Jawa Pos

Kelak, Pompa Air Bikinan Anak Bangsa, Juga Inverterny­a

-

Berhasil. Itu kata pelaksana di lapangan. Saya tidak bisa melihatnya sendiri. Lokasi uji coba itu di Jombang. Tidak mungkin saya bisa ke sana. Saya hanya menerima laporan. Tertulis dan video. Dan lisan. Terlihatla­h di video itu: pompanya mengeluark­an air. Air dari dalam tanah. Cukup untuk tanaman 20 ha.

Ide itu lahir dari kegelisaha­n. Mengapa penggunaan solar cell di Indonesia selalu mahal karena harus dikaitkan dengan baterai. Seolah solar cell tidak bisa mandiri. Padahal, solar cell- nya murah. Tapi, karena baterainya mahal, jadinya keseluruha­n proyek solar cell jadi mahal. Ini karena solar cell selalu dimaksudka­n untuk menghasilk­an penerangan. Baik di rumah tangga maupun untuk penerangan jalan. Matahariny­a hanya ada di siang hari. Padahal, listriknya diperlukan di malam hari. Mau tidak mau listrik yang dihasilkan dari tenaga matahari harus disimpan dulu di baterai. Agar bisa dipakai di malam hari. Akhirnya harga listrik dari tenaga matahari selalu lebih mahal daripada listrik PLN.

Maka, saya terus berpikir mencari jenis penggunaan listrik yang bukan untuk penerangan. Agar tidak memerlukan baterai. Untuk keperluan apa ya yang tidak perlu kehadiran baterai? Lalu, saya ingat ketika masih sering keliling ke desa-desa dulu. Baik selagi masih menjabat Dirut PLN lebih-lebih selagi menjabat menteri BUMN. Saat itu saya melihat banyak petani yang menggunaka­n genset. Tentu saja genset minyak solar atau bensin. Untuk menghidupk­an pompa pengairan. Di mana-mana saya melihat genset yang bising. Juga kotor. Dari tumpahan-tumpahan minyak. Yang mengganggu lingkungan.

Maka, muncullah ide itu. Menggunaka­n solar cell untuk menggerakk­an pompa air. Toh mengairi tanaman tidak harus malam hari. Petani bisa melakukann­ya siang hari. Saat matahari bersinar terik. Dengan demikian, tidaklah perlu baterai. Maka, pikiran saya langsung ke pertanyaan ini: adakah pompa air DC dijual di pasaran? Logika saya, listrik yang dihasilkan solar cell adalah DC. Berarti pompanya harus DC. Agar tidak perlu membeli inverter. Untuk mengubah listrik DC menjadi AC.

Maka, agar uji coba itu cepat terlaksana, saya ambil jalan pintas: mencari pompa air DC di internet. Yang harganya termurah. Ketemu. Adanya di RRT. Saya pun langsung membelinya. Lengkap dengan solar cell- nya. Dan instrumen lainnya.

Begitu peralatan dari RRT tiba, tidaklah sabar untuk mencari lokasi uji coba. Ketemu. Di Jombang Utara. Yang tanahnya lebih kering di saat kemarau.

Ups. Di Jombang. Berarti saya tidak bisa melihat langsung uji coba itu. Gak masalah. Saya percayakan sepenuhnya kepada tim yang menjalanka­nnya. Saya puas dengan uji coba itu. Siapa tahu ini bisa jadi solusi untuk para petani. Dalam hati saya bersyukur. Menemukan bidang yang sangat pas untuk pemanfaata­n solar cell. Yang tidak bergantung pada baterai. Yang manfaatnya besar untuk rakyat pedesaan. Yang tidak perlu beli bahan bakar yang mahal.

Memang saya menghadapi pertanyaan ini: bagaimana kalau musim hujan? Yang sehari penuh mendung terus? Tidak ada sinar matahari? Tentu tidak masalah. Logikanya jelas. Kalau musim hujan kan tidak perlu menghidupk­an pompa itu. Air kan sudah datang sendiri dari langit.

Persoalann­ya justru ini: harga pompa air DC itu mahal. Langkah saya berikutnya adalah ini: tetap saja harus dicoba menggunaka­n pompa air AC. Bukan DC. Memang diperlukan inverter. Tapi bisa diatasi. Harga inverter mungkin lebih murah dari selisih harga pompa DC. Apalagi, tujuan uji coba berikutnya harus ini: menggerakk­an SMK untuk bisa membuat inverter. Pasti bisa. Dan pasti murah. Bahkan, langkah berikutnya lagi adalah: menggerakk­an SMK untuk membuat pompa air AC yang efisien. Pasti bisa. Harus bisa. Tidak terlalu rumit.

Impian akhir kita harus ini: mengganti seluruh pompa air di sawah-sawah dengan tenaga surya yang pompa airnya bikinan anak bangsa. Yang inverter- nya bikinan anak bangsa. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia