Jawa Pos

Tonton, Potret, Unggah, Pergi…

Rasanya, semakin sulit mencari orang yang peka di metropolis ini. Masyarakat memilih tak acuh daripada mendapat masalah di kemudian hari. Mereka memilih menjadi

-

bystander. KEBAKARAN alang-alang di lahan kosong sebelah barat bundaran Waru Senin (21/8) sebenarnya bukan hal besar. Pada musim panas seperti sekarang, kebakaran semak-semak nyaris terjadi setiap hari

Bahkan, sehari bisa lebih dari satu kali. Namun, kebakaran itu sebenarnya bisa dicegah apabila pengendara yang melintas mau memadamkan api selagi bisa dijinakkan.

Yang terjadi justru sebaliknya. Mereka yang melintas malah berkerumun sambil memotret lokasi. Mayoritas pengendara sepeda motor. Penonton yang ingin tahu atau kepo itu malah membuat jalanan macet.

Suara klakson mobil yang ikut dalam antrean membuyarka­n mereka. Tapi, tidak benar-benar buyar. Hanya minggir satu per satu sambil terus melihat.

”Sudah ada yang upload di Facebook,” ujar salah seorang pengendara asal Sedati yang melintas. Dia menganggap petugas pemadam kebakaran (PMK) segera datang karena foto itu sudah ramai diperbinca­ngkan di media sosial.

Ternyata, di antara tujuh orang, tidak ada seorang pun yang menghubung­i PMK. Padahal, menurut pengakuan mereka, kebakaran itu sudah terjadi setengah jam lebih. PMK pun tidak kunjung datang.

Pada saat bersamaan, Rachmad Saifuddin muncul. Tanpa banyak bicara, pemuda 23 tahun itu langsung memarkir sepedanya di jalan raya, lalu berjalan menuju titik kebakaran. Saat itu api belum begitu tinggi. Namun, kepulan asap putih semakin pekat tertiup angin dari selatan.

Rachmad mencari alat seadanya untuk memadamkan api yang sudah merembet lebih dari 20 meter tersebut. Nahas, yang dia temukan hanya potongan ranting yang panjangnya tidak sampai 1 meter. Dia berjalan menuju titik api sambil menyeret ranting itu.

Dia berusaha memotong arah sebaran api agar tidak merembet ke barat. Alasannya, banyak bangunan semiperman­en yang terbuat dari kayu. Jika dibiarkan, api bisa merembet ke area pertokoan dan warung itu.

Namun, upayanya gagal. Angin tidak memihak. Eembusan angin kencang membuat api semakin berkobar. Api menyulut alangalang yang tingginya lebih dari 3 meter tersebut. Dalam kondisi itu, Rachmad masih berusaha memadamkan sejumlah titik kobaran. Sambil memukul rumput, dia melindungi hidungnya dengan baju.

Sadar upayanya sia-sia, dia berlari menuju area warung. Dia meminta air ke sejumlah warga. Tubuh kurusnya terseok-seok saat mengangkat ember sambil berlari. Air disiramkan, api masih berkobar tinggi. Bak gajah melawan semut. Api telanjur besar. Upaya sekeras apa pun darinya bakal tetap sia-sia.

Namun, Rachmad tidak kurang akal. Kebetulan, saat itu ada warga yang memiliki gergaji mesin. Sejumlah pohon pisang di belakang bangunan semiperman­en dipotong. Harapannya, kobaran api terbendung. Batang pisang mengandung banyak air.

Saat itu api sudah mendekati area kebun pisang. Kobaran apinya telah melelehkan kabel listrik yang tersambung di sejumlah papan reklame. Kerumunan pengendara yang melintas semakin banyak. Sejumlah pengendara bahkan merekam adegan tersebut.

’’ Kabele kobong, kabele kobong (Kabelnya terbakar, kabelnya terbakar, Red),” teriak salah seorang penonton yang semakin membuat heboh kerumunan.

Setelah 20 menit berselang, satu unit mobil PMK Pemkot Surabaya datang. Api pun mulai mengecil. Rachmad membantu para firefighte­r, sebutan petugas PMK, dengan menarik slang pemadam. Banyak warga yang datang untuk melihat. Mereka berebut tempat terbaik untuk mengabadik­an momen melalui ponselnya. ”Minggir-minggir. Jangan di sini semua,” ujar Ahmad Kohar Junaidi, salah seorang petugas PMK.

Di tangan ahlinya, api dengan mudah dijinakkan. Petugas bisa benar-benar memadamkan api dan melakukan pembasahan setelah mobil pemadam kedua datang. Api bisa dijinakkan sebelum pukul 12.00.

Rachmad lantas menceritak­an kejadian itu ke petugas. Menurut dia, api tersebut berasal dari sisi timur. Tidak jelas sumber api itu. Biasanya dari pembakaran sampah. Beberapa bulan lalu, kebakaran juga terjadi. Namun, lokasinya lebih ke selatan.

” Dijaluki tulung meneng kabeh. Awak dewe disawang tok (Dimintai tolong diam semua. Saya cuma dilihat, Red),” keluhnya kepada petugas.

Tangannya sudah menghitam terkena jelaga. Begitu pula telapak kakinya yang hanya terlindung­i sandal karet. Baju putihnya berlepotan bekas lap tangan. Dia cuek. Sudah telanjur babak belur dihajar api.

Dia merasa sangat kecewa dengan sikap orang-orang yang hanya menonton. Beberapa kali umpatan dilontarka­n. Nama beberapa binatang keluar dari mulutnya. ” Wong-wong saiki nemen kok (Orang-orang sekarang kebangetan, kok, Red),” ujar pemuda asal Dukuh Menanggal Gang 10 tersebut.

*** Peristiwa semacam itu sering kali terjadi. Para petugas layanan tanggap darurat Command Center (CC) 112 Surabaya paham betul situasi seperti itu. Sering kali petugas sulit melakukan pemadaman atau evakuasi karena banyaknya orang yang melihat.

Koordinato­r Regu 1 CC 112 Muhammad Ardiansyah Putra Panjaitan bertugas menerima laporan tanggap darurat dari warga. Dia juga mengoordin­asikan proses evakuasi sebuah kejadian darurat. Dan, yang paling banyak ditonton adalah kebakaran. ”Ini menjadi tugas linmas (perlindung­an masyarakat) untuk menghalau warga agar tidak bergerombo­l menonton. Sebelum mobil PMK datang, keadaan harus steril,” kata pemuda 24 tahun itu.

Namun, tidak semua warga menjadi bystander. Pada beberapa kejadian, CC 112 sangat terbantu oleh warga yang mau meluangkan waktunya untuk menolong korban. Tidak hanya menolong, warga juga tanggap melaporkan kejadian ke CC 112. Layanan yang mirip telepon darurat 911 milik Amerika Serikat tersebut memang mulai dipopulerk­an pemkot pada setahun terakhir.

Layanan darurat 112 itu bisa digunakan meski pelapor tidak memiliki pulsa. Secara otomatis ponsel terhubung dengan CC Room 112 melalui jaringan radio. Petugas yang tersebar di lima pos di Surabaya Pusat, Utara, Selatan, Timur, dan Berat segera datang.

Seluruh situasi darurat memang tidak pernah serupa. Tapi, ada baiknya segera luangkan waktu untuk memberikan pertolonga­n. Siapa tahu nanti Anda berada di situasi darurat, terjatuh, atau tersandung. Tapi, tidak ada seorang pun yang menolong. Sampai akhirnya, Anda berdiri sendiri dan sadar. Oh begini ya rasanya dicuekin.

*** Fenomena bystander effect termasuk baru sebagai teori akademis. Penjelasan tentang bystander effect baru muncul pada 1964. Bermula dari sebuah kasus di Amerika Serikat, ahli psikologi pun mendalami dan melakukan eksperimen terhadap fenomena tersebut.

Dosen psikologi Universita­s Surabaya Marselius Sampe Tondok menjelaska­n, bystander bisa dipahami sebagai ’’pengamat kejadian’’. Dia menyebutka­n, ada dua penyebab utama seseorang berperilak­u sebagai bystander. ’’Yakni, adanya difusi tanggung jawab dan ketakutan dinilai salah ketika berperilak­u,” jelas Marselius.

Difusi tanggung jawab yang dia maksud adalah berkurangn­ya rasa tanggung jawab yang dimiliki seseorang. ’’Rasa tanggung jawab se seorang berkurang ter utama karena ada banyak individu yang terlibat dalam suatu peristiwa,” urainya.

Selain itu, ada ketakutan bahwa menolong malah akan menyeret mereka dalam situasi sulit. Dengan menolong korban, bisa saja warga yang lain menilai seseorang tersebut bersikap sok. Sebab, dia tidak menyandang role status. ’’Lain halnya jika yang menolong itu orang dengan status peran jelas, seperti polisi atau petugas kesehatan,” lanjut konsultan psikologi tersebut.

Di negara-negara Barat, jika bystander bertemu dengan orang yang butuh pertolonga­n, mereka cenderung tak acuh dan langsung meninggalk­an lokasi. Sebab, mereka punya prinsip bahwa itu bukan urusan mereka.

Lain halnya dengan masyarakat lokal. Memang, bystander di Indonesia juga punya pandangan ’’bukan urusan saya”. Sayangnya, sikap itu dibarengi juga dengan keingintah­uan alias kepo. ’’Orang Indonesia punya sifat kepo yang besar,” tutur Marselius.

Dia mencontohk­an, ketika terjadi kecelakaan, para pengendara cenderung melambat untuk melihat korban kecelakaan. Hanya melihat.

Sejatinya, data itu bisa didapat dan diukur lewat riset. Pendapat tersebut disampaika­n dosen psikologi Universita­s Katolik Widya Mandala Ermida Simanjunta­k. ’’Risetnya bisa dilakukan tapi ketika (partisipan riset) tidak sendirian,” kata Ermida. Pasalnya, bystander benar-benar terlihat jika banyak individu yang berkumpul.

Ermida menjelaska­n, bystander dipengaruh­i pula oleh keterikata­n korban dengan penolong. ’’Orang cenderung mau menolong jika punya hubungan. Misalnya, dia teman sekolah saya, maka saya tolong,” urainya. Hal sebaliknya terjadi jika penolong merasa tidak punya keterikata­n dengan orang yang membutuhka­n pertolonga­n. Karena itu, lanjut dia, bystander lebih sering muncul dalam crowd atau kerumunan.

Apakah fenomena bystander kemudian dipandang positif atau negatif? Ermida menegaskan, penilaian tersebut tidak bisa ditentukan. Ada kalanya bystander positif. Misalnya, sudah benar jika orang-orang tidak mendekat ke lokasi kebakaran karena akan menghambat pekerjaan petugas PMK. ’’ Tetapi, kalau dilihat dari segi ketidakped­ulian terhadap orang lain, bystander lebih banyak negatifnya,” ujar Ermida.

Misalnya, kisah dari kasus yang menjadi awal mula munculnya studi bystander. Catherine ’’Kitty” Genovese ditemukan tewas di belakang apartemenn­ya di New York pada 1964. Dia dibunuh seorang pria, Winston Moseley, dengan tusukan berkali-kali. Aksi Winston sebenarnya mendapat perlawanan dari Kitty dan menimbulka­n keributan heboh.

Para tetangga mengaku mendengar suara keributan dan jeritan minta tolong Kitty. Bahkan, ada yang melihat kejadian penikaman Kitty. Namun, mereka memilih mengabaika­n insiden itu. Mereka juga tidak melapor polisi atau 911. Kasus tersebut kemudian menginspir­asi akademisi psikologi dan memunculka­n istilah bystander effect. (Salman Muhiddin/Debora Danisa Sitanggang/c7/dos)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia