Tak Bisa Masak, Harus Menenun
Suku Kajang Dalam dikenal dengan kehidupannya yang sangat sederhana. Tidak mengejar kekayaan. Namun, mereka tidak berarti selalu hidup dalam kesusahan. Pada pesta pernikahan, misalnya, dibutuhkan modal besar untuk bisa mempersunting calon pasangan yang di
BAGI gadis-gadis suku Kajang Dalam, tidak bisa masak bukan masalah besar. Pintar memasak bukan syarat menantu idaman. Sebab, masyarakat Kajang Dalam tidak pernah menggunakan berbagai macam bumbu masakan. Garam dan air saja sudah cukup untuk menghasilkan hidangan satu keluarga. Makanan menjadi mewah jika dimasak dengan menggunakan santan.
Namun, ada satu syarat yang harus dilalui untuk bisa menikah. Si gadis harus bisa menenun. Adapun calon mempelai pria harus bisa berkebun. Dengan kata lain, sudah bisa bertanggung jawab untuk kehidupan selanjutnya setelah menikah.
Amma Toa Puto Palasa menuturkan, laki-laki yang tidak bisa berkebun tidak boleh menikah. Tanam jagung, kopi, pisang, dan padi. ’’Perempuan harus bisa jahit tangan kalau mau menikah,’’ tutur pemimpin adat di Tana Toa itu.
Berkebun dan menenun merupakan sumber mata pencaharian utama penduduk suku Kajang Dalam. Hasilnya lantas dijual di pasar terdekat. Atau, dijual kepada turis yang mengunjungi wilayah mereka.
Tope le’leng atau sarung hitam adalah kain tenun khas suku Kajang Dalam. Sehari-hari para penduduk menggunakannya sebagai penutup tubuh. Kain tersebut terbuat dari benang putih yang diberi pewarna alami dari daun Tarung. Daun direndam semalaman hingga keluar warna hitamnya. Kemudian, benang putih dimasukkan ke dalamnya dan direndam hingga sepekan.
Setelah benang putih berubah menjadi hitam, baru ditenun menjadi kain. Biasanya, butuh waktu sepekan untuk menyelesaikan sebuah sarung. ’’ Tapi, sering diselingi kegiatan lain. Jadinya bisa sebulan,’’ ujar nenek Nasa, salah seorang warga, dalam bahasa Konjo.
Ilmu menenun selalu diwariskan secara turun-temurun. Nenek Nasa pun demikian. Dia mewariskan keahlian tersebut kepada putrinya, Ta’ang. Meski tidak lulus kelas V SD, dia sangat mahir menenun.
Kemudian, di usia 15 tahun Ta’ang menikah dengan petani bernama Sambutong. Pria yang umurnya lebih tua dua tahun darinya. Dari pernikahan itu, pasangan suami istri yang menikah pada 2000 tersebut dikaruniai empat anak.
Ta’ang menuturkan, proses menuju pernikahan antara masyarakat dulu dan sekarang mengalami pergeseran. Dulu, pernikahan dilangsungkan dengan proses perjodohan. Mereka yakin pilihan orang tua yang terbaik. Calon mempelai perempuan pun tidak diberi tahu akan dinikahkan hingga menjelang pesta.
Namun, kini sangat jarang ada anak muda yang mau dijodohkan. Rata-rata mereka sudah suka sama suka. Kemudian, si pria melamar gadis yang dicintai untuk dipersunting sebagai istri.
Untuk bisa menikah, bukan keahlian menenun dan berkebun saja yang dibutuhkan. Tentu ada sejumlah mahar yang harus dipenuhi calon mempelai pria untuk bisa menikahi gadis idaman. Jumlah itu tidak sedikit dan juga tidak murah.
Tanduk kerbau adalah salah satu jenis mahar yang harus dipenuhi. ’’Boleh jantan atau betina, tapi jantan lebih baik,’’ kata Ta’ang. Tanduk kerbau itu nantinya digunakan sebagai hiasan di rumah panggung mereka. Kemudian, mempelai pria juga membawa
baku’ puli. Atau, makanan khas yang dimasukkan ke bakul. Selanjutnya ada pabasa. Yakni, perabot rumah tangga. Umumnya alatalat untuk memasak. Ragam mahar termasuk reala
salapang atau uang sejumlah 8 real berbentuk kepingan. Delapan real sama dengan Rp 8 juta. Selain itu, ada doi panai atau uang panai yang nilainya mencapai Rp 40 juta. Kemudian, masih ditambah mahar tanah ( tonra buleng) dan mahar hidup ( tonra le’leng). Biasanya kerbau dua ekor. Tetapi bisa juga sesuai dengan kemampuan.
Pesta pernikahan diselenggarakan selama dua hari dua malam. Mulai menjamu tamu adat, acara hiburan, sampai resepsi seperti pernikahan pada umumnya. Para undangan biasanya membawa sumbangan berupa beras minimal 15 liter. Bisa juga dengan uang yang standarnya Rp 50 ribu.
Status pernikahan masyarakat suku Kajang Dalam didaftarkan dalam catatan sipil. Baru kemudian masuk catatan adat. Sekarang mereka juga mengikuti aturan pemerintah terkait dengan batas usia minimal pernikahan. Yang melanggar dikenai denda Rp 60 ribu dan sebuah tope le’leng atau bergantung kesepakatan.
Setelah menikah, perempuan umumnya mengikuti laki-laki. Tetapi bisa juga sebaliknya asalkan dengan kesepakatan bersama.
Jika di kemudian hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan hingga mengakibatkan perceraian, masyarakat suku Kajang Dalam menetapkan beberapa aturan. Jika laki-laki yang pergi, mahar tidak perlu dikembalikan. Namun, jika pihak perempuan yang memilih pergi, harus mengembalikan seluruh mahar, kecuali baku’ puli. Itu berlaku jika dalam pernikahan tersebut mereka belum dikaruniai keturunan. Jika sudah ada momongan dan pihak perempuan memutuskan pergi, mahar tidak perlu dikembalikan.
Meski demikian, Ta’ang mengatakan bahwa saat ini jarang sekali ada pasangan suami istri yang memutuskan bercerai. Sebab, mereka menikah atas pilihannya sendiri. Perceraian kerap terjadi kala proses pernikahan melalui perjodohan. Di tengah biduk rumah tangga mereka merasa tidak cocok hingga memutuskan berpisah.