Ingin Nolong, Takut Kena Todong
DALAM kondisi masyarakat urban/perkotaan seperti Surabaya, potensi munculnya bystander memang lebih besar. Hal itu didorong oleh semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi
Hal tersebut dibenarkan pengamat budaya dan komunikasi Irfan Wahyudi. Pria bergelar doktor di bidang media and cultural studies dari Edith Cowan University, Australia, itu menganggap, masyarakat Surabaya semakin abai dengan masyarakat sekitarnya. Lebih individualistis.
Meski belum ada penelitian konkret, setidaknya sudah bisa dirasakan dan diperhatikan secara kasatmata. ”Ada perge seran perhatian oleh individu- individu da lam masyarakat terhadap hal yang paling dasar. Yaitu, menyang kut kemanusiaan,” urainya.
Menurut dia, pergeseran itu tidak hanya karena keengganan. Ada banyak faktor. Misalnya, adanya ketakutan akan terjerumus pada hal-hal yang tidak baik. Dia mencontohkan, seseorang takut menjadi korban para pelaku kriminal. Misalnya, dalam kasus para pelaku kriminal membuat skenario meminta bantuan seolah-olah mereka menjadi korban laka lantas. ”Namun, saat ditolong, malah nodong,” lanjut pria asal Jombang itu.
Semakin berkurangnya keterlibatan individu dalam masyarakat itulah yang menjadi pemicu utama munculnya bystander. Fenomena tersebut mulai menjadi gejala umum di masyarakat Kota Pahlawan. Antarindividu lebih memilih berinteraksi melalui jembatan teknologi. Misalnya, menggunakan telepon atau chatting daripada berinteraksi secara langsung.
Pria yang juga mengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga itu menjelaskan, meski Surabaya tidak separah Jakarta, kemunculan fenomena tersebut patut diwaspadai. Dia mencontohkan ketika kali pertama fenomena bystander tersebut ditemukan di Amerika Serikat.
Saat itu, belum ada gadget. Namun, fenomena bystander sudah marak. Apalagi era sekarang yang terfasilitasi dengan teknologi. Setiap orang punya gadget. Membuat jarak antarindividu semakin renggang. ” Tanpa disadari, teknologi informasi ini punya potensi untuk mendekatkan apa yang jauh dan menjauhkan yang dekat,” terangnya.
Lalu, apa yang bisa dilakukan? Pria 36 tahun itu mengungkapkan, komunikasi tatap muka bisa jadi solusi. Dengan komunikasi tatap muka, orang bisa membaca gestur. Mencermati kata per kata, juga intonasi yang digunakan. ”Kalau lewat teks, memang lebih multitafsir. Lebih riskan terjadi miskomunikasi,” jelasnya.
Menyapa teman, tetangga, dan keluarga secara langsung terasa lebih manusiawi. Empati lebih terbangun. Menurut dia, itu lebih mencerminkan budaya arek Suroboyo yang suka berkumpul. (Fajrin Marhaendra Bakti/c6/dos)