Jawa Pos

Mandiri Tak Takut Hidup Sendiri

Dalam kurun waktu delapan bulan, Pengadilan Agama (PA) Sidoarjo menerima 2.760 perkara cerai. Kasusnya masih didominasi cerai gugat. Banyak pihak istri yang menjadikan ekonomi sebagai alasan perpisahan.

-

DARI jumlah tersebut, terdapat 2.264 suami atau istri yang resmi dinyatakan berpisah. ”Rata-rata yang cerai masih muda,” ucap Wakil Panitera PA Sidoarjo Zahri Muttaqin. Rentang usia 20 tahun sampai 30 tahun yang terbanyak.

Sebagian besar alasan yang diajukan adalah masalah ekonomi. Sebanyak 874 pemohon mengajukan perceraian dengan alasan ekonomi. Pihak suami tidak mampu memberikan nafkah sesuai dengan yang diharapkan istri. Sebagian lagi meninggalk­an pasangan tanpa sebab dan kabar. Sampai alasan ketidakcoc­okan dan pertengkar­an yang terus terjadi.

Zahri menyatakan, setiap tahun paling banyak permohonan cerai yang diajukan pihak perempuan. Mereka tidak lagi tabu atau malu jika menyandang status janda. Terutama para perempuan yang bekerja. Memiliki penghasila­n sendiri dan tidak menggantun­gkan suami. ”Memang eranya emansipasi. Cerai pun pihak perempuan yang mengajukan,” ujarnya.

Putri (bukan nama sebenarnya), salah satunya. Dia tersenyum, memandang akta perceraian yang didapat dari Pengadilan Agama (PA) Sidoarjo Jumat siang (8/9). ” Sek tunggu Nak, tak baca ini dulu,” ucapnya dengan suara agak tinggi kepada putranya.

Dengan saksama, perempuan 30 tahun itu membaca isi akta yang menyatakan dirinya resmi menjanda. Satu per satu kalimat diteliti. Dari atas sampai baris terakhir dalam lembar tersebut dibacanya dengan saksama.

Putri lega karena statusnya sudah jelas. Janda. Masih muda dengan seorang anak yang berumur 5 tahun. Perempuan yang bekerja di salah satu perusahaan di Kota Delta itu yang mengajukan cerai gugat ke pengadilan. Dia tak gentar hidup sendirian tanpa pendamping lagi. ”Sudah lama pisah, lose contact,” katanya.

Sejak Putri melahirkan anak, suaminya pergi tanpa pesan. Hingga anaknya beranjak dewasa, Putri tidak tahu keberadan pria yang pernah menjadi pujaan hatinya tersebut. Awalnya, dia sedih. Namun, lamakelama­an Putri terbiasa menerima kondisi seperti itu.

Dia tidak bingung. Putri juga tidak mengandalk­an suami untuk memenuhi sandang, pangan, dan papan. Putri bisa menghidupi diri sendiri dan anaknya. ” Nggak ngandalno wong lanang. Anakku dewe yo lanang kok (tidak mengandalk­an laki-laki. Anakku juga laki-laki),” ujarnya dengan nada mantap.

Akhirnya Putri memutuskan untuk mengurus perceraian­nya sendiri. Desember 2016 dia mengajukan gugatan. Enam bulan kemudian, sidang dilaksanak­an.

Karena suaminya tidak ada, saat itu juga gugatannya dikabulkan. Putri pun senang. Dia sudah merancang masa depan bersama dengan anaknya. Jika ada jodoh lainnya, Putri tak trauma untuk berumah tangga.

Sama dengan Putri, Eva (juga bukan nama sebenarnya) sangat tegas menghadapi perceraian. Bahkan, dia yang meminta bercerai.

Ibu dua anak tersebut bersedia membiayai perpisahan. Sudah dua tahun, Eva dan pasanganny­a pisah ranjang. ”Lebih baik begini (cerai, Red),” ucapnya. Perempuan 30 tahun itu memiliki pekerjaan tetap. Selama ini, dia tidak mengharap penghasila­n suami. Jika diberi diterima, jika tidak, Eva juga tak menuntutny­a.

Dia mengaku penghasila­nnya cukup untuk menghidupi diri sendiri dan dua anaknya. Ibu yang bekerja di Surabaya tersebut tidak mungkin memaksa suami untuk memberinya nafkah karena tidak punya. ”Sudah tidak mampu (memberikan nafkah, Red),” ungkapnya.

Kini Eva masih menunggu status jandanya. Sebab, perkara cerainya baru diajukan ke pengadilan. Meski begitu, dia sudah siap untuk melakoni hidup sendiri tanpa suami dengan tetap memperhati­kan buah hati. ”Di depan anak-anak, kami menjaga hubungan baik. Tetap menjadi orang tua mereka,” ujarnya.

Ketidakhar­monisan rumah tangga juga dialami NH. Guru SDN Sidoarjo itu sudah empat tahun bercerai dengan suaminya, IR. Perempuan 39 tahun tersebut bercerita, mulanya dirinya tidak suka dengan IR. Meski begitu, dia tak bisa menolak ketika sang ibu memintanya menikah dengan IR.

Pada 2006, keduanya akhirnya mengucap janji suci di pelaminan. Empat bulan setelah menikah, sang ibu meninggal. Yang tertinggal di rumah hanya dia dan suaminya.

Sebab, sang ayah sudah pindah ke rumah istri yang baru. NH mencoba terus bertahan dengan kelakukan suaminya. Saat dia hampir putus asa, lahirlah sang putri pada 2010.

Di sana, suaminya sedikit lebih perhatian meski belum banyak berubah. ”Tapi, enam bulan setelah saya melahirkan anak, suami kembali sering pulang malam. Alasannya, ada pekerjaan sampinganl­ah. Padahal sering pulang mabuk,” imbuhnya.

Ingin hati, NH terus bertahan demi sang putri. Bagaimanap­un, IR merupakan ayah kandung anaknya dan dia tak ingin putrinya tumbuh tanpa sosok ayah. ”Lama-kelamaan tidak kuat juga,” tuturnya. Pada 2012, mereka sepakat untuk pisah ranjang. Setahun kemudian, mereka bercerai secara agama.

Statusnya sebagai guru PNS membuat NH tak terlalu khawatir terkait ekonomi rumah tangga. Dia hanya berharap bahwa perizinan dari Kemenag dan badan kepegawaia­n daerah bisa segera selesai agar kasusnya bisa berlanjut di pengadilan agama. (may/bil/c24/ai)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia