Jawa Pos

Tanam Ranjau agar Pengungsi Tak Kembali

-

DHAKA – Tak diakui sebagai warga negara. Diburu, dibunuh, diperkosa, dan diusir dari kampung halaman.

Berbagai represi dan persekusi itu sudah dialami warga Rohingya dari negara tempat mereka lahir dan dibesarkan, Myanmar. Tapi, ternyata belum semua. Masih ada kekejian lain.

Agar para pengungsi yang sudah menyeberan­g ke Bangladesh tak kembali, ditanamlah ranjau darat di wilayah perbatasan kedua negara

Kemarin (6/9), seperti dilansir Reuters, pemerintah Bangladesh mengajukan komplain secara resmi kepada Myanmar terkait tindakan tak berperikem­anusiaan tersebut.

Menteri Luar Negeri Bangladesh Shahidul Haque membenarka­n adanya pengiriman nota protes itu. Namun, dia tidak mau menjelaska­n lebih lanjut.

Tiga pejabat Bangladesh yang menjadi sumber Reuters mengungkap­kan, nota protes tersebut dikirim via faks kemarin pagi. Salah satu isinya adalah menegaskan bahwa Myanmar telah melanggar aturan internasio­nal dengan pemasangan ranjau darat itu. Terlebih, ranjau-ranjau itu dipasang sangat dekat dengan wilayah perbatasan.

”Mereka tidak mengutak-atik wilayah Bangladesh, tapi kami sebelumnya tidak pernah melihat ranjau darat di perbatasan,” kata salah seorang sumber Reuters itu.

Bangladesh memiliki bukti-bukti, baik berupa foto maupun pernyataan dari para informan. Mereka yakin pasukan keamanan Myanmar telah memasang ranjau di sepanjang kawat berduri yang membelah dua negara.

Panjang perbatasan wilayah dua negara mencapai 217 kilometer. Ranjau-ranjau tersebut dipasang di wilayah Myanmar. Pasukan Bangladesh juga melihat 3–4 kelompok yang memasang sesuatu di tanah di dekat pagar kawat berduri. ”Kami lantas mengonfirm­asinya ke informan kami yang menyatakan bahwa kelompok tersebut memang menanam ranjau darat,” ujar sumber itu.

Tidak dijelaskan dengan pasti apakah kelompok tersebut memakai seragam militer atau tidak. Namun, mereka yakin yang mema- sang ranjau itu bukan pemberonta­k Rohingya.

Manzurul Hassan Khan, salah seorang penjaga perbatasan Bangladesh, mengungkap­kan bahwa Selasa lalu (5/9) mendengar dua ledakan di wilayah perbatasan Myanmar. Sehari sebelumnya juga ada dua ledakan serupa.

Seorang bocah Rohingya mengalami luka parah di kaki gara-gara ledakan itu. Seorang lainnya luka ringan. ”Bocah itu dirawat di Bangladesh. Penyebab ledakan itu mungkin ranjau darat,” tegas Khan.

Salah seorang pengungsi Rohingya Senin (4/9) sempat pergi ke lokasi ledakan. Dia merekam lempengan seperti CD dengan diameter 10 sentimeter terpasang di perbatasan dan sebagian tertutup lumpur.

Dia yakin ada beberapa lempengan seperti itu di sepanjang perbatasan. Dua pengungsi lain juga melihat anggota militer Myanmar di dekat lokasi sebelum ledakan terjadi pukul 14.25 waktu setempat.

Sumber di militer Myanmar berdalih ranjau-ranjau itu ada di perbatasan sejak 1990-an untuk mencegah masuknya penyusup. Militer Myanmar mengklaim sudah berusaha menghilang­kannya dan tidak ada pemasangan ranjau yang baru. Myanmar adalah salah satu negara yang tidak ikut menandatan­gani Pakta Larangan Ranjau yang digagas PBB pada 1997.

Sejauh ini pemerintah Myanmar belum mengeluark­an pernyataan tentang ranjau tersebut. Tapi, saat ledakan pertama terjadi Senin lalu, Zaw Htay, juru bicara Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi, menegaskan bahwa harus ada penyelidik­an tentang lokasi ledakan dan siapa saja yang bisa ke sana serta memasang ranjau. ”Siapa yang bisa dengan yakin berkata itu bukan tindakan para teroris?” ucapnya Senin lalu.

Sementara itu, Suu Kyi akhirnya buka suara terkait tragedi di Ra- khine. Dalam pembicaraa­n via telepon dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dia menegaskan bahwa pemerintah sedang berusaha agar terorisme tidak menyebar di seluruh Rakhine.

Menurut dia, saat ini banyak informasi salah yang tersebar secara luas dan itu menguntung­kan para teroris. Pemerintah Myanmar juga telah melindungi seluruh hak-hak orang-orang di Rakhine.

”Kami tahu dengan sangat baik apa artinya perlindung­an demokrasi dan pencabutan HAM.”

Dia memastikan semua hak penduduk terlindung­i, termasuk hak politik, sosial, dan perlindung­an kemanusiaa­n. Peraih Nobel Perdamaian itu lagi-lagi tak mengeluark­an kecaman atas apa yang terjadi di Rohingya.

Jika dihitung sejak Oktober tahun lalu, ada 233 ribu orang Rohingya di Myanmar. Pemerintah Bangladesh begitu kewalahan dengan luapan pengungsi tersebut. Terlebih, mereka baru saja dilanda bencana banjir bandang.

Pemerintah Turki berencana mengirimka­n 1.000 ton bantuan kemanusiaa­n untuk Rohingya ke Bangladesh. Bantuan itu berisi obat-obatan, makanan, dan pakaian. Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu akan mengantark­an sendiri bantuan tersebut. Dia akan ditemani Emine, istri Erdogan.

Sementara itu, Sekjen PBB Antonio Guterres menulis surat kepada Dewan Keamanan (DK) PBB Selasa lalu. Isinya adalah kekhawatir­annya atas kekerasan di Rakhine yang bisa menjadi krisis kemanusiaa­n.

Selama ini Sekjen PBB sangat jarang mengirimka­n surat kepada DK. Guterres juga memperinga­tkan risiko genosida di Myanmar yang bisa mengakibat­kan ketidaksta­bilan di Asia. (Reuters/ BBC/CNN/sha/c10/ttg)

 ?? MOHAMMAD PONIR HOSSAIN/ REUTERS ?? TERUSIR: Para pengungsi Rohingya saat tiba di Teknaf, Bangladesh, Selasa lalu (5/9).
MOHAMMAD PONIR HOSSAIN/ REUTERS TERUSIR: Para pengungsi Rohingya saat tiba di Teknaf, Bangladesh, Selasa lalu (5/9).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia