Indonesia Harus Bantu Rohingya
KEKERASAN oleh militer Myanmar terhadap warga muslim Rohingya di Rakhine kembali terjadi. Sejak Jumat (25/8), sekitar 5.000 tentara melakukan operasi sapu bersih dengan dalih menumpas kelompok pemberontak Arakan (ARSA) yang mengangkat senjata melawan pemerintah pusat di Naypyidaw.
Laporan Human Rights Watch menyebutkan, 100 orang tewas, termasuk anggota ARSA. Lebih dari 80 ribu warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Situasi keamanan Rohingya sangat genting. Ironisnya, Dhaka menyatakan menolak kedatangan pengungsi Rohingya. Sementara itu, ASEAN bergerak sangat lambat. Bantuan kemanusiaan PBB pun tidak banyak artinya. Harapan yang tersisa bagi Rohingya adalah Indonesia.
Kekerasan demi kekerasan yang mengakibatkan warga mengungsi juga akan menjadi bom waktu bagi negara-negara di Asia Tenggara. Saat konflik di Rakhine pecah akhir 2015, tidak kurang dari 40 ribu pengungsi Rohingya menyeberang ke Thailand dan mendatangkan masalah kemanusiaan bagi Indonesia dan Malaysia.
Respons ASEAN normatif. Hanya mengimbau Myanmar menghentikan aksi bersenjata serta mengutamakan kese la matan warga sipil. ASEAN tidak bisa berbuat lebih banyak dari sekadar formalisme diplomasi karena terikat kaidah perilaku bersama, yakni noninterference.
Tidak ada definisi jelas mengenai ruang lingkup aktivitas yang digolongkan sebagai interference. ASEAN hanya berpatokan pada dua hal: tidak melakukan tekanan atau tindakan politik yang dapat melanggar kedaulatan nasional anggota dan menyerahkan urusan domestik kepada masing-masing pemerintah berdaulat. Dalam konteks Rohingya, noninterference mencegah ASEAN untuk bertindak tegas kepada Myanmar yang melanggar HAM dan sebaliknya, Myanmar bisa memproteksi diri dari potensi intervensi ASEAN.
Padahal, zaman telah berubah. Pengertian kedaulatan yang melekat pada hak mutlak negara untuk mengontrol penduduk dan teritori bergeser menjadi kewajiban melindungi ( the responsibility to protect). Intinya, pemerintah berdaulat jika mampu melaksanakan kewajiban dasar seperti memberikan rasa aman dan kesejahteraan warga negara.
Dengan asumsi kontraktual itulah kedaulatan diterjemahkan jadi tugas moral, bukan hak material. Konsep kewajiban melindungi diadopsi secara global oleh PBB pada sidang milenium Majelis Umum September 2005. Sebanyak 180 negara, termasuk anggota ASEAN, mendeklarasikan dukungan kepada konsepsi kedaulatan sebagai tanggung jawab melindungi.
Tidak hanya mendukung secara lisan, ASEAN menegaskan arti penting tanggung jawab melindungi dalam Piagam ASEAN 2009. Komisi HAM antarpemerintah ASEAN dibentuk dan menjadi badan HAM ASEAN. Seperti biasa, institusi bentukan ASEAN selalu efektif dalam level kesepakatan politik elitis, tetapi mandul ketika berhadapan dengan kasus riil. Pelanggaran berat HAM terhadap Rohingya hanya ditanggapi melalui pernyataan diplomatis tanpa kebijakan konkret. Lagi-lagi, alasannya adalah noninterference. ASEAN mempromosikan, bukan menegakkan HAM untuk Rohingya.
Perkembangan politik internasional sekarang ini tidak mendukung Rohingya. Aktor-aktor yang sebelumnya concern pada isu perlindungan HAM beralih ke agenda lain. AS di bawah Donald Trump berkali-kali menyebutkan ketidaktertarikan pada masalahmasalah internasional sebagaimana era Barack Obama. Washington dikuasai para populis nasionalis yang memandang materialisme, bukan humanitarianisme, sebagai tujuan kebijakan luar negeri.
Uni Eropa yang dulu aktif mengampanyekan perdamaian bagi Rohingya kini kewalahan menghadapi banjir pengungsi akibat perang Syria. Sedangkan Australia yang pernah mengusulkan agar Myanmar dijatuhi sanksi internasional karena pelanggaran HAM di Rakhine berpaling ke urusan ekonomi Mekong. Rohingya harus berjuang sendiri.
Berbagai LSM lokal dan internasional mendesak Jakarta agar membantu Rohingya. Sulit dipahami sikap Indonesia yang lebih mengedepankan seremoni politik ASEAN daripada nasib 1,3 juta warga muslim Rohingya. Presiden Jokowi secara pribadi mengungkapkan komitmen pada penegakan HAM, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Nah, apa lagi yang ditunggu?
Pertama, panggil duta besar Myanmar di Jakarta dan mintai penjelasan. Lalu, sampaikan bahwa Indonesia memprotes keras aksi brutal di Rakhine. Bila itu tidak digubris, tarik pulang duta besar Indonesia dari Naypyidaw sebagai wujud nyata resistansi terhadap kejahatan kemanusiaan yang terus berlanjut.
Kedua, berikan sanksi ekonomi melalui pembatasan ekspor produk strategis Indonesia ke Myanmar. Selama satu dekade terakhir, Myanmar tidak masuk dalam 50 mitra dagang terpenting Indonesia. Sebaliknya, Indonesia masuk dalam 10 besar mitra dagang Myanmar. Artinya, Myanmar sangat bergantung pada Indonesia, terutama di sektor pertambangan, tekstil, dan pertanian.
Ketiga, perlu disadari, kiprah politik luar negeri Indonesia sebenarnya sudah sangat dibatasi komitmen pada keutuhan ASEAN. Faktanya, secara mandiri pun, Indonesia bisa menjadi pemain berpengaruh di kancah dunia. Contoh, dalam forum G20, Indonesia adalah satu-satunya wakil dari Asia Tenggara. Jika momentum ’’kebangkitan Indonesia’’ memang ingin dimanfaatkan secara aktual, inilah waktu yang tepat untuk keluar dari tradisionalisme ASEAN dan menunjukkan kepada Rohingya bahwa Indonesia hadir untuk mereka.
Bantuan Indonesia kepada Rohingya sangatlah penting. Bukan demi tujuan image building atau pencitraan apalagi frame shifting atau pengalihan isu, melainkan mewujudkan cita-cita politik luar negeri Indonesia yang berdasar pada keadilan, kesetaraan, dan kemerdekaan semua umat manusia. Tujuan fundamental yang harus ditempatkan lebih tinggi daripada kepentingan pragmatis regionalisme Asia Tenggara. (*) *) Dosen hubungan internasional FISIP Universitas Airlangga, Surabaya