Jawa Pos

Motivasi Langsung dari Ibu dan Foto Anak-Anak

Lomba menjadi ajang terakhir saya di UCI GranFondo World Championsh­ip 2017. Di dalam hati, apa pun hasilnya, saya akan terima. Sebab, yang lebih membahagia­kan saya adalah ke Prancis membawa suporter terbesar dalam hidup saya.

-

BALAPAN nomor road race start dari Albi Cathedral hingga finis di Motor Car Racing Ground. Di nomor itu, jarak tempuh dibagi menjadi dua, 155 km untuk semua kategori putra di bawah usia 60 tahun dan 97 km untuk semua kategori perempuan serta pria di atas usia 60 tahun.

Saya menuntaska­n 155 km dengan catatan waktu 4 jam 24 menit 48 detik. Saya berada di posisi ke-138 dari 232 peserta kategori 40–44 tahun. Lagilagi, cyclist oldies maupun cyclist putri kok dengan mudah mendahului kayuhan saya. Juara di kategori saya, Samuel Plouhinec (Prancis) mencatatka­n waktu 3 jam 47 menit 6 detik. Hampir 40 menit di depan saya.

Yang membuat saya geleng-geleng kepala adalah para cyclist di kategori yang ’’sedikit’’ lebih tua dari saya, 55–59 tahun. Peringkat pertamanya, Alain Ignace, cyclist asal Prancis, meraih waktu 4 jam 8 menit 12 detik dengan jarak yang sama. Artinya, saya tertinggal hampir 20 menit.

Apakah saya kecewa dengan hasil itu? Ya, sedikit. Obatnya adalah kehadiran ibu yang mendukung saya di Albi. Sebelum dan sesudah lomba. ’’Hati-hati, ingat istri dan tiga anak di rumah,’’ kata ibu saya, Caecilia Bawono, sebelum tiap lomba yang saya jalani.

Mengajak ibu ke Albi sebenarnya tidak saya rencanakan. Awalnya, saya bingung karena lomba yang saya agendakan bertepatan dengan hari ulang tahun ibu saya pada 26 Agustus. Saya tidak mungkin juga meninggalk­an dan memilih salah satu momen berharga dalam hidup saya. Iseng, saya ajak ibu. Siapa tahu beliau mau nonton dan menyemanga­ti anaknya seperti saat saya menjadi atlet nasional tenis dulu. Tak disangka, beliau mau.

Oiya... saya adalah mantan petenis nasional. Saya anggota timnas Indonesia tahun 1996 hingga 1997. Hingga saya ambil beasiswa ke Amerika Serikat, lalu berkompeti­si di NCAA Division 1. Saya lulus 2001 dan mengakhiri karir dengan ranking ke-23 di NCAA Men’s Single.

Nah, sejak saat itu saya bertanding tenis di mana pun selalu ditemani ibu.

Setelah berhenti dari dunia tenis, berat badan saya melonjak hingga 90 kilogram. Saat itulah teman saya mengajak untuk aktif di dunia sepeda. Awalnya, saya menggunaka­n mountain bike. Tak lama berganti menjadi road bike karena teman-teman juga. Itulah yang saya geluti hingga saat ini. Dan... saat ini berat badan saya 68 kilogram.

Bukan cuma ibu yang saya bawa ke Albi. Tiga anak saya juga ikut serta meski hanya berbentuk foto. Mereka menyertai saya di sepeda. Foto mereka saya tempel di sepeda saya sebagai sempilan motivasi besar selama di Prancis.

Well, kembali ke pengalaman saya di Albi. Meski hasil ITT ( individual time trial) dan road race harus kalah dengan ’’bule-bule’’ itu, saya puas. Rute di Albi tidak berat. Justru lebih berat di Bromo. Di Albi hanya sedikit berbukit, namun tidak terjal. Kembali lagi, yang berat justru lawan-lawannya. Tapi, yang paling mengesanka­n adalah saya mendapat teman-teman baru dari negara lain. Membangun relasi jauh lebih penting. Malahan saya berteman dengan salah seorang instruktur sepeda.

Mereka bilang, latihan yang terstruktu­r menjadi salah satu hal penting dalam menjaga performa cyclist. Ya, saya memang kalah power. Itulah yang membuat semangat saya semakin terpacu.

Latihan mereka disiplin, pola makan baik, dan pola diet dijaga. But, overall, sebenarnya saya bukan ingin beralih menjadi atlet. Saya hanya ingin memberikan contoh kepada anak-anak saya bahwa hidup ’’sport’’ haruslah disiplin, sportif, dan mencari penyebab kenapa kalah untuk memperbaik­i diri.

Yang membuat saya terkesan, betapa bagusnya kerja sama Pemerintah Kota Albi dengan UCI untuk menyelengg­arakan kejuaraan dunia amatir ini. Mereka berusaha membuat kegiatan ini berkesan menarik bagi 3 ribu pembalap amatir yang mewakili 55 negara.

Saya berharap, dari dua poin itu, saya bisa berbagai hal yang bagus atau positif. Agar bisa diaplikasi­kan untuk memajukan komunitas sepeda di Indonesia. Agar di esok hari, kita bisa berjaya kembali, meraih emas di level SEA Games. Lalu, impian long-term goal di Olimpiade tercapai. Dan Indonesia bisa menghasilk­an pembalappe­mbalap kaliber world tour. Untuk berkompeti­si di Tour de France, La Vuelta, atau Giro d’Italia.

Ya, saya jatuh cinta terhadap cycling karena membuat hidup saya, selain lebih sehat, lebih disiplin, terstruktu­r, dan tidak gampang menyerah. Lebih indahnya lagi, selalu bisa memperbaik­i diri untuk mencari new personal record (walaupun lawan kakek-kakek umur 60-an juga kalah, hehehe...). Dan juga bisa menjadi role model bagi anak-anak saya untuk hidup sehat, belajar berkompeti­si, serta menjunjung tinggi integritas dan sportivita­s. (nic/c19/ady)

 ??  ??
 ??  ?? sharing
sharing

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia