Empat Hari Baru Hasilkan Produk
Gresik terkenal sebagai salah satu sentra industri tenun. Khususnya perajin tenun tikar. Namun, kini keberadaannya nyaris punah. Hanya beberapa orang yang masih eksis.
SIANG itu matahari begitu terik. Nurjanah terlihat sibuk. Dia harus bolak-balik keluar-masuk rumah. Sebab, ada dua pekerjaan yang dilakukan bersamaan. Selain menanak nasi, wanita tersebut tengah menyelesaikan pekerjaan rutinnya, yakni menenun tikar.
Dengan telaten, wanita berusia 39 tahun itu merajut lembaran tikar lewat mesin tenun di teras rumah di Desa Jogodalu, Kecamatan Benjeng. Desa tersebut merupakan satu di antara sejumlah pusat perajin tenun, terutama sarung.
Sekilas, pekerjaan itu terlihat mudah. Gulungan tali rafia berwarna hitam tersebut dimasukkan ke mesin yang sudah dipasangi benang tiga warna. Benang-benang itu sudah disusun membentuk motif garis-garis. Lantas, dengan kakinya, Nurjanah meng- gerakkan mesin tersebut. Rajutan pun jadi. Sejatinya, dibutuhkan waktu untuk bisa melakukan aktivitas itu dengan fasih.
Ibu dua anak tersebut harus belajar dulu hingga sebulan. ’’Sebenarnya, kalau serius, belajarnya cepat kok,’’ katanya.
Dulu tidak susah belajar ketrampilan itu. Banyak perajin di desa tersebut yangt siap jadi mentor. Saat itu jumlah pembuat tikar tenun cukup banyak. Namun, kini situasinya sudah berubah.
Sekarang Nurjanah menekuni aktivitas tersebut seorang diri. ’’Dulu, di desa ini, ada lebih dari sepuluh perajin khusus tikar. Itu belum termasuk di desa lain. Tapi, sekarang nyaris sudah tidak ada,” ujarnya.
Selain tenun tikar, desa tersebut memiliki banyak perajin sarung. Rata-rata, mereka adalah pemborong garapan para perajin tikar. Ada juga perajin yang dimodali para pengusahatersebut.Kompensasinya, hasil pekerjaan mereka disetor ke pemodal. Mereka juga menerima pesanan dari para pelanggan.
Tikar buatan para perajin di Jogodalu cukup terkenal. Mayoritas tikar buatan warga desa tersebut dipasarkan di wilayah Lamongan hingga kabupaten/ kota lain di luar Gresik. Kualitasnya tidak kalah dengan produksi pabrikan. Padahal, perajin menggunakan mesin tenun tradisional. Soal kuantitas, mereka tidak bisa cepat.
Karena peralatannya masih tradisional, garapan tikar sebanyak satu boom (istilah satu gulungan tali di kalangan pengusaha tenun) baru bisa diselesaikan paling cepat empat hari. Jika dikonversikan, satu boom menghasilkan selembar tikar berukuran 10 x 12 meter. Lalu, lembaran itu dibagi menjadi empat tikar. Hal tersebut yang membuat penghasilan juga kurang maksimal.
Karena itu, seiring perkembangan waktu, keberadaan mereka makin menyusut. Mayoritas para perajin tersebut’’pensiun’’ karena sudah uzur hingga tutup usia. ’’Sementara itu, sekarang jarang ada yang mau meneruskan usaha ini,’’ ujarnya.
Problem permodalan dan jaringan pasar juga menjadi salah satu faktor yang membuat perajin tikar menyusut. Karena itu, untuk bisa terus berkarya, Nurjanah bekerja sama dengan pemodal asal Lamongan. Hasil pekerjaannya dipasarkan pengusaha tersebut.
Yang masih cukup banyak, para perajin sarung. Mereka tersebar di wilayah Benjeng dan Cerme. Biasanya, mereka bekerja sama dengan para pengusaha sarung lokal. Misalnya, yang dilakoni Suharyati, 32. (*/c20/dio)