Merger Semua Lembaga Olahraga
SEBELUM SEA Games 2017 dimulai 19 Agustus lalu, harapan masyarakat terhadap capaian kontingen Indonesia begitu tinggi. Indonesia harus juara. Atau setidaknya lebih baik dari SEA Games 2015. Ekspektasi setinggi itu sangat beralasan. Sebab, di luar olahraga, saat ini nyaris tidak ada prestasi yang bisa dibanggakan masyarakat sebagai sebuah bangsa yang hebat.
Namun, apa daya. Harapan masyarakat yang telanjur melanting ke langit dijawab dengan rasa kecewa yang menggunung. Kita hanya pandai membuat target, tapi tidak cakap dalam mencapainya. Membidik 55 medali emas, ternyata hanya bisa meraih 38 emas. Indonesia pun hanya finis di peringat kelima. Persis seperti capaian pada SEA Games 2015.
Mengaca pada capaian itu, masyarakat harus kembali bersiapsiap menghadapi kenyataan yang lebih pahit dalam ajang Asian Games 2018. Sekalipun menjadi tuan rumah, sangat mungkin prestasi Indonesia tidak akan lebih baik dari Asian Games sebelumnya. Logikanya sangat sederhana. Di tingkat Asia Tenggara saja kita tidak bisa bicara banyak, apalagi di tingkat Asia yang pesertanya lebih maju dalam pembinaan olahraganya.
Yang lebih menyesakkan dada atas kegagalan di ajang SEA Games 2017, Indonesia kalah oleh negara-negara yang notabene tidak lebih besar dari Indonesia. Menurut teori probabilitas, secara geografis dan demografis, Indonesia sudah menang. Kemungkinan untuk mendapatkan atlet-atlet berbakat yang dimiliki Indonesia jauh lebih besar jika dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Singapura.
Pertanyaannya, sudahkah kita memanfaatkan dengan baik dan benar keunggulan jumlah penduduk itu? Sudahkah kita menggunakan cara yang benar dalam menyeleksi atlet yang akan mewakili negara di kancah internasional?
Dua pertanyaan itu penting untuk dijawab. Sebab, untuk mencapai prestasi tertinggi dalam olahraga, tidak ada yang instan. Tidak boleh ujug-ujug menentukan target sekian medali emas tanpa mengetahui secara persis seperti apa perkembangan atletnya. Juga, ini yang lebih penting, memantau perkembangan atlet-atlet dari negara lain.
Nah, pertanyaan berikutnya, tugas siapa untuk menjaring bibit-bibit unggul yang tersebar di seluruh pelosok negeri? Sebenarnya tidak sulit menjawabnya. Selama ini kita mengenal beberapa lembaga yang menangani olahraga di Indonesia. Ada KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) dengan caborcabornya. Organisasinya eksis dari pusat sampai kabupaten/kota.
Lalu, ada Kemenpora (Kementerian Pemuda dan Olahraga) yang jejaringnya juga sampai di kabupaten/kota (dispora). Di luar itu, ada KOI (Komite Olimpiade Indonesia) yang bertugas melaksanakan keikutsertaan Indonesia dalam pekan olahraga internasional seperti Olimpiade, Asian Games, SEA Games, dan lain-lain.
Lucunya, masih ada lembaga lain yang tugasnya agak susah dibedakan dari tugas- tugas KOI, yakni Satlak Prima. Jika berjalan sebagaimana mestinya, keberadaan beberapa organisasi itu tentu saja bisa menghasilkan atlet-atlet hebat. Tapi, kenyataan berbicara lain. Prestasi olahraga Indonesia kian tertinggal.
Karena terbukti tidak bisa meningkatkan prestasi olahraga Indonesia, mendesak untuk dilakukan evaluasi terhadap lembaga-lembaga yang menangani olahraga selama ini. Bila perlu dilakukan perombakan. Selanjutnya, cukup menunjuk satu lembaga yang diberi tanggung jawab dan kewenangan penuh menangani olahraga nasional. Tugas utamanya adalah mencari bibit-bibit unggul yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Lalu membina mereka menjadi atlet hebat. Banyaknya lembaga yang menangani pembinaan olahraga selama ini tidak hanya mengakibatkan tumpang- tindihnya tugas, melainkan juga memboroskan anggaran.
Dengan ditangani satu lembaga saja yang kredibel, pembinaan olahraga akan fokus. Selain itu, segala kebutuhan atlet seperti peralatan latihan, uang saku, atau uang kesehatan akan tertangani dengan baik. Tidak seperti sekarang. Bukan hanya masalah uang saku atlet yang mencuat ke permukaan. Ternyata perlengkapan tanding atlet juga telat.
Hal itu dialami tim nasional karate. Hingga malam penutupan SEA Games 30 Agustus lalu, timnas karate baru menerima sebagian peralatan tanding yang se ha rus nya dipakai saat SEA Games dihelat beberapa hari sebelumnya. Gara-gara telat, konon para karateka Indonesia terpaksa bertanding dengan menggunakan sarung tangan dan pelindung tubuh lama yang beberapa bagiannya sudah mengelupas.
Sebab itu, meminta maaf saja tidak cukup untuk mengobati kekecewaan rakyat. Demi menumbuhkan kebanggaan sebagai bangsa, rakyat menuntut pemerintah, cq Menpora Imam Nahwari, melakukan tindakan cerdas untuk membenahi pembinaan olahraga di tanah air. Termasuk mempertimbangkan memerger semua lembaga yang selama ini menangani olahraga menjadi satu lembaga yang kredibel.
Akhirnya, selamat Hari Olahraga Nasional! (*) *) Direktur Jawa Pos Radar Banyuwangi