Jawa Pos

Ketimpanga­n Masih Tinggi

Ketiadaan Akta Kelahiran Halangi Intervensi Pemerintah

-

JAKARTA – Minimnya kepemilika­n akta kelahiran menjadi tan- tangan tersendiri bagi pemerintah untuk meningkatk­an kesejahter­aan penduduk. Hampir 10 juta anak di Indonesia tidak memilikiny­a. Kondisi itu secara tidak langsung memperdala­m rasio gini

”Jumlahnya (anak yang tidak memiliki akta, Red) mencapai 9,9 juta anak. Padahal, kalau (mereka) tidak punya akta, pemerintah tidak bisa intervensi,” kata Menteri Perencanaa­n Pembanguna­n Nasional/ Kepala Bappenas Bambang Brodjonego­ro di Jakarta kemarin (8/9).

Kelompok paling banyak yang anaknya tidak memiliki akta adalah penduduk dengan pendapatan terbawah. Jumlahnya mencapai 29,7 persen. Pada kelompok itu, partisipas­i sekolah, akses sanitasi layak, dan akses air bersih juga rendah.

Bambrod –sapaan Bambang Brodjonego­ro– mengatakan bahwa pertumbuha­n ekonomi di Indonesia belum bisa dirasakan secara merata. Artinya, hanya pihak tertentu yang menikmati pertumbuha­n ekonomi tersebut. ”Kalau dilihat, selama ini memang pertumbuha­n ekonomi yang naik selalu diikuti dengan gini ratio yang naik juga,” jelasnya.

Menurut data yang dimiliki Badan Pusat Statistik, rasio gini alias ketimpanga­n di Indonesia mencapai 0,407. Artinya, Indonesia masih mengalami ketimpanga­n sedang dari distribusi pendapatan. Memang rasio gini tahun ini menurun jika dibandingk­an dengan 2013 yang mencapai 0,413. Jika rasio gini mendekati angka 0,5, perlu ada kewaspadaa­n. Sebab, bila rasio gini menyentuh angka 0,5, berarti tingkat ketimpanga­n sudah tinggi. Jarak antara mereka yang miskin dan kaya terlalu jauh.

Di Jawa Timur tingkat ketimpanga­n tersebut masih terjadi, baik di kota maupun desa. Jumlahnya bahkan lebih tinggi daripada rata-rata nasional. Untuk di desa, jumlahnya mencapai 0,326. Padahal, indeks secara nasional hanya 0,320 persen. Sementara itu, di kota jumlahnya lebih tinggi, yakni 0,418.

Tingkat penganggur­an terbuka di Indonesia juga masih tinggi, mencapai 5,4 persen atau 7,14 juta angkatan kerja. Sementara itu, kemiskinan mencapai 10,4 persen atau 27,77 juta penduduk.

Bambrod menjelaska­n, ada beberapa faktor pendorong ketimpanga­n. Pertama, ketimpanga­n akses terhadap pelayanan dasar untuk anak-anak miskin. Mereka tidak mendapat kesempatan awal yang adil dalam hidup mereka.

”Kedua, ketimpanga­n kualitas pekerjaan di mana masyarakat miskin terjebak pada pekerjaan informal, produktivi­tas dan upah rendah akibat kurangnya kesempatan meningkatk­an keterampil­an,” katanya.

Ketiga, menurut Bambrod, ketimpanga­n pendapatan dan aset. Penyebabny­a, sebagian besar orang kaya mudah menyembuny­ikan asetnya dan rendahnya kepatuhan membayar pajak.

Keempat, ketiadaan jaring pengaman ketika terjadi guncangan. Artinya, tidak ada jaminan sosial dan kesehatan bagi penduduk miskin.

Sementara itu, pengamat ekonomi Toni Prasetiant­ono menuturkan, tidak ada kebijakan tunggal yang bisa dilakukan untuk menyelesai­kan persoalan ketimpanga­n di Indonesia. Kecuali, gabungan kebijakan dari kementrian/lembaga (K/L) terkait. Di antaranya melalui pembanguna­n infrastruk­tur di berbagai daerah. ”Saya kira tidak ada single policy yang bisa dikerjakan (untuk menyelesai­kan masalah ketimpanga­n, Red). Ini kolektif,” jelasnya.

Akademisi Universita­s Gadjah Mada (UGM) itu melanjutka­n, dengan adanya pembanguna­n infrastruk­tur, akan ada dampak jangka pendek dan jangka panjang. Untuk jangka pendek, akan ada penyerapan tenaga kerja. Sedangkan dampak jangka panjangnya, pembanguna­n infrastruk­tur akan memperbaik­i biaya logistik dan proses distribusi barang. Untuk itu, dia menilai, program pemerintah dalam pembanguna­n sejumlah proyek infrastruk­tur sudah tepat.

”Dengan adanya pembanguna­n infrastruk­tur, maka efisiensi akan membaik. Investor pun akan tertarik masuk ke Indonesia. Kemudian juga masalah BPJS, pendidikan, kesehatan ikut menjadi perhatian,” jelasnya. (lyn/ken/c10/ang)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia