Lampor, Eh, Lapor
RAMALAN Ronggowarsito meleset. Ini bukan zaman edan. Ini zaman lapor-melapor.
Baiklah. Akan dilaporkan di sini bahwa dulu salaman itu mata ke mata. Apa yang terjadi di zaman
kini? Kedua penyalam berpaling ke kamera. Zaman pencitraan pun mulai berlangsung.
’’Maksudmu yang penting bukan salamannya, tapi melaporkan citra: Ini lho kami sudah jabat tangan, tidak saling melapor?” tanya Sastro ke Jendro sambil mengguncang-guncang tangan.
’’Pak, Bu, lihat kamera dong... Kamera... please!!!”
Para juru foto seminar ’’Pajak Royalti Penulis” itu berseruseru di antara kilatan-kilatan flash. Cuma satu yang anteng. Ia fotografer senior. Tampak sangat menikmati peristiwa.
’’Sudah langka pemandangan kayak gini,” senior kumisan itu, Ronggo, membisiki Warsiti, yuniornya yang pakai gincu merah marun. ’’Pak Sastro dan Bu Jendro tampak tulus. Keduanya tidak butuh dilaporkan ke publik melalui foto-foto kita bahwa wajib pajak dan pemajak akur.”
Warsiti merenung-renung kala sudah nongkrong di warung kopi. Ia tidak tahu bahwa SastroJendro cuma salamannya saja yang masih mengikuti kaidahkaidah leluhur. Soal muliakan tamumu dan antarkan tamumu sampai ke pintu pagar tidak. Dulu, di awal-awal iya. Sekarang tamu mereka per hari bisa sampai 200 kepala. Piye, jal?
Ah, yang penting cara salaman mereka masih bagai sediakala. Di warung kopi, teringat Warsiti akan wasiat neneknya sebelum meninggal. Nenek bilang, jangankan salaman, waktu kita memberi sesuatu saja baiknya sambil melihat rupa yang kita kasih. Jangan mentang-mentang tangan kita di atas terus kita buang muka dari wajah orang yang tangannya di bawah.
Kendati begitu, pekan lalu, waktu naik pesawat dari Surabaya ke Lombok ia tak kesal dengan orang yang salaman dengannya tanpa melihat wajahnya. Kedudukannya di deretan kursi pintu darurat. Ibu-ibu muda yang baru pulang naik haji itu wajahnya tak melengos. Cuma matanya merem. Mungkin keca- pekan dengan suhu jazirah yang amat tinggi, belum masih berjamjam terbang dari Arab Saudi.
Kesalnya malah ke maskapai penerbangan. Mengapa pihak maskapai tidak memastikan dulu bahwa yang pada duduk di deretan kursi pintu darurat adalah orangorang yang tidak kecapekan? Bagaimana orang yang ngantuk berat nanti akan bahu-membahu menarik tuas pintu darurat kalau terjadi apa-apa?
Ronggo yang juga ngopi di warungitubalikbertanya, ’’Bisasaja waktu baru naik pesawat ibu-ibu yang masih muda itu tidak tampak ngantuk. Awak kabin tidak perlu melukirnya dengan penumpang lain yang tidak ngantuk. Awak kabin kan cuma bisa menerkanerka umur penumpang. Kalau diperkirakan sudah sepuh, ya mereka pindahkan dari kursi pintu darurat. Tapi bagaimana memperkirakan beberapa menit kemudian ibu-ibu muda itu matanya 5 watt?”
Senior, kadang, selalu benar. Sama halnya masyarakat akan susah memperkirakan bahwa mental para pelapor adalah mental tukang wadul atau tumbak cucukan. Bagaimana kalau niat mereka murni hukum? Demi hukum mereka pilih jadi tumbak cucukan daripada main hakim sendiri.
Pertemuan di warung kopi pun berakhir. Senior dan yuniornya yang bergincu merah marun berjabatan, lalu masing-masing berpaling dan cengar-cengir seolah-olah ada banyak kamera wartawan. Bartender plongaplongo, tak tahu kalau keduanya sedang menyindir zaman ini.
’’Lapor, Bos, ini zaman edan. Tadi orang gila ngopi di sini,” lapor bartender ke pemilik kedai. ’’Mereka tak mendukung keringanan pajak penulis. Endingnya, pas salaman, ternyata edan. Demikian, laporan sudah saya laporkan, Bos!!!” (*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.net