Jawa Pos

Tetap Biayai Hidup Anak meski di Penjara

Dari balik tembok Rutan Kelas I Makassar yang kukuh, para narapidana mampu menghasilk­an uang. Minimal untuk membantu beli susu atau sekolahkan anak.

- RUDIANSYAH, Makassar

TANGAN Asniah cekatan mencampur tepung terigu, telur, mentega, gula pasir, dan susu di atas meja. Bahan itu diolah menjadi adonan roti.

Sesekali dia menabur tepung terigu di atas meja. Perempuan berusia 43 tahun itu tak sendiri. Ada Saniati, Fifi, Sahriani, Andi Erwin, Hamka, dan Fachruddin. Seluruhnya berstatus narapidana.

Nia –sapaan akrab Asniah– kemudian mengambil wajan. Dia meletakkan­nya di atas kompor. Minyak goreng dituang, lalu kompor dinyalakan.

Saat minyak mulai panas, satu per satu adonan roti pun dimasukkan ke wajan. Sesekali dia mengecilka­n api dari kenop pengatur.

Lima bulan lalu, tepatnya April, Nia mulai bekerja di toko roti ”Rutan Daeng Bakery” Rumah Tahanan Negara (Rutan) Makassar. Setiap bulan Nia mendapat upah. ”Cukuplah untuk kebutuhan keluarga,” kata Nia, tak ingin menyebut nominal upah yang diterimany­a.

Nia mendekam di penjara rutan lantaran tersandung kasus pencurian. Dia terimpit masalah ekonomi dan harus menyekolah­kan anaknya. ”Dua anak saya. Satu masih sekolah,” ungkapnya kemarin (4/9).

Tahanan lainnya, Saniati, meletakkan minuman dingin di atas meja. Segelas es teh. Matanya berbinar-binar sambil mengatakan anaknya masih berusia tujuh tahun.

Tak banyak yang dapat diberikan kepada keluarga yang merawat anaknya. ”Minimal ada uang untuk membantu beli susu dan mengurangi beban neneknya,” imbuh tahanan kasus narkoba itu dengan menundukka­n kepala.

Roti yang diproduksi para napi ini tak hanya digoreng. Ada juga yang dioven. Saniati menyebut roti panggang itu dengan sebutan roti ekonomis dan premium. ”Kalau premium lebih mahal,” ujarnya sambil menunjuk roti yang sudah dikemas plastik.

Ketika bekerja, napi itu mendapat pengawasan seorang sipir, Aslan. Dialah yang mengatur distribusi roti tersebut. ”Selain di rutan, kita juga bawa ke Lapas Kelas I Makassar, Lapas Narkotika Bolangi, dan Lapas Perempuan. Produksi per hari 500 biji,” kata Aslan yang diangkat sebagai manajer Rutan Daeng Bakery.

Para napi itu sebelumnya tak memiliki kemampuan membuat roti. Melalui pelatihan yang diikuti, mereka akhirnya bisa hingga mahir. ”Kami hadirkan chef dari Jakarta untuk melatih mereka,” ungkapnya.

Napi tersebut mendapat gaji minimal Rp 1 juta. ”Tak ada di bawah 1 juta. Yang sudah mahir dapat 2 juta lebih,” ujarnya.

Selain gaji, ada insentif dari hasil jualan roti setiap pekan. ”Gaji tadi ditahan dulu. Nanti mereka bebas, baru diberikan untuk menjadi modal usaha,” tuturnya.

Kepala Rutan Kelas I Makassar Surianto yang ditemui terpisah memaparkan bahwa pihaknya berencana mengembang­kan kegiatan usaha mikro ekonomi para napi yang sudah bebas lewat Yayasan Sahabat Nurul Iman. Bangunan yayasan segera dibangun di Minasa Upa. ”Sudah ada tanah hibah, tinggal dibangun saja. Kebanyakan napi ini melakukan kejahatan atas dasar faktor ekonomi,” ungkapnya.

”Jadi, mereka yang bekerja di toko roti dapat mengembang­kan usahanya nanti di luar. Kita bisa bekerja sama,” lanjutnya.

Selain pengembang­an usaha mikro, kegiatan ibadah tak boleh terlupakan. Akan ada kegiatan kultum (kuliah tujuh menit), tahsin, belajar berbahasa Arab, dan kegiatan ibadah lainnya. (*/c10/ami)

 ?? IDHAM AMA/FAJAR/JPG ?? BEKAL KALAU BEBAS: Penghuni Rutan Makassar membuat roti. Mereka dapat gaji minimal Rp 1 juta.
IDHAM AMA/FAJAR/JPG BEKAL KALAU BEBAS: Penghuni Rutan Makassar membuat roti. Mereka dapat gaji minimal Rp 1 juta.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia