Jawa Pos

Negara Butuh Naga

-

BERKALIKALI saya tekankan, enaknya di dunia media ini, kita bisa bertemu dan belajar dari berbagai macam orang. Baru-baru ini, saya bertemu dua pebisnis dengan kelebihan ’’ sixth sense’’, namun dari dua spektrum usia yang berbeda

Kerja di media itu seperti belajar tanpa henti, setiap hari. Kalau kita punya kemampuan untuk menampung segala data yang masuk, kita bisa mengerti begitu banyak hal.

Kalau tidak mampu, ya tumpahtump­ah, muntah-muntah, kepala pecah, dan lain sebagainya. Wkwkwkwk…

Kita belajar mengapresi­asi orang dari kalangan mana pun. Bisa mendapatka­n ide dan inspirasi dari siapa pun. Sesekali, kita bertemu dengan manusia-manusia ajaib yang punya dorongan dan kemampuan untuk mengubah keadaan.

Orang-orang ini punya ciri-ciri yang sama: Superantus­ias. Kalau gerak supercepat. Kalau jalan supercepat. Wkwkwkwk…

Baru-baru ini, saya bertemu dengan dua di antaranya.

Yang satu sudah sangat terkenal, sangat senior, sudah banyak mewujudkan impian dan ambisi. Namun, sekarang seperti punya mimpi baru lagi, dan dengan penuh energi –seperti energi anak muda– mencurahka­n segalanya untuk sebuah project baru.

Di tengah-tengah situasi ekonomi yang sedang banyak dikeluhkan ini, dia melakukan sesuatu yang masuk kategori ’’ Blockbuste­r’’. Bahkan superblock­buster.

Banyak orang yang tidak percaya. Bahkan di tingkat menteri pun bicara kepada dia kalau mereka tidak percaya.

Tapi, orang-orang seperti ini, kalau dianggap seperti itu, biasanya justru lebih semangat lagi. Dan dia dengan begitu semangat menjelaska­n mengapa apa yang dia lakukan ini harus dilakukan.

Kalau tidak begini, maka negara kita ya akan begini-begini saja. Bukan hanya negara, pebisnisny­a pun akan begitu-begitu saja.

Saat makan siang, dia mengatakan mengapa dulu negara kita pernah melejit dalam banyak hal. Tapi sekarang seperti biasa-biasa saja, tidak ada hal-hal yang membuat orang kagum dan terkesima.

Dia bilang, karena dulu ’’naganaga’’-nya masih aktif bergerak langsung. Saling mendorong, saling bergerak, dan itu memicu banyak kemajuan.

Sebagai salah satu ’’naga’’, dia merasa punya tanggung jawab untuk kembali turun.

’’Untuk melakukan hal-hal seperti ini, profesiona­l tidak akan bisa. Mereka tidak akan berani berbuat atau mengambil risiko. Naganya harus turun.’’ Begitu kurang lebih ucapannya.

Perbincang­an berlanjut, menyampaik­an contoh-contoh lain yang serupa di berbagai bidang bisnis. Bagaimana kalau ’’naga’’ atau ’’suhu’’ atau ’’orang gila’’-nya tidak berbuat, maka segalanya jadi ’’biasa-biasa saja’’.

Seorang rekan lantas menyebut istilah yang tepat untuk ’’orangorang gila’’ itu. Bahwa mereka punya ’’ sixth sense’’. Tidak murni berdasar perhitunga­n, melainkan intuisi yang kuat.

Cerita di atas dari contoh ’’naga senior’’. Tidak lama saya bertemu dengan satu lagi orang yang tipe ajaib itu. Usianya masih awal 30an, generasi di bawah saya, dan sekarang sudah sangat berperan mengubah kehidupan kita seharihari. Dan dia masih punya mimpi nantinya akan melakukan apa lagi.

Anak muda ini sudah terbentur banyak masalah, dan dengan penuh energi terus bergerak mengatasin­ya. Jalan dia masih panjang.

Saya bisa merasakan apa yang dia rasakan. Segala antusiasme, segala ide-ide berani, segala keinginan. Dan orang-orang seperti kami kadang memang sulit cari teman diskusi yang sepemahama­n.

Yang muda-muda ini, nanti akan ada nabrak-nabraknya. Yang hebat akan mampu mengatasin­ya.

Tapi, saya bercanda ke dia, kalau dia masih jauh dari tantangan selanjutny­a: Ketika dia dan timnya mulai bertambah usia, ketika mulai harus pindah haluan, dan –yang mungkin paling sulit– ketika harus mendelegas­ikan atau harus terjadi regenerasi.

Memang, secara teori, apa yang saya tulis ini bukan ilmu baru. Yang dimaksud ’’ sixth sense’’ itu merupakan tema konsisten dalam cerita-cerita orang-orang hebat.

Tim Cook, yang sekarang CEO Apple, juga termasuk yang menyebutka­n bahwa intuisi merupakan faktor terpenting. Bahwa intuisi begitu penting dalam membuat keputusan-keputusan terbesar dalam hidupnya. Persiapan dan kerja keras merupakan elemen pendukung intuisi.

Kalau intuisi nomor satu, lalu profesiona­l –atau birokrasi– tidak akan bisa membuat perubahan, wah bisa dibayangka­n frustrasin­ya kedua pihak ketika mereka berbentura­n…

Yang satu dengan motivasi dan dorongan tinggi ingin berbuat dan bergerak cepat, tapi sisi yang lain selalu menekankan untuk hati-hati. Bahkan bukan hanya hati-hati, tapi harus mendengark­an dulu pendapat ini, pendapat itu, sewa konsultan ini, konsultan itu…

Ada komentar menarik seorang ’’naga tua’’ soal ini. Dia tergolong tipe yang harus cepat itu. Dia bilang akan menjadi berbahaya ketika selalu mengandalk­an konsultan, dan kemudian menjadikan konsultan itu sebagai alasan apabila terjadi kegagalan.

Mimpi dan ambisi besar kok harus tanya dulu ke orang. Apalagi kalau yang ditanya itu sebenarnya tidak pernah berbuat secara langsung…(*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia