Tak Rela Tenun Pringgasela Diklaim Daerah Lain
LOMBOK TIMUR – Irama ritmis berire, kayu pipih yang dipakai menguatkan kerapatan benang kain tenun, terdengar begitu indah saat beradu dengan lekot, alat dari kayu yang dipasang di pinggang para penenun. Apalagi, ada 1.350 penenun yang menggerakkan berire bersama-sama.
Mereka ikut ambil bagian menyemarakkan Festival Alunan Budaya di Desa Pringgasela, Kecamatan Peringgasela, Lombok Timur, Senin (11/9). Tak pelak, festival yang menyedot perhatian wisatawan Nusantara dan mancanegara itu menjelma menjadi panggung kain tenun Pringgasela yang menembus dunia.
Berdasar pantauan Lombok Post ( Jawa Pos Group), festival berlangsung semarak. Terutama kala ribuan penenun yang seluruhnya perempuan memulai aksi mereka. Para penenun itu duduk berbaris rapi di empat penjuru mata angin di jalan simpang empat, tepat di jantung Kecamatan Pringgasela.
Sebelum festival dimulai, para penenun memasang benang sebagai badan kain tenun pada alat tenun mereka di rumah masing-masing. Proses tersebut dalam tenun tradisional Sasak disebut ngani.
Jadi, saat festival berlangsung, para penenun bisa langsung beraksi. ”Setiap tahun saya menghadiri acara ini. Karena ini satu-satunya yang ada di Pringgasela,” kata Bupati Lombok Timur H Ali Bin Dahlan saat memberikan sambutan. Festival diadakan untuk tahun ketiga.
Menurut dia, sudah saatnya masyarakat sadar bahwa kain tenun produksinya tidak sekadar dipamerkan. Sebab, keindahan kain tenun itu akan sangat disayangkan bila hanya dipamerkan atau digunakan untuk keluarga dan kebutuhan pribadi.
”Memang, melihat sejarahnya, ini digunakan untuk kebutuhan pribadi dan keluarga. Tapi, kita harus berpikir modern. Banyak yang menginginkan kain tenun ini. Banyak kain tenun Pringgasela yang dijual ke Sukarara atau dibawa ke Bali dan dijual dengan merek Bali,” sesalnya.
Sudah saatnya masyarakat Pringgasela harus berani tampil menunjukkan kain tenun Pringgasela yang legendaris. ”Pameran seperti ini bisa menjadi salah satu cara promosinya,” tandasnya. (ton/van/r8/c25/ami)