Perjalanan ke Mentawai yang Membuka Mata
Irsam Soetarto baru pulang dari trip ke Sumatera Barat. Di sana, dia mengunjungi warga suku Mentawai dengan kehidupannya yang masih asli. Ini memang bukan murni perjalanan wisata. Namun, perjalanan ini sangat membuka mata. Berikut catatannya.
Suku Mentawai
KAPAL boat Mentawai Fast bergerak perlahan memecah ombak lautan Indonesia. Bayangan punggung gunung dan Kota Padang perlahan memudar, digantikan oleh riak-riak suara ombak. Perjalanan ke Kepulauan Mentawai dimulai. Suku Mentawai mendiami Pulau Siberut, satu di antara empat pulau di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Ukurannya hampir sebesar Pulau Madura. Bedanya, Pulau Siberut masih relatif tertutup hutan primer berusia ratusan tahun. Mereka tinggal bersama dalam satu keluarga besar garis keturunan ayah di satu rumah panjang tradisional yang disebut Uma. Sebelum masuknya pengaruh kebudayaan luar setengah abad yang lalu, masyarakat Mentawai hidup dalam peradaban neolitik. Mata pencaharian utamanya adalah meramu sagu dan berburu. Peralatan bekerja seperti kapak dan beliung dibuat dari batu. Itu pun diperoleh dari pedagang luar yang singgah untuk membeli hasil hutan mereka. Setelah pendatang makin banyak, barulah mereka memperoleh peralatan dari besi. Pakaian mereka amat sederhana. Yang laki-laki memakai
kabit (cawat dari kulit kayu) dan perempuannya memakai rok dari anyaman pohon sagu. Yang menarik, alas rumah panggung mereka terbuat dari rangkaian kayu durian yang banyak ditemukan di kawasan Mentawai. Pohonnya besar-besar, tapi buahnya kecil.
Makanan pokok orang Mentawai adalah sagu dan keladi. Kalau sekarang sih sudah mulai mengonsumsi beras, dengan ikan sebagai lauk-pauk. Juga burung dan babi hutan yang diburu. Keperluan hidup seharihari seperti pakaian, bahan bakar, tembakau, bahan bangunan, beras, garam, dan keperluan lainnya umumnya didatangkan oleh pedagang luar dari Padang.
Sikerei
ORANG paling dihormati oleh suku Mentawai adalah sikerei atau dukun. Dia dipercaya memiliki kekuatan supranatural dan kedekatan dengan roh leluhur sehingga bisa menyembuhkan penyakit.
Sikerei akan memberikan ramuan obat dan dilanjutkan dengan tarian mistis atau disebut turuk. Rakyat Mentawai percaya, ketika ada seseorang yang sakit, jiwa si sakit sedang meninggalkan tubuhnya. Sikerei bertugas memanggil kembali jiwa tersebut.
Menjadi sikerei ternyata tidak mudah. Dia harus melewati tahapan yang berjalan bertahun-tahun. Diuji secara mental maupun fisik, mulai kemampuan meramu obatobatan hingga meditasi untuk menemui roh leluhur
sikerei (disebut pagetasabau). Tidak semua orang mampu dan mau menjalaninya. Karena itu, biasanya sikerei ditunjuk berdasar keturunan. Sebagai syarat pengangkatan
sikerei, mereka harus memotong babi dan ayam. Dalam strata sosial, posisi sikerei paling atas. Namun, tidak berarti mereka bebas melakukan apa saja. Bahkan, banyak pantangannya. Misalnya tidak boleh pakis, babi, bilou (sejenis monyet khas Mentawai), belut, tupai, dan kura-kura. Mereka juga dilarang untuk menggoda istri orang lain dan harus mendahulukan kepentingan kaum di atas dirinya sendiri. Tato Mentawai
SUKU Mentawai punya tradisi tato yang dianggap sebagai salah satu yang tertua di dunia. Tato di sini sudah ada sejak 1500 SM–500 SM. Tato, bagi masyarakat suku Mentawai, memiliki makna keseimbangan. Juga melambangkan roh kehidupan. Karena itu, masing-masing tato punya makna berbeda.
Tato pemburu, misalnya, berbeda dengan yang lain. Tato pemburu bergambar binatang tangkapannya seperti rusa, monyet, burung, atau babi. Sedangkan tato untuk sikerei bergambar bintang
sibalu-balu. Tato memiliki tiga tahap. Tahap pertama dilakukan di usia 11–12 tahun pada bagian pangkal lengan. Kemudian dilanjutkan dengan tahap kedua di usia 18–19 tahun pada bagian paha. Yang terakhir ketika seseorang telah dianggap dewasa.
Pembuatan tato dilakukan oleh sipatiti atau seniman tato. Sipatiti menggambar sketsa tato dengan lidi, kemudian dirajah dan diberi warna. Yang berbeda, pemasukan tinta dalam kulit di suku ini menggunakan jarum kecil yang dipasang di kayu kecil. (*)