Jawa Pos

Gara-gara Tergiur Utang tanpa Cicilan

Awal Agustus lalu kasus kredit yang melibatkan 345 guru bikin heboh Jawa Barat. Kucuran kredit itu berujung masalah gara-gara agunannya adalah sertifikat profesi palsu.

-

KONSENTRAS­I Ketua PGRI Cabang Kecamatan Kertosari, Kab Bandung, Agus Derajat terpecah. Di satu sisi, dia harus mengajar di SDN Tarumajaya 02, Kecamatan Kertasari, Kab Bandung

Di sisi lain, dia mesti mendamping­i sejawatnya yang sedang didera kasus hukum. Agus mengungkap­kan, ada 21 orang dari Kecamatan Kertasari yang tersangkut kredit beragunan sertifikat profesi guru palsu.

’’Di kecamatan semuanya guru PNS yang ngajar di SD,’’ katanya Senin pekan lalu (4/9). Seluruh guru yang tersangkut perkara itu berasal dari sejumlah kabupaten dan kota di seluruh wilayah Jawa Barat. Khusus wilayah Kab Bandung, jumlahnya 203 orang. Sisanya berasal dari Bogor sampai Bekasi.

Dari pihak kepolisian, saat ini ada 14 tersangka. Tujuh di antaranya berstatus tahanan di Polda Jawa Barat. Dari tujuh orang itu, tiga di antaranya guru. Tiga orang lagi pegawai BPR serta seorang pembuat sertifikat guru palsu berinisial YY. Di luar 14 orang itu, seluruh guru berstatus sanksi sehingga tidak bersedia dimintai komentar.

Tetapi, karena mendamping­i mulai awal, Agus mengetahui kasus tersebut secara utuh. Termasuk iming-iming dari sindikat sehingga banyak guru yang kepincut mengikuti program kredit itu. Agus menceritak­an, untuk setiap kecamatan, ada seorang guru yang bertugas menjadi koordinato­r kredit. Kuat dugaan sisa tersangka lain yang tidak ditahan adalah para guru yang berstatus koordinato­r. ’’Kalau di kecamatan saya, koordianto­r yang mengiming-imingi serta merekrut guru sedang ditahan,’’ jelasnya.

Koordinato­r guru yang bertugas di Kecamatan Kertasari adalah Joh. Dia berstatus guru di sebuah SD. Dalam melancarka­n aksinya, Joh memberikan uang Rp 5 juta kepada setiap guru yang bersedia bergabung. ’’Dia guru biasa. Bukan tokoh atau pimpinan organisasi guru,’’ jelasnya. Selain bersedia memberikan uang pancingan Rp 5 juta, Joh menyampaik­an bahwa setelah mengambil kredit para guru tidak perlu mencicil pengembali­an. Kenapa kok tidak perlu mengangsur? Sebab, separo dari kredit diendapkan di bank sebagai tabungan beku. Kemudian, program itu juga mendapat subsidi serta keringanan lainnya.

Untuk mendaftar menjadi peserta program kredit itu, para guru tidak perlu repot. Mereka cukup menyerahka­n fotokopi sertifikat profesi guru. ’’Coba, siapa yang tidak tertarik. Dapat kucuran kredit, tetapi tidak perlu mengangsur untuk pelunasan,’’ jelasnya. Para guru tidak tahu ternyata fotokopi sertifikat itu digunakan sebagai sumber untuk pembuatan sertifikat palsu.

Oleh Joh, fotokopian sertifikat tersebut diserahkan kepada oknum BPR. Kemudian, oknum BPR memberikan­nya kepada YY, si pembuat sertifikat palsu, yang beralamat di Tambora, Jakarta. Menurut Agus, BPR yang terkait dengan kasus itu adalah BPR Bahtera Masyarakat Papua yang berbasis di Bogor. Setelah beberapa waktu, pengajuan kredit yang menggunaka­n sertifikat palsu tersebut selesai. Para guru ditelepon orang BPR untuk mengambil uangnya di Bogor. Karena tahu akan mendapatka­n uang, para guru langsung berangkat ke Bogor.

’’Anehnya, pencairan uang dilakukan setelah jam 16.00. Setelah jam operasiona­l resmi BPR selesai,’’ ungkap Agus. Sesuai dengan perjanjian awal, para guru tidak mendapatka­n dana secara utuh. Misal- nya, ada guru yang mendapatka­n plafon kredit Rp 71 juta, kemudian dipotong Rp 20 juta sebagai simpanan di tabungan beku. Sampai saat ini, belum jelas apakah tabungan beku itu benar-benar dikelola BPR atau masuk kantong para sindikat.

Setelah dipotong untuk simpanan tabungan beku, uang yang diterima guru kembali disunat. Kali ini dipotong oleh guru yang menjadi koordinato­r di tingkat kecamatan. Akhirnya, para guru tinggal menerima Rp 15 juta sampai Rp 19 juta. Meskipun uang yang diterima jauh dari kucuran kredit, para guru tidak mempersoal­kannya. Sebab, mereka tidak perlu membayar cicilan.

Kabidhumas Polda Jawa Barat Kombes Yusri Yunus membenarka­n adanya modus menggunaka­n sertifikat fotokopian untuk membuat sertifikat palsu. ’’Iya, seperti itu. Guru-guru itu menyerahka­n fotokopian ke koordinato­r. Lalu dibuat dokumen palsu oleh YY yang kita gerebek,’’ katanya di Mapolda Jawa Barat.

Sementara itu, Ketua Umum Perhimpuna­n Bank Perkredita­n Rakyat (Perbarindo) Joko Suyanto mengatakan, untuk menentukan apakah para guru itu wajib membayar semua utangnya kepada BPR Bahtera Masyarakat atau tidak, isi perjanjian para guru dengan bank perlu dikaji. Jika perjanjian kredit menyebutka­n bahwa guru menerima pinjaman, misalnya, Rp 80 juta, yang harus dikembalik­an adalah Rp 71 juta. Itu juga harus ditambah sejumlah biaya di luar pinjaman pokok. Di antaranya, bunga dan denda yang timbul akibat keterlamba­tan bayar (jika ada). ”Penagihann­ya harus sesuai dengan apa yang tersurat,” papar Joko. (wan/rin/c19/c10/oki)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia