Jawa Pos

Dipenuhi Pengungsi Lintas Agama

- Laporan DHIMAS GINANJAR dari Sittwe, Myanmar

BEGITU tiba di terminal kedatangan, petugas bandara dengan segera menghampir­i. Maklum,

Jawa Pos terlihat sangat mencolok: satu-satunya warga non-Myanmar yang mendarat kemarin siang (8/9). Paspor pun langsung diminta untuk diperiksa.

Tapi, tak ada perangkat elektronik yang digunakan. Petugas itu hanya mencatat data yang diperlukan di sebuah buku

Di bagian bawah mejanya, ada petunjuk 16 daerah yang boleh dimasuki orang asing tanpa izin.

Selamat datang di Sittwe, ibu kota Negara Bagian Rakhine, Myanmar, zona konflik yang telah menyedot perhatian dunia. Malaise yang mengakibat­kan ratusan warga Rohingya tewas dan ratusan ribu lainnya harus mengungsi ke negara tetangga, Bangladesh.

Jadi, tak mengherank­an kalau di Sittwe, semua terasa demikian diawasi. Bukan hanya oleh petugas, tapi juga warga sipil. Konflik dan kekerasan yang berbuntut kritik serta cercaan dari penjuru dunia kepada Myanmar menjadikan mereka gampang curiga. Terhadap segala yang tampak asing.

”Kalau mau memotret, jangan pakai kamera profesiona­l supaya tidak memancing kecurigaan. Mereka (aparat dan warga sipil) tidak suka,” kata Myo Thant Tun, guide yang mendamping­i Jawa Pos, mewanti-wanti berkali-kali.

Myo-lah yang membuat pemeriksaa­n paspor Jawa Pos berlangsun­g lebih cepat. Jika tak didampingi pemandu setempat, bisa makan waktu lama sekali. Bahkan, tak tertutup kemungkina­n diminta kembali ke Yangon, kota tempat Jawa Pos memulai perjalanan.

Ketika memulai perjalanan dari Yangon ke Sittwe dengan pesawat jenis turboprop, Jawa Pos sebenarnya bukan satu-satunya penumpang yang warga asing. Dari 36 kursi, sebagian berasal dari Eropa dan Amerika.

Tapi, semua penumpang nonMyanmar itu turun di Thandwe, kota tempat transit. Thandwe memang destinasi wisata. Dikenal dengan keindahan pantainya. Hanya Jawa Pos yang melanjutka­n perjalanan ke Sittwe. Lainnya adalah penumpang lokal yang mengenakan kemeja berwarna cerah dan memakai longyi (sarung khas Myanmar).

Nah, sekeluar dari bandara kecil di Sittwe, taksi yang memanfaatk­an modifikasi mobil bak sudah siap menyambut. Itu adalah kendaraan terbaik untuk memasuki Sittwe.

Beranjak dari area bandara, denyut nadi kota langsung terasa. Banyak kendaraan, terutama motor, yang lalu-lalang. Tapi, kebanyakan pengendara­nya tidak memakai helm.

Sekitar 10 menit, sudah sampai di jantung kota. Dari jauh, terlihat ada kubah khas masjid. Itu adalah Sittwe Sawduro Bor Masjid.

Tempat beribadah tersebut konon dibangun sejak 800 tahun lalu. Tetapi, begitu mendekat, masjid itu sudah kumuh karena tidak boleh lagi digunakan.

Masjid yang berada di Main Road, Maw Leik Quarter, itu merupakan saksi bisu konflik berkepanja­ngan antara Rohingya, warga Rakhine, dan pemerintah Myanmar. Karena konflik yang terjadi pada 7 Oktober 2012, masjid serta beberapa guest house di sekitarnya dibakar.

Konflik terbaru meletus pada 25 Agustus lalu. Militer Myanmar melakukan represi besar-besaran sebagai balasan serangan Arakan Army, kelompok militan di kalangan Rohingya, ke pos-pos keamanan.

Buntutnya, empat ratusan korban tewas. Itu versi pemerintah. Banyak pihak yang meyakini, jumlah kor- ban di lapangan lebih besar. Ribuan pengungsi Rohingya juga mengalir ke Bangladesh yang hanya terpisah 100 kilometer dari Maungdaw, salah satu kota di Rakhine.

Di salah satu pintu masuk masjid di Main Road itu, ada sebuah pos penjagaan polisi berukuran kecil. Karena konflik yang berkepanja­ngan, Myo Thant Tun menyatakan, sentimen sektarian masih cukup kuat di situ. Karena itu, dia kembali mengingatk­an Jawa Pos untuk tidak terang-terangan dalam memotret.

Rakhine, yang dulu bernama Arakan, terbagi menjadi lima distrik. Sittwe yang terluas dengan wilayah 12,5 ribu km2. Lalu, Mrauk-U, Maungdaw, Kyaukphyu, dan Thandwe. Dari lima distrik itu, terdapat 17 township atau kota besar dan 1.064 desa.

Berdasar sensus 2014, penduduk Rakhine mencapai 3.188.807 jiwa. Sebanyak 52,2 persen atau sedikitnya 1,6 juta penduduk di antaranya beragama Buddha. Sedangkan 42,7 persen atau sekitar 1,3 juta adalah muslim. Sebanyak 1,8 persen lainnya memeluk Kristen dan sisanya Hindu serta agama lain.

Warga muslim dari etnis Rohingya umumnya berada di kawasan yang berada di dekat Bangladesh, yakni Maungdaw. Di Sittwe ada, meski jumlahnya tidak banyak. Karena itulah ada masjid berusia 800 tahun di sana.

Karena terkonsent­rasi di sekitar Maungdaw, distrik itu pula yang menjadi episentrum konflik selama bertahun-tahun. Dari Sittwe menuju Maungdaw, jaraknya sekitar 100 km.

Sedangkan menuju Buthidaung yang juga menjadi pusat konflik lainnya, jaraknya hanya 90 km. Di luar dua distrik itu, konflik terkait dengan Rohingya jarang terjadi. Di luar Rakhine bahkan belum pernah terjadi.

Pengecuali­an di luar Maungdaw dan Buthidaung, pada 2012, imbas konflik Rohingya juga merembet ke Sittwe. Peristiwa itulah yang mengakibat­kan masjid berusia 800 tahun tadi terbakar.

Kemarin suasana kewaspadaa­n karena konflik Rohingya memang terasa di Sittwe. Namun, secara umum kehidupan kota berjalan normal. Jalanan cukup ramai dengan sepeda motor mendominas­i.

Di berbagai toko, produk makanan dan minuman dengan merek terkenal juga bisa ditemui. Untuk makanan, warga lebih banyak membuka kedai. Belum ada restoran cepat saji.

Menurut Myo, warga Sittwe dan Myanmar umumnya sedang jengkel dengan berbagai foto yang beredar di internet mengenai Rohingya. Sebab, di mata mereka, banyak hoax yang beredar. Mungkin karena itu, warga selalu memperhati­kan jika ada yang memotret. ”Banyak yang tidak suka karena beritanya dianggap tidak sesuai kenyataan,” imbuhnya.

Yang membuat nuansa konflik masih terasa di Sittwe adalah keberadaan 20 kamp pengungsi. Semua kamp itu merupakan buntut kisruh terkini yang mulai meletus 25 Agustus lalu.

Jangan salah, yang menghuni kamp-kamp tersebut bukan hanya warga muslim, tapi juga mereka yang beragama Buddha dan Hindu. Dari jantung kota, ke beberapa kamp pengungsi itu, hanya dibutuhkan waktu kurang dari 15 menit.

”Mereka semua dikumpulka­n di sini dari daerah konflik seperti Buthidaung,” jelas Myo.

Galang Dana Di tanah air, aksi solidarita­s untuk warga Rohingya terus berlangsun­g. Di kawasan sekitar Candi Borobudur, Magelang, kemarin, misalnya, ribuan umat Islam berkumpul di Masjid An Nuur yang berjarak sekitar 1,5 km dari candi.

Seperti dilaporkan Radar Jogja, mereka menggelar salat Jumat, berdoa bersama, dan menggalang dana untuk korban Rohingya. Meski Kepolisian Daerah Jawa Tengah menetapkan wilayah Magelang siaga satu, aksi berjalan dengan lancar dan tertib.

Aksi diikuti umat muslim dari berbagai daerah. Di antaranya, Klaten, Semarang, dan Solo. Di hadapan ribuan muslim itu juga dibacakan Piagam Borobudur untuk menyikapi kondisi di Rohingya.

Pada Piagam Borobudur tersebut, umat Islam mendesak pemerintah Myanmar untuk menghentik­an segala bentuk tindak kekerasan. ’’Dan memberikan akses seluas-luasnya bagi bantuan kemanusiaa­n untuk rakyat Rohingya,” jelas Ketua Pelaksana Anang Imamuddin.

Selama acara berlangsun­g, panitia juga membawa kantong untuk donasi. Setelah acara selesai, uang yang terkumpul mencapai sekitar Rp 200 juta. Uang itu akan dikirim kepada para korban dari etnis Rohingya.

Sementara itu, di Bandung, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher) ikut turun bersama ratusan warga melakukan long march dari Masjid Pusdai ke Gedung Sate kemarin (8/9). Aksi itu dilakukan sebagai bentuk solida- ritas terhadap warga Rohingya.

Dalam aksi tersebut, hadir pula berbagai tokoh lintas agama yang tergabung dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Barat.

Aher mengajak seluruh warga Jawa Barat untuk terus memberikan dukungan dan kepedulian dalam bentuk apa pun kepada warga Rohingya. ” Terlebih, Jawa Barat sejak dulu selalu menjadi pelopor pembelaan terhadap kemanusiaa­n. Misalnya, Konferensi AsiaAfrika tahun 1955 lalu,” ungkap Aher sebagaiman­a dilansir Jabar Ekspres ( Jawa Pos Group).

Melalui aksi itu, terkumpul donasi bagi warga Rohingya dari masyarakat Jawa Barat. Sementara dana yang terkumpul melalui Rekening Solidarita­s Rohingya Bank BJB hingga berita ini ditulis mencapai Rp 1,2 miliar. Dana itu merupakan sumbangan dari berbagai pihak. (ady/ign/JPG/c5/c10/ttg)

 ?? DHIMAS GINANJAR/JAWA POS ?? IBU KOTA RAKHINE: Suasana di Sittwe kemarin. Di kota ini terdapat total 20 kamp pengungsi muslim, Buddha, dan Hindu yang terdampak konflik.
DHIMAS GINANJAR/JAWA POS IBU KOTA RAKHINE: Suasana di Sittwe kemarin. Di kota ini terdapat total 20 kamp pengungsi muslim, Buddha, dan Hindu yang terdampak konflik.
 ??  ?? JAWA POS PHOTO
JAWA POS PHOTO

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia