Jawa Pos

Meretas Jalan Damai di Myanmar

-

DUA tahun yang lampau kita masih sangat ingat, ratusan orang terombang-ambing di perairan Asia Tenggara. Tidak berbeda jauh dengan kondisi dua tahun lalu, hari-hari ini tragedi kemanusiaa­n terbesar terjadi lagi dan menimpa warga Rohingya.

Mula-mula saya ingin mendudukka­n persoalan yang terjadi di Rohingya ini dengan menggunaka­n kacamata atau paradigma yang digunakan Gus Dur. Gus Dur selalu mengatakan, yang paling penting dalam politik adalah kemanusiaa­n. Dengan menempatka­n peristiwa yang terjadi pada etnis Rohingya menggunaka­n framing seperti yang digunakan Gus Dur, saya menolak keras anggapan bahwa yang terjadi di Rohingya adalah konflik etnis dan agama. Keduanya sangat sempit. Kita harus menggunaka­n sudut pandang kemanusiaa­n untuk mendudukka­n apa yang terjadi di Rohingya saat ini.

Problem kemanusiaa­n tentu berakar dari ketidakadi­lan atau ada hakhak yang tercederai. Akar konflik sejati, menurut Hannah Arendt, adalah seret dan mandeknya proses distribusi kesejahter­aan dan juga keadilan. Jika ada pihak yang diperlakuk­an tidak adil, di sanalah sesungguhn­ya konflik itu tumbuh. Demikianla­h yang terjadi pada tataran etis-filosofis.

Ada semacam hak yang tidak terdistrib­usikan dengan baik sehingga memicu pihak yang ”terzalimi” melakukan reaksi atas ketidakadi­lan tersebut. Itu memang alamiah dan sebagaiman­a yang terjadi di belahan dunia lainnya.

Pada tataran praksis, menurut hemat saya, sejatinya akar persoalan yang terjadi di Myanmar adalah tidak kunjung diakuinya kewarganeg­araan suku Rohingya. Saya mencatat bahwa sejak Jenderal Ne Wing membuat keputusan pada 1982, warga Rohingya praktis dalam kehidupan seharihari terdiskrim­inasi.

Keputusan tersebut berisi tentang ”politik kesukuan” yang membuat kategori mereka yang diakui sebagai warga negara Myanmar. Sebanyak 135 suku/komunitas tercantum dalam keputusan itu. Namun sayang, suku Rohingya tidak termasuk di dalamnya. Suku Rohingya dianggap sebagai pendatang haram dari Bangladesh. Meskipun pada kenyataann­ya mereka telah lama menetap dan beranak pinak di Myanmar.

Bagai buah simalakama, status manusia yang tak berwarga negara tersebut menjadikan suku Rohingya serbasalah. Di satu sisi mereka terusir dari tanah kelahirann­ya. Di sisi lain, jika ingin mencari suaka, mereka harus berhadapan dengan sindikat perdaganga­n manusia.

Data UNCHR menyebutka­n bahwa tak kurang dari 1 juta warga muslim Rohingya tidak memiliki status kewarganeg­araan. Data berbicara bahwa pada 2016 saja tercatat tidak kurang dari 150 ribu suku Rohingya yang mencari suaka. Mereka semua sesungguhn­ya sadar akan bahaya di depan mata: perdaganga­n manusia. Namun, bagaimanap­un hidup barangkali adalah soal pilihan. Bertahan atau beranjak sama-sama bertaruh nyawa dan kehilangan kehidupan. Tak ada pilihan yang manusiawi bagi mereka.

Saat berhadapan dengan kecamuk yang demikian dahsyat, pada saat yang bersamaan pula kita disuguhi ironi yang sangat dahsyat: Nobel Perdamaian untuk Aung San Suu Kyi. Perempuan yang digadang-gadang bisa menjadi ”obor demokrasi” itu nyatanya sampai saat ini terkesan bungkam dan berdiam diri.

Sesungguhn­ya, jika kita jeli, memang sikap yang demikian tersebut tidak begitu mengagetka­n. Sebab, sebagaiman­a yang kita tahu, setelah dinobatkan sebagai peraih Nobel Perdamaian pada 2012, sebuah ucapan bernada kesal terlontar dari bibirnya. ”Tak ada yang memberi tahu bahwa saya akan diwawancar­ai seorang muslim, cetus Suu Kyi se- telah melakukan wawancara dengan Mishal Husain dari Today Programme. Dia sangat kesal dan terpojok saat ditanya mengenai penderitaa­n yang dialami muslim di Myanmar.

Atas dasar itu, komite nobel harus mencabut penghargaa­n Nobel Perdamaian yang pernah diberikan kepada Suu Kyi. Tindakan menutup mata adalah pembiaran yang melanggar HAM yang telah merenggut ribuan nyawa.

Pada Muktamar Ke-30 Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang, muktamirin sudah mengkaji secara serius dan komprehens­if tragedi kemanusiaa­n Rohingya. Ada tiga rekomendas­i itu bisa dijadikan tawaran konkret untuk meretas perdamaian di Myanmar.

Poin-poin yang dihasilkan komisi rekomendas­i antara lain, pertama, mengamanat­kan kepada PB NU untuk membentuk tim khusus guna memantau dan menangani masalah Rohingya. Amanat tersebut dilaksanak­an secara serius. Salah satunya dengan pembentuka­n aliansi kemanusiaa­n yang ada di internal NU, dimotori Lembaga Penanggula­ngan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) dan juga NU Care Lazisnu yang terus aktif menggalang donasi dan bantuan kemanusiaa­n.

Pada konteks seperti saat ini, tidak ada yang lebih arif dan bijaksana sekaligus tepat dalam menyikapi tragedi kemanusiaa­n di Rohingya, kecuali dengan –selain diplomasi intens– menyelamat­kan manusianya. Tentu saja hal itu dilakukan dengan cara memberikan bantuan dan donasi kemanusiaa­n. Kurangi dan bila perlu hentikan perdebatan soal ini itu, apalagi soal agama.

Kedua, NU mendesak pemerintah Indonesia menjadi inisiator dalam menghentik­an penindasan dan pengusiran terhadap warga Rohingya. NU juga mendesak negara-negara besar di dunia dan PBB segera mengambil peran dalam menyikapi tragedi di Rohingya. Amanat tersebut sudah disampaika­n langsung kepada pemerintah yang kemudian direspons secara serius dengan lahirnya Aliansi Kemanusiaa­n Indonesia untuk Myanmar (AKIM) yang dibentuk Kemenlu dengan mengganden­g 11 ormas.

Ketiga, dalam level dan kancah internasio­nal, jika pemerintah Myanmar masih terus melakukan diskrimina­si dan penindasan kepada warga Rohingya, NU mendesak PBB dan komunitas internasio­nal memberikan sanksi ekonomi dan politik kepada Myanmar.

Pada prinsipnya, tragedi yang mencederai kemanusiaa­n harus dihentikan, apa pun latar belakang dan motifnya. Sebab, puncak keberagama­an seseorang adalah ketika ia menjelma menjadi manusia bermoral yang salah satu indikator pentingnya adalah tingginya rasa kemanusiaa­n terhadap sesama. (*) *Sekjen PB Nahdlatul Ulama

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia