Orang Lapar Mata Masih Abaikan Orang yang Lapar Perut
Lapar mata sering membawa orang kalap dan memesan banyak makanan. Celakanya, makanan itu sering lebih. Bahkan tidak termakan. Kini ada Garda Pangan yang siap menyelamatkan kelebihan makanan yang nyaris mubazir tersebut.
TIGA motor langsung menghambur ke area restoran Melayu di Jalan Raya Ngagel Sabtu (2/9). Tiga penunggangnya juga langsung ke restoran tersebut. Padahal, rumah makan itu sudah tutup. Jam sudah menunjuk pukul 22.00. Rolling door restoran sudah menutupi separo pintu kacanya. Sebentuk papan kecil bertulisan closed bergantung di balik pintu kaca.
Memang masih ada aktivitas di dalam restoran. Seorang karyawan sedang bersih-bersih. Sedangkan beberapa lainnya sedang membereskan dapur.
’’Mau ngambil makanan lebih,’’ kata Dedhy Bharoto Trunoyudho, salah seorang di antara pemotor yang masuk ke restoran itu. Dengan cekatan, seorang pelayan langsung membawakan baskom dari stainless steel, dua piring, dan satu kaleng kerupuk
Baskom tersebut berisi sayur nangka muda. Sedangkan dua piring itu berisi irisan daging rendang dan perkedel.
”Nasinya habis. Sayur dan lauknya masih banyak,” ujar Eva Bachtiar, kawan Dedhy. Segepok kertas pembungkus makanan warna cokelat mereka keluarkan dari tas. Sedangkan Indah Audivtia, pemotor berikutnya, keluar menuju kendaraannya.
Dedhy dan Eva dengan cekatan mengambil sendok. Mereka menyendok sayur dan mengambil lauk, lantas meletakkannya di atas kertas minyak itu.
”Ini nasinya ada lebih dari acara manten tadi,” ujar Indah yang lantas bergabung. Nasi itu sudah dibungkus bersama lauk dan sayur.
”Alhamdulillah dapat 27 bungkus,” ujar Dedhy sambil menenteng bungkusan nasi tersebut ke atas motor. Karyaw an restoran mulai merapikan be be rapa baskom di atas meja. Seiring kepergian motor tiga orang itu, lampu restoran perla han mati dan hanya me nyisakan lampu teras dan billboard yang menyala terang.
Dedhy dan kawan-kawannya lalu menyusuri jalanan Surabaya. Membagikan bungkusan nasi itu kepada orang-orang yang sekiranya membutuhkan. Misalnya, tukang becak dan pemulung.
Itulah aktivitas malam mingguan tiga pendiri Garda Pangan –Dedhy, Indah, dan Eva– sejak lima bulan lalu. Menjelang restoran Melayu itu tutup, mereka mengambil makanan lebih yang tidak terjual. Sebab, tiap Ahad restoran itu tutup. Daripada terbuang, makanan lebih baik dimanfaatkan.
Garda Pangan merupakan komunitas penyelamat makanan surplus yang ada di Surabaya. Tiga pendiri itu miris melihat banyak masyarakat Surabaya masih tak acuh dengan makanan berlebih. Banyak pula masya- rakat yang hanya lapar mata. Ujung-ujungnya, membuang makanan.
Dari situ, tiga orang tersebut tergerak menyelamatkan makanan yang berlebih. Tentu bukan sembarang makanan. Higienitas dan kualitas tetap harus diutamakan. Makanan harus dicek sebelum diterima. Misalnya, memastikan tidak basi. Bau makanan diperhatikan betul, teksturnya, hingga rasanya. ”Kalau layak, langsung kami packing,” ujar Indah.
Dedhy dan Indah adalah pasangan pemilik katering. Sedangkan Eva adalah staf di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Urusan pekerjaannya juga tak jauh dari makanan. Yakni, mengurusi problem pertanian di wilayah Indonesia Timur.
Kini sudah ada tujuh relawan yang bergabung dengan Garda Pangan. Jumlah tersebut masih kurang. Mereka terus men cari relawan untuk menggau ngkan semangat penyela matan makanan yang nyaris mubazir itu.
Hari ini (9/9) Garda Pangan berusia genap setahun. Di usia dini itu, mereka telah menjalin kerja sama dengan satu restoran dan lima katering kelas menengah ke atas. Dedhy mengatakan, 80 persen acara yang menggunakan jasa katering dari kelas menengah ke atas pasti punya banyak makanan berlebih. Yang punya acara pun biasanya tak memedulikan kelebihan maka nan itu. Mereka memilih datang dan pergi tanpa membawa apa-apa.
Karena itu, banyak makanan yang terbuang atau dibagibagikan kepada kru tempat acara. Namun, pasti tetap saja ada yang sisa. ’’Biasanya nasi dan cah sayur,’’ kata Dedhy.
Food and Agriculture Organi zat ion ( FAO), salah satu organisasi di bawah naungan Perserikatan Bangsa- Bangsa ( PBB), me nem patkan Indonesia di urutan ke-2 negara pembuang makanan sampah terbesar di dunia. Padahal, masih ada 19,4 juta masyarakat Indonesia yang kelaparan.
Menjawab itu, ada dua kegiatan yang dilakukan Garda Pangan. Yang pertama adalah food rescue, gerakan itu fokus pada pengumpulan makanan surplus. Baru restoran dan katering yang mereka jangkau. Menurut Indah, Garda Pangan masih kesulitan untuk masuk ke hotel dan bakery. Padahal, kemungkinan makanan surplus dari dua tempat itu sangat besar. Contohnya, ada bakery yang memproduksi kue pagi, tapi malamnya kue sudah harus dimusnahkan. ”Mereka punya protokol dan aturan yang ketat soal itu. Ini yang belum bisa kami tembus,” kata perempuan 25 tahun tersebut.
Pemerintah pun tak punya aturan pasti soal pengelolaan makanan surplus. Kalau saja ada aturan, bukan tidak mungkin masalah kelaparan di perkotaan bisa teratasi. Sampah makanan pun terkurangi. ”Ini yang ke depan ingin kami usulkan ke pemerintah kota,” ujar Dedhy.
”Kalau di Prancis jelas ada aturan itu. Bahkan, supermarket punya aturan khusus tentang barang yang mendekati kedaluwarsa tapi masih layak konsumsi. Makanan itu dijual dengan banting harga,” sambung Eva.
Kedua, Garda Pangan punya gerakan food drive. Yang itu lebih fleksibel. Menyesuaikan dengan momen. Misalnya saat Lebaran. Melihat banyaknya camilan berlebih di setiap rumah, mereka pun membuka kotak donasi makanan.
Yang mereka cari memang bukan makanan atau camilan sisa. Tapi yang masih utuh. Misalnya, satu stoples kue kering yang sama sekali belum dibuka. Untuk itu, mereka menitipkan sebuah kotak di tempat-tempat umum strategis. ”Lebaran lalu kami taruh kotak di restoran Melayu yang sudah menjalin kerja sama. Selain itu lewat media sosial,” ujar Dedhy.
Yang terbaru pada Idul Adha kemarin. Dengan pertimbangan banyak masyarakat yang menerima daging kurban lalu hanya membiarkannya beku di freezer, Garda Pangan kembali membuka food drive. Pengumpulan dilakukan hingga besok (10/9). Setelah terkumpul, daging itu akan disalurkan ke masyarakat yang belum menerima atau membutuhkan. ”Nyatanya, ada masyarakat yang belum menerima daging itu,” ungkap Indah.
Food rescue dan food drive yang dilakukan Garda Pangan juga tidak tanggung-tanggung. Mereka siap kapan pun untuk menjemput langsung makanan surplus atau donasi itu. ”Sementara terbatas di Surabaya. Malam pun kami siap datang!” tegas Dedhy.
Demi menyukseskan program itu, mereka melakukan sosialisasi dan edukasi. Misalnya, saat momen car free day di Jalan Darmo saban Minggu. Cara itu cukup efektif dalam menarik minat khalayak.
Dalam perjalanannya, Garda Pangan terus mendengar kisahkisah makanan surplus di Surabaya. Pernah, ada satu keluarga yang selalu makan di restoran. Menunya pun berukuran jumbo. Padahal, yang makan hanya bapak, ibu, dan anak. Kalau lapar mata, satu meja bisa penuh makanan. Ujungnya adalah banyak sisa makanan. ”Karena merasa mampu dan ingin yang terbaik, ya mereka tiap hari ingin makan dari restoran terbaik,” kenang Indah.
Karena itu, dalam sosialisasinya, mereka mengingatkan masyarakat agar bisa mengukur makanan yang akan disantap atau dipesan.
Kini mereka sedang membawa Garda Pangan untuk lebih dikenal lagi. Salah satunya melalui ASEAN Young Socialpreneur Program (AYSP) 2017. Garda Pangan berhasil masuk 20 besar. Sementara itu, pada kompetisi Socio Digi Leader (SDL), mereka berhasil masuk 25 besar. Mereka tengah bersiap untuk memperebutkan posisi tertinggi kompetisi tersebut. (*/c10/dos)