Kami Terhenti
Sampai kembali ke tanah air, Muhammad Hadi dan Nurul Islam Elfis mengaku tak tahu mengapa mereka ditangkap dan ditahan otoritas Mesir. Gubernur Sumbar siap memperjuangkan agar keduanya bisa balik tuntaskan studi di Al Azhar.
MATA Murtalinda berkaca-kaca. Persis ketika anak muda yang ditunggunya terlihat di terminal kedatangan, meledaklah tangisnya.
Muhammad Hadi, si anak muda
yang tak lain buah hatinya, dipeluknya erat. ”Alhamdulillah, hati lega. Itu saja yang bisa saya sampaikan,” kata Murtalinda setelah tangisnya agak mereda kepada Padang Ekspres ( Jawa Pos Group).
Di Bandara Internasional Minangkabau, Padang Pariaman, pada Minggu siang lalu itu (3/9), sepasang orang tua lain, Muharnes dan Elfis, juga dibalut keharuan serta kelegaan serupa. Sebab, mereka juga dipertemukan kembali dengan putra mereka, Nurul Islam Elfis.
”Kami sempat sakit kepala memikirkan nasib dia. Ini semua karena bantuan pemerintah dan terutama pertolongan Allah,” kata Elfis yang sehari-hari bekerja sebagai penjahit dan berladang itu
Hadi dan Nurul adalah dua mahasiswa asal Sumatera Barat (Sumbar) yang sempat sebulan ditahan otoritas keamanan Mesir di Aga. Aga berjarak sekitar 15 kilometer dari Samanud, kota tempat kedua mahasiswa Universitas Al Azhar tersebut ditangkap pada 1 Agustus lalu.
Hingga menginjakkan kaki di tanah air lagi, keduanya tak tahu apa sebenarnya alasan mereka ditangkap dan ditahan. Kalau disebut mereka memasuki zona terlarang, Nurul menjelaskan sama sekali tak ada keterangan bahwa daerah yang mereka masuki itu masuk ”daftar hitam”.
”Kami tidak tahu apa-apa tentang zona terlarang. Yang pasti, kami ditangkap setelah jajan,” terang mahasiswa semester 7 itu.
Hadi menambahkan, penangkapan dirinya dan Nurul berawal dari sebuah kedai di kawasan Samanud. Keduanya di sana singgah untuk berbelanja minuman.
Tiba-tiba, saat keluar dari pintu kedai, dia dicokok dua orang petugas yang mengaku dari otoritas keamanan Mesir. Tanpa banyak bicara, dua petugas tersebut langsung membawa mereka ke kantor pengamanan.
”Kami diambil di jalan begitu saja, tanpa kejelasan kesalahan,” jelas mahasiswa semester 5 itu.
Hingga dibebaskan dan diserahkan kepada pihak Kemenlu RI yang diwakili Dubes Indonesia untuk Mesir, Hadi dan Nurul masih bertanya-tanya tentang kesalahan apa yang diperbuatnya. ”Sampai kami dideportasi, perkara yang dihadapkan kepada kami hanya menduga-menduga tanpa kejelasan,” tuturnya.
Selama ditahan, Hadi maupun Nurul mengaku diperlakukan dengan baik. Dua alumnus MAN 2 Payakumbuh, Sumbar, itu tidak mengalami perlakuan kasar. ”Kalau kekerasan tidak ada. Kasus yang membuat kami ditahan ini saja yang membingungkan. Kenapa kami ditahan,” tambah Hadi.
Ada kabar, Samanud merupakan kawasan tempat banyak kelompok radikal berada. Tapi, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang telah mewawancarai Hadi dan Nurul menyatakan keduanya tidak terlibat paham radikal.
BNPT juga telah menyurati Kementerian Luar Negeri supaya mereka dapat balik lagi ke Mesir. ”Tidak ada larangan bagi Hadi dan Nurul untuk kembali ke Kairo. Pemprov Sumbar akan membicarakan lebih lanjut soal itu dengan Kemenlu melalui Dubes,” kata Irwan Prayitno, gubernur Sumbar, yang ikut menyambut kedatangan keduanya.
Sekarang, lanjut Irwan, Hadi dan Nurul yang masing-masing berasal dari Payakumbuh dan Limapuluh Kota itu biar beristirahat dulu. ”Nanti, soal pengurusan transkrip nilai, apakah akan pindah kuliah ke UINIB (Universitas Islam Negeri Imam Bonjol) Padang atau kembali ke Al Azhar, kita bicarakan dengan Dubes RI untuk Mesir,” jelasnya.
Irwan sengaja ikut menjemput ke bandara untuk mengapresiasi kegigihan Kemenlu melalui Dubes RI di Mesir Helmy Fauzi. Menurut dia, tanpa kerja keras dari Dubes, pembebasan dan pemulangan dua mahasiswa itu sulit dilakukan.
”Kami warga Sumbar sangat berterima kasih kepada Dubes Indonesia untuk Mesir yang telah melakukan berbagai upaya diplomatik. Termasuk peran Ibu Dwi Ria Latifa (istri Dubes RI di Mesir, Red) yang juga berjuang ke pemerintah Mesir,” kata Irwan.
Hadi dan Nurul mengaku belum tahu apakah akan bisa kembali ke Negeri Piramida tersebut. Yang pasti, mereka memang sangat ingin balik untuk menuntaskan studi.
Apalagi, upaya untuk bisa kuliah di Mesir tidak mudah. Terutama ketika mengurus keberangkatan pertama. Menelan dana belasan juta, walaupun sampai di sana biaya kuliahnya gratis.
Keduanya pun berharap pemerintah Indonesia dapat membantu mereka kembali melanjutkan pendidikan di universitas tertua di dunia itu. ”Kami sudah susah-susah memulai dari awal, segala rintangan biaya kita lewati. Sayang jika harus terhenti akibat sebuah peristiwa yang kami sendiri tidak tahu kenapa ini terjadi,” terang Nurul.
Harapan sama disampaikan ayah Nurul, Elfis. Dia berharap putranya dapat kembali menimba ilmu di Al Azhar. ”Bahkan hingga melanjutkan ke jenjang S-2,” imbuhnya.
Irwan juga mendukung keinginan itu. Menurut dia, memperjuangkan Hadi dan Nurul kembali ke Al Azhar sama dengan memperjuangkan calon ulama Sumbar. Apalagi, Al Azhar dikenal dengan kampus yang melahirkan ahli-ahli agama. Setidaknya, sekitar 300 orang di antara ribuan mahasiswa Indonesia di Al Azhar berasal dari Sumbar.
”Insya Allah kita akan perjuangkan dua mahasiswa ini jika memang ingin tetap melanjutkan pendidikan di Mesir,” tutur Irwan. (*/JPG/c10/ttg)