Antisipasi Pungli di Lingkungan SMA
Ingatkan Rambu Sumbangan agar Tidak Terjerat Hukum
SIDOARJO – Praktik pungutan di sekolah sering kali memicu kontroversi. Untuk memastikan pihak sekolah tidak salah melangkah, kemarin (5/9) puluhan kepala SMA negeri di Sidoarjo dikumpulkan di SMA Negeri 3. Mereka mendapatkan penyegaran tentang apa yang diperbolehkan dan dilarang dalam melakukan pungutan.
Dalam dialog tersebut, hadir perwakilan kejaksaan negeri (kejari) dan Polresta Sidoarjo. ”Tentunya, kami sangat bersyukur bisa mendapatkan kepastian hukum soal bantuan dan sumbangan,’’ kata Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA Negeri Sidoarjo Panoyo. Total ada 66 kepala SMA yang menghadiri acara yang digagas Kantor Cabang Dinas Pendidikan Provinsi Sidoarjo itu.
Menurut Panoyo, sumbangan siswa masih dibutuhkan oleh SMA di Kota Delta. Pasalnya, fasilitas yang dimiliki masing-masing sekolah belum ideal. Mulai laboratorium, fasilitas olahraga, sampai ruang belajar.
Untuk mengejar target pendidikan yang berkualitas, pihaknya tidak bisa hanya dengan mengandalkan bantuan operasional siswa (BOS) dari pemerintah pusat. Di lain sisi, pihaknya juga tidak mau terjerat hukum saat berupaya memperbaiki kualitas sekolah. ”Yang jelas, tujuan kami memang untuk menjaga kualitas pendidikan bagi siswa. Sehingga, nanti lulusan dari sekolah kami bisa bersaing di dunia kuliah atau kerja,” ungkapnya.
Kasi Intel Kejari Sidoarjo Andri Tri Wibowo menyampaikan, ada dua rambu yang harus dipatuhi agar dana yang dikumpulkan dari orang tua siswa dengan label sumbangan tidak bermasalah. Di antaranya, sifatnya harus sukarela. Selain itu, tidak menguntungkan diri sendiri atau pihak lain yang berhubungan dengan penarikan sumbangan tersebut. Baik itu pihak sekolah maupun pejabat di dalamnya.
”Jika tidak sukarela, itu namanya pungutan,” kata Kasi Intel Kejari Sidoarjo Andri Tri Wibowo. Pungutan itulah yang tidak diperkenankan untuk dibebankan kepada orang tua siswa. Sebab, unsur pungutan berbeda dengan sumbangan.
Dalam pungutan, jelas dia, sudah ada jumlah yang ditentukan dan harus dibayar oleh masing-masing orang. Selain itu, jangka waktu pembayarannya ditentukan sejak awal. Dengan demikian, jika tidak memenuhi kebijakan pungutan, akan ada dampak yang mengikuti. Misalnya, anak yang dipanggil dan diberi ”peringatan” agar segera membayar.
Dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 ditetapkan bahwa komite sekolah diperbolehkan menggalang dana berupa sumbangan pendidikan dan bantuan pendidikan. Bukan pungutan.
Dalam ketentuan itu dijelaskan perbedaan mendasar antara sumbangan dan pungutan. Sumbangan diberikan secara sukarela dan tidak mengikat satuan pendidikan. Pungutan merupakan penarikan uang oleh sekolah dari peserta didik, orang tua, atau wali yang bersifat wajib.
Andri mencontohkan, salah satu sekolah yang menerapkan sistem sukarela tersebut adalah SMAN 1 Sidoarjo. Sekolah di wilayah Jenggolo tersebut memang tidak memaksakan dana partisipasi. Bahkan, pihak sekolah membebaskan anak didiknya yang tidak mampu.
Termasuk dalam pembayaran SPP. Di sekolah tersebut, SPP bisa dibayar sesuai dengan kemampuan. Tidak semua siswa membayar Rp 195 ribu tiap bulan. Ada yang hanya mampu Rp 75 ribu. Tapi, ada juga yang sukarela membayar lebih. Semua berdasar surat pernyataan yang dibuat orang tua siswa.Peruntukan dana sumbangan orang tua siswa juga harus dapat dipertanggungjawabkan. (may/bil/c6/pri)