Tangis Tersangka di Penjara
Penganiaya Santri hingga Tewas
SURABAYA – Gema salawat terdengar merdu dari dalam sel tahanan anakanak Mapolsek Simokerto kemarin sore (6/9). Lantunan pujian itu meluncur dari bibir empat tersangka penganiayaan yang berujung tewasnya Muhammad Iqbal Ubaidillah, santri Pondok Pesantren (Ponpes) Darussalam.
Munif Zainuri, 18; TH, 14; MA, 15; dan SIS, 15, terlihat bersandar melingkar di bui yang berukuran 1,5 x 5 meter. Wajah mereka tampak pasrah. Ada yang menunduk, ada juga menengadahkan kepalanya menatap eternit. ’’Baru kali pertama ini saya dipenjara seperti ini. Nggak nyangka,’’ ucap Munif kepada Jawa Pos.
Perasaan mereka campur aduk. Sedih, hati gundah, gelisah, dan tentu malu. Remaja 18 tahun tersebut mengungkapkan bahwa air matanya sampai habis untuk nangis. Dia merasa tidak enak hidup di penjara
Tidur kedinginan, banyak nyamuk, serta tempatnya pengap. Setiap malam, bersama ketiga bocah tersangka lainnya, Munif selalu menangis. Menyesali perbuatannya yang bisa dibilang brutal hanya gara-gara menuruti nafsu amarah. Ditambah, kawan mereka, Iqbal, sampai meninggal.
Orang tua Munif bekerja sebagai TKI di Makkah, Arab Saudi. Dia tinggal bersama kakak perempuannya di Surabaya. ’’Setelah itu, saya dipondokkan di Ponpes Darussalam. Sudah lima tahun di sana,’’ terang anak ragil di antara enam bersaudara tersebut.
Munif menangis ketika dibesuk ketiga kakaknya pada Selasa (5/9). Tangisnya pun pecah. Air mata mengalir membasahi kedua pipinya. Dia hanya bisa meminta maaf kepada ketiga kakaknya. Dia mengaku tidak sengaja dan khilaf. Tidak ada niat sampai menghilangkan nyawa Iqbal.
Mendengar perkataan Munif, mata TH berkaca-kaca. Tangan kirinya diarahkan ke wajahnya untuk menutupi wajahnya. Bocah bertubuh gendut itu seketika merintih menangis, lalu sesenggukan. Dia mengaku menyesal dan malu. Apalagi saat dibesuk orang tuanya yang jauh-jauh datang dari Sampang, Madura.
TH menyatakan, keluarganya malu mengetahui berita penganiayaan yang melibatkannya sudah tersebar di televisi dan media sosial. ’’Orang tua saya kaget tiba-tiba pada Senin pagi (4/9) ditelepon pondok. Diberi tahu bahwa saya kena kasus, terus dibawa ke polisi,’’ katanya polos.
Selain itu, bocah 14 tahun tersebut mengaku takut dikirim ke Rutan Medaeng. ’’Kami takut ketemu sama anak-anak lain yang dipenjara duluan di sana. Bayanganku, anaknya nakalnakal. Saya takut,’’ ujar TH.
Munif mengaku menyuruh TH, MA, dan SIS untuk memanggil Iqbal. Dari kamar tidur, Iqbal dikeler menuju lantai 3 yang digunakan sebagai tempat menjemur pakaian. Sebab, pada Sabtu malam (2/9), Munif menangkap basah AH yang mencuri uang Rp 100 ribu dari hasil jualan baju muslim milik gurunya yang dikelola olehnya. ’’AH ngaku disuruh Iqbal,’’ ungkap Munif.
Iqbal lalu ditanyai perihal pencurian tersebut. ’’Iqbal nggak ngaku. Saya tendang kakinya. Terus, saya tanyai lagi, tapi dia nggak ngaku. Saya tendang lagi. Saya lakukan tiga kali kayak gitu sampai akhirnya dia ngaku,’’ jelas Munif.
Munif menanyai Iqbal sudah berapa kali mencuri. Katanya, adik kelasnya tersebut pernah mencuri uang yang sama pada Agustus dan September tahun lalu. Mengetahui itu, Munif pun makin geram. Emosi yang memuncak membuatnya gelap mata menghajar membabi buta.
’’Dia juga ngaku pernah nyuri uang sangu saya,’’ ujar TH. Dia langsung mengangkat kakinya dan menendang Iqbal dua kali. Sekali ke arah kaki dan satunya mengarah ke kepala. Namun, tendangannya ditangkis. MA, sepupu TH, ikut emosional lantaran uang milik saudaranya itu dicuri. Bogem mentah MA menyasar ke wajah kanan korban. Menerima pukulan telak tersebut, Iqbal tersungkur. Dia lantas menjadi bulan-bulanan keempat tersangka yang telanjur panas.
’’Rencananya, berkas perkara selesai pada Jumat nanti (8/9) dan dilimpahkan ke kejaksaan,’’ papar Kapolsek Simokerto Kompol Masdawati Saragih di Ruang Rupatama Polsek Simokerto kemarin.
Hari ini (7/9) keempat tersangka menjalani rekonstruksi penganiayaan di Pondok Pesantren Darussalam, Jalan Tambak Anakan. ’’Dari situ nanti peran masing-masing diperagakan sesuai dengan kesaksian yang mereka katakan kepada penyidik,’’ tutur perwira dengan satu melati di pundak tersebut.
Sementara itu, pembina Surabaya Children Crisis Center (SCCC) Nonot Suryono belum mendapatkan instruksi langsung dari instansi terkait untuk melakukan pendampingan. Meski begitu, pihaknya siap jika diminta mendampingi.
Langkah yang sudah disiapkan adalah melakukan aksesibilitas ke pondok pesantren terkait. Juga, aksesibilitas kepada anak pelaku dan orang tua para pelaku. Aksesibilitas memberikan pemahaman. Terutama terkait dengan kesadaran tentang hukum. Termasuk hak-hak anak sebagai anak yang sedang berhadapan dengan hukum. ’’Negara memberikan perlindungan, prinsipprinsip sesuai dengan konvensi hak anak,’’ ungkapnya.
Yang tidak kalah penting adalah berupaya memberikan pemulihan terhadap semua pihak. Baik kepada anak pelaku, orang tua, maupun pihak-pihak terkait yang berkepentingan. (han/puj/c14/dos)