Bikin Komunitas Pelopor Keselamatan Berlalu Lintas, Libatkan Anak In
Peran Fety luar biasa. Dia mampu mengolaborasikan peran anak berkebutuhan khusus (ABK) dan anak reguler dalam satu komunitas. Tidak hanya mengangkat nama sekolah, dampaknya pun terasa nyata.
WAJAH Fety Susilawatie langsung semringah saat Jawa Pos mengajaknya ngobrol soal penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy yang diterima pada 18 Agustus lalu. Berkat program dan penelitian karyanya, guru PPKn sekaligus Waka Kesiswaan SMAN 1 Gedangan itu berhasil menjadi juara dalam pemilihan guru inklusi berprestasi pendidikan menengah tingkat nasional.
Program tersebut berupa pemberian peran bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) di SMAN 1 Gedangan dalam komunitas Pelopor Keselamatan Berlalu Lintas (PKB). ’’Banyak guru lain yang mengangkat penelitiannya berupa metode pembelajaran di dalam kelas,’’ kata Fety kemarin (4/9).
Sebaliknya, program yang digagas Fety mengangkat kegiatan luar kelas. ’’Golnya biar warga sekolah semakin paham budaya inklusi,’’ lanjut Fety. Sekaligus ada pengakuan terhadap kesetaraan hak, kewajiban, dan peran ABK.
SMAN 1 Gedangan menerima siswa inklusi mulai 2012. Nilai-nilai inklusif pun ditanamkan ke seluruh warga sekolah. Termasuk menerapkan pola yang cocok dalam pembelajaran. Sejak itu pula Fety membentuk komunitas PKB. ’’Bentuknya komunitas, bukan ekstrakurikuler,’’ jelas ibu dua anak itu. Seluruh siswa SMAN 1 Gedangan menjadi anggota komunitas tersebut. Bukan seperti ekstrakurikuler yang hanya diisi siswa yang berminat.
Meski begitu, tetap ada pengurus inti dari komunitas tersebut. Misalnya, ketua, divisi saver vehicles, saver road, dan post crash. Ada anggota aktif dan pasif. Nah, ABK di SMAN 1 Gedangan dilibatkan dalam susunan pengurus inti tersebut. Mereka tetap menjadi anggota aktif meski ada sebagian yang tidak bisa mengendarai kendaraan bermotor.
Berdasar survei awal, jenis kendaraan bermotor yang paling banyak digunakan siswa reguler di SMAN 1 Gedangan adalah sepeda motor. Mencapai 88,90 persen. Hampir 71 persen tidak memiliki surat izin mengemudi (SIM) karena usianya memang belum mencapai 17 tahun. Selain itu, ada 12 persen dari ABK yang membawa sepeda motor. Mereka adalah peserta didik berkebutuhan khusus kategori slow learner dan tunarungu.
’’ Ternyata ada juga (ABK) yang melanggar,’’ kata istri Sofiana Hartanto itu. Karena belum 17 tahun, mereka otomatis belum memiliki SIM. ’’Dengan komunitas PKB ini, harapannya masalah tadi bisa selesai,’’ tutur Fety.
Para siswa didorong untuk menertibkan diri sendiri dan rekannya. Saat masuk sekolah, SIM dan STNK, spion, knalpot, serta ke-