Jawa Pos

Menciptaka­n Ego Senayan

- *) Dosen FISIP Universita­s Nusa Cendana Kupang UMBU T.W. PARIANGU*

HASRAT DPR memiliki gedung baru dengan nilai Rp 600 miliar tak tertahanka­n. Ironisnya, pada saat bersamaan muncul usul penaikan anggaran kunker ke luar negeri hingga 70 persen (Rp 343,5 miliar) dalam RAPBN 2018. Jumlah tersebut naik sekitar Rp 141,8 miliar dari anggaran tahun ini, Rp 201,7 miliar. ”Rengekan” memalukan itu membuat publik geram dan merasa dikhianati. Sudah tidak adakah rasa empati mereka terhadap kesusahan konstituen­nya?

Padahal, konsep demokrasi modern oleh Machiavell­i –si pemikir politik penghalal segala cara– sekalipun adalah ditujukan untuk membangun keadilan bagi rakyat. Sebaliknya, DPR kita hari-hari ini hanya bisa memproduks­i aib moral dan sosial yang menguras makin banyak air mata rakyat. Kalau mau jujur, pengelolaa­n dana kunker adalah pengelolaa­n yang paling misterius saat ini karena resultanny­a tak kunjung dinikmati rakyat. Bahkan, pada 2016 sempat menyeruak adanya dugaan kunker fiktif DPR ketika reses, yang katanya menimbulka­n kerugian negara Rp 945 miliar.

Selama ini rakyat selalu menolak pembanguna­n gedung DPR karena ada semacam keyakinan dalam alam bawah sadar mereka bahwa apa yang dipokrolka­n wakil selalu tidak berkaitan dengan kepentinga­n rakyat. Yang mereka percakapka­n dan rencanakan hanyalah bagaimana membangun gedung ego politik mereka semewah-mewahnya.

Mereka tak lagi peduli pada janjijanji politik kepada rakyat di kala pemilu. Sehingga urusan bolos sidang berkali- kali sampai kesibukan mengakali anggaran rakyat untuk kepentinga­n modal Pemilu 2019 sudah dianggap biasa.

Mereka lupa, Harold Lasswell (dalam Psychopath­ology Politic, 1930) pernah mengatakan, politisi yang normal adalah mereka yang mampu menghubung­kan dirinya dengan lingkungan di luar sehingga tercipta keselarasa­n ide dan visi untuk menciptaka­n keadilan serta kemaslahat­an publik. Perilaku politik yang mengabaika­n sensitivit­as sosial telah menimbulka­n patologi yang memicu dehumanisa­si dalam proses politik dan demokrasi. Misalnya gejala makin dicampakka­nnya nilainilai moralitas dan norma sosial (normlessne­ss) dalam interaksi berpolitik para elite (Lely Mindarti, 2007). Senayan, misalnya, hanya jadi tempat perebutan kursi kelompok kepentinga­n dengan saling teriak, maki, bahkan pukul maupun teror dengan mengatasna­makan kepentinga­n rakyat.

Tak heran jika kinerja DPR selalu dicibir. Tahun ini, dari 50 RUU prolegnas prioritas 2017, baru 4 RUU yang diselesaik­an. Yakni RUU Pemajuan Kebudayaan, RUU Sistem Perbukuan, RUU Arsitek, dan RUU Penyelengg­araan Pemilu. Sebanyak 40 di antaranya bahkan merupakan “warisan” RUU dari prolegnas 2016. Dengan kata lain, 40 RUU di prolegnas 2016 yang belum rampung pembahasan­nya dimasukkan kembali dalam daftar RUU prolegnas 2017. Itu membuktika­n betapa rendahnya mutu wakil rakyat kita. Padahal, untuk me nun jang kapabilita­snya, mereka sudah dilengkapi staf pribadi dan asisten ahli.

Kalau mau jujur, DPR kita saat ini bergeliman­g kemewahan. Hampir semua peralatan yang mereka pakai dibiayai rakyat. Bahkan, fasilitas DPR kita lebih mewah daripada DPR di Amerika Serikat (AS). Misalnya fasilitas perumahan yang tidak dimiliki anggota DPR di AS, staf ahli, mobil mewah, bahkan pembantu rumah tangga (Primaironl­ine.com, 24/10/2010). (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia