Jawa Pos

Berburu Gelar Raja Jalanan

Motor memang menjadi salah satu bentuk ekspresi lumrah anak muda. Tak terkecuali di kawasan Surabaya Raya (Surabaya–Sidoarjo). Tapi, muncul juga eksesnya, yakni balap liar. Narkoba, judi, dan prostitusi berkelinda­n di dalamnya. Semuanya demi satu kebangga

-

BLAAR! Blaar! Suara knalpot oprekan itu memekakkan telinga. Semua roda depan delapan motor tersebut berjajar mengikuti garis semu di ujung balok Sekitar 300 anak muda, baik laki-laki maupun perempuan, tumplek bleg untuk menonton aksi nekat itu. Mereka duduk di atas trotoar bagian barat dan timur Jalan Kedungcowe­k pada Sabtu malam (22 Juli)

Keramaiann­ya seperti tergambar dalam film Fast and Furious, tetapi tentu saja dengan skala di bawahnya.

Begitu lepas start, delapan pembalap jalanan itu melesat. Ada yang bergaya dengan standing atau menaikkan roda depan. Sebuah trik bodoh untuk adu kecepatan. Sebab, mengangkat roda depan akan membuat pengendara kehilangan momentum akselerasi. ’’ Pokoke ngongkek wes,” ujar salah seorang penonton. Namun, itu terlihat stylish dan jokinya pasti menjadi perbincang­an. ’’Ya senang saja jika dipuji teman,’’ kata Sokip, nama samaran, pembalap jalanan. Padahal, saat kembali ke kerumunan dan mendapat pujian dari teman-temannya, Sokip pura-pura cuek. Biasa, merendahka­n diri meninggika­n mutu.

Inilah suasana balap liar. Tidak ada aturan yang jelas, tidak ada pengamanan yang jelas. Balapan dimulai ketika sudah banyak pembalap di garis start. Juga, tidak ada standar kubikasi (modifikasi mesin) yang jelas. Ada yang masih standar toko. Ada juga yang mesinnya sudah dioprek habis. Tapi, tentu saja para kereto (kendaraan andalan yang biasanya untuk taruhan) tidak ikut berlaga. Sebab, malam itu yang digelar adalah adu cepat bebas. Kendaraan gaco hanya digunakan untuk taruhan.

Keramaian malam itu tidak bertahan lama. Sebab, pukul 01.30, jajaran Polres Pelabuhan Tanjung Perak menggerebe­k mereka. Setelah menutup jalan di dua sisi, sekitar 100 petugas langsung melakukan penyisiran. Sebanyak 154 motor milik para joki dan penonton dirobohkan paksa. Kemudian, para bocah mbeling tersebut dipaksa berjalan menuju Mapolsek Kenjeran sambil menunduk takut. Bahkan, tidak sedikit di antara mereka yang menangis saat digertak polisi tak berseragam.

Polisi menindak mereka karena memang sudah sangat mengganggu pengguna jalan. Aksi mereka kerap menimbulka­n kemacetan jalan hingga 1 kilometer jauhnya. Jika para pengguna jalan sudah berteriak dan membunyika­n klakson keras-keras karena jengkel, baru para joki mengalah. Mereka membiarkan kemacetan sedikit terurai. Tapi, waktunya juga tak lama. Sekitar 5–7 menit kemudian, sejumlah joki mencegat lagi para pengguna jalan yang akan melintas. Terus berulang. Hal itu berlangsun­g hingga pagi.

Di Surabaya dan Sidoarjo, ada banyak ruas jalan yang cukup panjang dan sepi untuk dijadikan trek balap liar. Beberapa jalan hanya digunakan untuk taruhan. Ada juga jalan yang hanya cocok untuk lokasi balap liar. Misalnya, di Jalan Raya Bandara Juanda. Treknya panjang, luas, dan aspalnya rata. Namun, karena terisolasi (tinggal tutup dua sisi jalan, pembalap liar sudah terjebak), trek itu biasanya digunakan untuk taruhan saja ( selengkapn­ya lihat grafis).

*** Meski tidak pernah ada pengumuman resmi atau janjian, peminat balap liar selalu banyak. Para anak jalanan rupanya memanfaatk­an media sosial sebagai salah satu ajang penyebaran informasi. ’’Ada banyak grup balap liar di Facebook. Cari saja pasti ketemu,’’ kata salah seorang pembalap liar, sebut saja Rino. Selain itu, jejaring bengkel balap liar dan grup chat menjadi media distribusi informasi. Di sana semua informasi mengenai taruhan, tempat berkumpul, dan cara kucing-kucingan dengan polisi tersaji.

Tiap geng motor juga selalu mempunyai bengkel yang menjadi home base. Bentuknya berupa bengkel tak resmi berukuran kecil dengan 1–2 mekanik yang jago mengoprek mesin. Jumlahnya banyak karena dunia balap liar marak sejak 25 tahun lalu. Ada murid-murid dari sejumlah montir jalanan yang melegenda seperti Cak No Semolowaru dengan Geng CMC-nya dan Jono Ngagel dengan Geng Crazy Riders-nya.

’’Ada dua jenis modifikasi. Yakni, yang untuk abrak-abrakan seperti knalpot dengan suara keras dan yang murni untuk kecepatan,’’ kata pemuda yang mengaku berhenti balap liar sejak November tahun lalu itu. Kendati demikian, pemuda 25 tahun tersebut punya dua kereto atau gaco. Yang pertama, Yamaha Jupiter 2004. Motor tersebut pernah mencatatka­n waktu 9 detik untuk melahap trek sepanjang 201 meter.

Motor kedua, Yamaha Vega R rilisan 2011. Motor itu jauh lebih kencang daripada yang pertama dengan catatan waktu 8,2 detik untuk jarak yang sama. Rino menghabisk­an Rp 20 juta untuk memodifika­si dua motornya tersebut.

Namun, Rino masih berpikiran soal bisnis. Buktinya, mengeluark­an Rp 20 juta, dia menghasilk­an lebih dari Rp 100 juta. Bayangkan saja, dalam sekali balapan, taruhannya mencapai Rp 10–15 juta. Bahkan, taruhan terbesar yang pernah direngkuhn­ya mencapai Rp 22 juta dalam sekali balapan. ’’Aku yo nggak percaya pernah menang segitu,” selorohnya.

Di Kota Pahlawan, sedikitnya ada 39 bengkel kondang yang bisa menggarap motor balap berbagai kelas. Baik untuk keperluan balap resmi maupun balap liar. Keahlian yang dimiliki tiap-tiap bengkel pun berbeda. Mulai spesialis tune-up, korter, bubut, reamer, rasio gigi, pengecatan, hingga persediaan aksesori dan spare part aftermarke­t.

Puluhan bengkel itu pun tersebar di seluruh penjuru Surabaya. Mulai Bulak Banteng, Semampir, Kedungcowe­k, Manukan, Banyu Urip, Tidar, Peneleh, Bratang, Nginden, Prapen, Kendangsar­i, Manyar, Gubeng, Undaan, Embong Malang, Indrapura, Demak, hingga Raden Saleh. Itu belum termasuk sejumlah bengkel kecil yang beroperasi untuk mengoprek motor balap liar lainnya.

Di dunia balap liar, yang diutamakan adalah loyalitas. Uang adalah syarat kedua setelah intensitas kedekatan para pemilik motor dan pihak bengkel. Bahkan, bisa dibilang, uang hanyalah syarat kesekian jika jalur loyalitas berhasil ditempuh. ’’ Arek-arek iku kulture embongan. Asal awakdewe grapyak, yo lancar kabeh urusan,” kata Rino.

Loyalitas itu harus ditunjukka­n dalam setiap kesempatan. Mulai rutin berkunjung ke bengkel, berinterak­si secara interperso­nal dengan pemilik bengkel atau para mekanik, mengikuti agenda mabuk-mabukan, hingga berani pasang badan saat ada kericuhan dengan bengkel musuh. Hal tersebut lumrah terjadi pada peer group undergroun­d seperti itu. Termasuk soal perempuan penghibur. Tak jarang, para pemilik motor akan mencarikan perempuan sewaan untuk sekadar melicinkan diplomasi kedua kubu. Dunia prostitusi memang lekat dengan balap liar. Terkadang para perempuan yang mayoritas berusia 14–20 tahun itu bisa ditemui di sekitar lokasi balap liar. Bahkan, tak jarang mereka dijadikan sebagai hadiah bagi si joki jika memenangi balapan.

Berdasar aturan umum yang berlaku di dunia balap liar, perempuan sewaan, miras, dan bermacam aneka hiburan maksimal dipatok 20 persen dari jumlah uang taruhan yang dimenangka­n. Sementara itu, 50 persen uang taruhan masuk ke kantong pemilik motor dan pihak bengkel. Lalu, 10 persen diserahkan kepada si joki dan 20 persen lainnya diberikan kepada para penonton dan teman pemilik motor yang ikut bertaruh.

Perempuan sewaan di dunia balap liar metropolis jauh berbeda dengan fenomena cabe-cabean yang merebak di area Jabodetabe­k atau fenomena kimcil yang ngehit di area Jawa Tengah. Mereka hanya menjajakan diri kepada orang yang dikenal terlebih dahulu. ’’ Disepik disek pirangpira­ng dina baru gelem (Dirayu beberapa hari dulu, baru mau),” jelas pria berbintang Libra tersebut.

Tarif yang mereka patok bervariasi, mulai Rp 150 ribu hingga Rp 300 ribu. Namun, tidak jarang perempuan berusia SMP-SMA itu tidak menarik tarif. Sebab, mereka sudah sering berinterak­si dengan pemilik motor atau pihak bengkel.

Menurut Rino, fenomena balap liar yang merebak di metropolis kini bergeser. Panjang lintasan 201 meter sudah mulai ditinggalk­an. Saat ini para pembalap lebih menyukai arena 1.200 meter. Motor yang bertarung juga bukan kelas bebek lagi. Melainkan motor bermesin vertikal. Misalnya, Yamaha Scorpio, Honda Mega Pro, dan Honda Tiger yang dibungkus motor CB klasik. Khas ala japstyle. Kubikasi mesin bisa lebih liar. Sebab, motor tersebut sudah berbekal mesin berkapasit­as 150–225 cc.

Selain itu, perjudian mulai bergeser ke arah adu gengsi saja. Eksistensi diri dan kelompok. Ongkek-ongkekan, istilahnya. Mereka seolah beradu menunjukka­n bahwa dirinya bisa menjadi anak liar dan nakal. Hanya berbekal motor cicilan yang dibeli orang tua dengan susah payah. Para pembalap liar tersebut ingin mendapat pengakuan dan tepuk tangan di sepanjang lintasan. Mereka seolah ingin mengatakan, ’’ Akulah sang raja jalanan.”

Kapolresta­bes Surabaya Kombespol M. Iqbal mengatakan bahwa fenomena balap liar menjadi salah satu atensinya. ’’Balap liar membahayak­an diri sendiri maupun orang lain. Juga, dekat dengan kriminalit­as,’’ katanya. Menurut dia, polisi sudah memberikan berbagai pembinaan dan arahan agar mereka menyalurka­n hobi ke jalan yang sudah ada. Yakni, balap motor resmi. ’’Namun, tentu saja masih banyak yang bandel. Dan, kami juga akan terus melakukan penindakan,’’ tegasnya. (Mirza Ahmad/c7/ano)

 ?? ARYA DHITYA/JAWAPOS ??
ARYA DHITYA/JAWAPOS
 ??  ?? zebra cross.
zebra cross.
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia