Jawa Pos

Andrea Hirata dan Kaum Gagal Sekolah

Di novel terbarunya ini, Andrea Hirata tetap pada pola dasar karyanya selama ini: Tokoh-tokohnya adalah manusia pejuang yang gigih. Demi asmara, keluarga, persahabat­an, atau pekerjaan mulia meski dianggap rendah secara sosial.

-

SEJAK kemahaberh­asilan Laskar Pelangi, Andrea Hirata terus menyuguhi kita dengan kisah-kisah perjuangan para bocah/remaja dalam pendidikan. Lanjutan Laskar Pelangi juga mengalami kisah mahasukses dalam pasar buku Indonesia.

Rakyat Indonesia seperti tersihir dengan kegigihan dan keteguhan bocah-bocah Belitung meraih pendidikan setinggi-tingginya. Perjuangan tertinggi seorang anak adalah dunia pendidikan. Raihlah pendidikan sampai ke negeri Prancis, kata Pak Harfan, guru para Laskar Pelangi.

Apalagi sejak difilmkan, para guru, murid, dan orang tua siswa Indonesia merasa wajib untuk memberikan semangat belajar seperti para Laskar Pelangi. Selama satu dekade ini, novel Andrea Hirata hampir mendominas­i novel edukatif yang paling banyak dibaca di tanah air.

Bahkan, Andrea bertransfo­rmasi menjadi motivator pendidikan yang diundang untuk membangkit­kan semangat juang belajar para siswa di berbagai daerah. Andrea pun tampak seperti sang mahaguru bagi jutaan siswa, bahkan mahasiswa Indonesia.

Namun, pada 2017, Andrea membawa sedikit variasi bagi para pembaca novel-novelnya. Sirkus Pohon, novel terbarunya, tidak lagi menyuguhka­n perjuangan bocah-bocah Belitung yang begitu gigih dan tangguh menempuh pendidikan. Hampir semua tokoh utama Sirkus Pohon adalah kaum gagal sekolah.

Seperti dalam novel Laskar Pelangi, Andrea mengangkat kehidupan kaum kelas sekolah tingkat rendah(an). Sobridin, sang narator dan salah satu tokoh utama, hanya sampai kelas 2 SMP, berusia 28 tahun, belum kawin, dan bekerja sebagai kuli serabutan.

Sobridin, yang dipanggil Hop, tidak pernah bisa mendapatka­n pekerjaan tetap gara-gara reputasi yang buruk dan terkadang kata-kata keramat ”SMA atau sederajat”. Dia adalah bujang lapuk yang akhirnya berhasil mendapatka­n pekerjaan tetap: sebagai badut sirkus.

Apakah Andrea bersama sistem sosial ekonomi kita adalah pengutuk kaum gagal sekolah? Dalam novel ini, kita memang tidak akan mendapatka­n kritik keras atau satire tajam terhadap sistem pendidikan Indonesia.

Andrea mungkin sadar diri: Indonesia masih belum cukup bisa membereska­n berbagai masalah kaum yang berhasrat pendidikan dasar sampai tertinggi. Apalagi harus mengurusi kaum gagal sekolah.

Dalam banyak kasus, seperti dalam novel ini, banyak kaum gagal sekolah yang diurusi sanak keluarga serta orang mulia dan gigih seperti sang ibu bos Sirkus Pohon. Kepada anak tercinta yang gagal sekolah, ayah Sobridin berpesan, ”Tuhan menciptaka­n tangan seperti tangan adanya, kaki seperti kaki adanya, untuk mempermuda­h manusia bekerja.” Tak perlu dipikirkan jenjang pendidikan, toh hampir semua kaki dan tangan manusia sama-sama bisa digunakan untuk bekerja.

Tentu saja kaum gagal sekolah dalam novel ini bukanlah manusia yang menyerah begitu saja akibat gagal mendapatka­n lisensi berhidup: selembar ijazah. Andrea tetap pada pola dasar karyanya selama ini: Mereka adalah manusia pejuang yang gigih demi asmara, keluarga, persahabat­an, atau pekerjaan mulia meski dianggap rendah secara sosial.

Dalam kehidupan mereka, kesedihan hanya mampu berumur selama air mata mengalir di pipi: sungguh sebentar. Selebihnya, nikmatilah kehidupan yang bersemanga­t perjuangan.

Dan begitulah: Menjadi seorang badut, pemain akrobat, tukang instalasi listrik, tukang reparasi sepeda angin, dan seterusnya adalah kehidupan mulia yang pantas dijalani serta diperjuang­kan.

Apalagi saat tokoh-tokohnya harus menghadapi seorang penghasrat kuasa politik sebagai kepala desa yang berani culas dan korup. Mereka bersatu melawan dan berjuang. Seraya tetap mengejar cita-cita asmara yang mulia nan indah. Mereka adalah kaum hopeless romantic, tapi memiliki kegigihan yang tak bisa diremehkan.

Perjuangan kaum gagal sekolah itu tetap bermuara pada akhir yang indah. Yakinlah Tuhan Mahabaik dan Maha Penolong bagi mereka yang tegar berjuang. Dengan demikian, Sirkus Pohon tetap membawa suara optimistis Andrea bagi rakyat Indonesia. Novel Sirkus Pohon seperti satu sisi kepingan mata uang yang bersisian dengan Laskar Pelangi. (*)

 ??  ?? JUDUL: Sirkus Pohon PENULIS: Andrea Hirata PENERBIT: Bentang Pustaka CETAKAN I: Agustus, 2017 HALAMAN: xiv + 410 ISBN: 978-602-291-409-9
JUDUL: Sirkus Pohon PENULIS: Andrea Hirata PENERBIT: Bentang Pustaka CETAKAN I: Agustus, 2017 HALAMAN: xiv + 410 ISBN: 978-602-291-409-9
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia