Yang Meninggal Tak Benar-Benar Pergi
SAAT seseorang meninggal dunia, masyarakat suku Kajang Dalam memaknainya sebagai alinrung. Yakni, berlindung dalam naungan Sang Pencipta. Raga boleh dikubur, tetapi jiwa tetap abadi.
Meski demikian, istilah tersebut sebenarnya sedikit tergerus. Saat ini mereka lebih menerapkan makna dalam bahasa Indonesia yang lugas. Meninggal dunia.
Ketika seseorang meninggal dunia, seluruh keluarganya mengenakan le’leng untuk menutupi tubuh. Dulu, tidak boleh ada sehelai kain pun selain sarung hitam itu. Namun, kini tradisi di masyarakat tersebut sedikit bergeser. Mereka menambahkan kaus dan celana pendek sebagai dalaman.
Masyarakat Kajang Dalam percaya bahwa seseorang yang meninggal dunia tidak benar-benar pergi. Selama 100 hari mereka masih bersama keluarganya. Selama itu pula anggota keluarga hanya mengenakan tope le’leng.
Dalam upacara kematian, sanak saudara menyiapkan kanrebarata. Yakni, sesaji untuk penghuni dunia lain. Terdiri atas nasi kacang, daun sirih yang ditumbuk, dan abu yang diletakkan di dalam batok kelapa.
’’Petugas yang memandikan jenazah atau mengangkat keranda harus menyentuh kanrebarata sebelum melaksanakan tugasnya,’’ tutur Haji Rasa, salah seorang sesepuh di Desa Tana Toa.
Selain tiga hal tersebut, sebenarnya masih ada satu lagi ragam kanrebarata. Yaitu, sebuah lilin yang diletakkan di potongan batang pohon pisang. Namun, lilin itu bukan lilin sembarangan. Benda tersebut terbuat dari kemiri yang ditumbuk, kemudian dicampur kapas. Lidi kelapa diletakkan di tengah-tengah sebagai sumbu. ’’Nyala lilin sebagai penuntun bagi yang meninggal,’’ tuturnya.
Pada prosesi mengantar jenazah ke liang lahat, sebagian pengantar membawa anyaman bundar seperti kipas. Mereka mengibas-ngibaskan kipas tersebut. Tujuannya, memberikan kesejukan. Sebab, menurut kepercayaan, alam dunia lain cukup panas.
Sementara itu, sebagian pengantar lainnya membawa obor dan api. Mereka berada di barisan depan seperti membuka jalan. Api dikibaskibaskan di area sekitar jalan. Hal tersebut dipercaya bisa mengusir roh jahat yang bisa mengganggu orang yang meninggal dunia tersebut.
Setelah proses penguburan selesai, keluarga menyerahkan barang-barang orang yang meninggal dunia tersebut kepada sesepuh desa. Selanjutnya, barang-barang itu menjadi urusan sesepuh desa.
Pada hari ke-20, ke-40, dan ke-100 setelah kematian, keluarga mengadakan doa bersama. Ada doa-doa pemujaan bagi Sang Pencipta. Tidak lupa juga hidangan berupa kue merah dan ayam sokko (nasi beras ketan). ’’Kalau di Kajang Luar, tradisinya menamatkan Alquran,’’ tambahnya.
Bagi masyarakat suku Kajang, tradisi harus dipegang teguh. Baik bagi Kajang Dalam maupun Kajang Luar. Meski menganut kepercayaan yang berbeda, mereka sepakat menjaga warisan nenek moyang. ’’Lebih baik mati anak daripada mati adat,’’ jelasnya. (ant/c15/dos)